Hasil sidang putusan sela Ahok: Hakim tolak nota keberatan

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hasil sidang putusan sela Ahok: Hakim tolak nota keberatan
Dengan demikian, maka persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) — Persidangan kasus penodaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur non aktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Selasa, 27 Desember.  Sidang yang mengagendakan putusan sela Majelis Hakim itu berbuah keputusan mengecewakan bagi Ahok dan tim kuasa hukumnya.

Majelis yang terdiri dari 5 orang hakim menolak nota keberatan Ahok dan tim kuasa hukumnya yang disampaikan dalam sidang perdana pada tanggal 13 Desember lalu.  

“Pengadilan mengadili bahwa 1.) menyatakan keberatan terhadap terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan penasihat hukumnya tidak dapat diterima, 2.) menyatakan sah menurut hukum surat dakwaan penuntut umum tanggal 1 Des 2016 sebagai dasar pemeriksaan kepada terdakwa, 3.) memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok seperti tertulis di atas, dan 4.) menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir,” ujar Dwiarso Budi Santiarto selaku Ketua Majelis Hakim dalam sidang putusan sela yang digelar hari ini. 

Dengan demikian, persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi. 

Sebelumnya pada sidang pertama, pada tanggal 13 Desember, Ahok mengajukan nota keberatan di mana dia menyampaikan tidak ada niat untuk menodai agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada akhir September lalu. 

(BACA: LIVE BLOG: Sidang dugaan penistaan agama oleh Ahok)

Selanjutnya pada sidang kedua, 20 Desember, Jaksa Penuntut Umum (JPU) merespon nota keberatan tersebut dengan meminta kepada hakim untuk menolak eksepsi yang diajukan Ahok dan kuasa hukumnya. JPU juga meminta hakim menyatakan surat dakwaan yang telah mereka susun sah secara hukum dan menetapkan pemeriksaan terdakwa Ahok dilanjutkan.

Lalu, apa pertimbangan Majelis Hakim menolak nota keberatan pihak Ahok? Dwiarso menjelaskan keberatan yang disampaikan oleh Ahok dan tim kuasa hukumnya bersifat formal. 

“Dalam keberatannya penasihat hukum belum mempermasalahkan apakah dakwaan yang disangkakan kepada terdakwa terbukti atau tidak. Hal itu baru bisa diketahui setelah semua alat bukti diperiksa,” katanya.

Keberatan lain yang dijelaskan oleh Majelis Hakim yakni soal adanya tudingan bahwa proses peradilan terhadap Ahok dilakukan atas tekanan publik. Kejanggalan dalam kasus Ahok dinilai oleh tim kuasa hukumnya sudah dimulai dari cepatnya penetapan status tersangka sehingga diduga berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pengadilan berpendapat untuk menyidangkan suatu perkara bukan atas desakan publik tetapi berdasarkan adanya pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum yang memohon untuk disidangkan dan diadili,” katanya lagi.  

Alhasil, Majelis Hakim memutuskan bahwa nota keberatan Ahok dan kuasa hukumnya tidak dapat diterima. Maka, pengadilan memerintahkan akan digelar sidang lanjutan pada tanggal 3 Januari 2017 di gedung Kementerian Pertanian di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sidang akan mengagendakan pemeriksaan para saksi. 

Di bagian akhir persidangan yang berlangsung selama sekitar 1 jam itu, Ahok dan penasihat hukumnya diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum jika tidak sependapat dengan majelis. Namun, mantan Bupati Belitung Timur itu meminta waktu untuk mengambil keputusan. 

“Yang Mulia Hakim, kami akan pertimbangkan,” ujar Ahok merespons kalimat hakim di ruang sidang Koesoemah Atmadja. 

Dengan demikian, sidang ditutup dan dibuka kembali sesuai dengan surat Keputusan Mahkamah Agung atas dasar permohonan dari jaksa dan kepolisian.

Korban isu SARA

Tim kuasa hukum Ahok yang menamakan diri Advokasi Bhinneka Tunggal Ika mengaku kecewa terhadap keputusan sela Majelis Hakim karena dianggap belum memperhatikan asas keadilan dan penegakan hukum. Mereka menegaskan akan tetap berpijak kepada nota keberatan yang sudah disampaikan dalam sidang perdana. 

“Dasar hukum yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan menggunakan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidaklah tepat untuk dijadikan acuan dan dasar, karena pernyataan dan sikap MUI bukan merupakan sumber hukum positif. Selain itu, juga tidak memiliki kekuatan mengikat,” tulis tim kuasa hukum dalam keterangan tertulis mereka pada Selasa, 27 Desember. 

JPU dianggap tim kuasa hukum tidak bisa mengungkapkan secara jelas adanya niat atau maksud perkataan yang dikatakan Ahok dan dianggap menodai agama Islam serta menghina para ulama. 

“Faktanya adalah Basuki Tjahaja Purnama justru menjadi korban dari isu SARA yang sengaja dihembuskan oleh oknum tertentu,” kata mereka lagi. 

Kendati begitu, menurut salah satu tim kuasa hukum, Sirra Prayuna menilai penolakan eksepsi ini termasuk langkah wajar walau dianggap mengecewakan. Majelis hakim, kata Sirra memiliki kewenangan untuk menilai apakah nota keberatan memang sudah sesuai dengan pokok perkara atau tidak. 

“Namun, ini tidak serta merta akan menentukan keputusan akhir yang diambil oleh majelis hakim. Sidang tadi kan hanya membahas soal formalnya saja bahwa susunan dakwaan JPU dianggap telah memenuhi syarat. Sementara, mengenai hal materiilnya masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut di sidang nanti,” katanya. 

Dia menyebut dalam sidang lanjutan nanti, kemungkinan pihaknya akan menghadirkan 5-7 saksi. Tetapi, tidak akan dihadirkan dalam sidang pekan depan. 

“Kami menunggu giliran setelah pihak JPU yang menghadirkan saksi mereka,” tuturnya. 

Lalu, bagaimana respons Ahok terhadap putusan sela Majelis Hakim? Sirra mengatakan mantan politisi dari Partai Gerindra itu bisa menerima keputusan majelis hakim hari ini. 

“Beliau enggak ada masalah. Lagipula ini kan masih syarat formal, pasti Beliau bisa memahami itu,” katanya. 

Terancam penjara empat tahun

Sama seperti dua persidangan sebelumnya, dalam sidang ketiga yang digelar hari ini, ormas keagamaan ikut “mengawal” jalannya sidang. Mereka bahkan sudah berkumpul di depan bekas gedung PN Jakarta Pusat sejak pukul 06:00 WIB.

Ketika persidangan dimulai sejak pukul 09:00, massa terus berorasi dan menuntut agar Ahok segera dibui. Ahok didakwa melakukan penistaan agama terkait ucapannya di Kepulauan Seribu. Saat itu ia mengutip surah Al Maidah ayat 51 dalam konteks memilih pemimpin.  

Oleh karenanya, JPU menilai Ahok telah melakukaan penodaan terhadap agama serta menghina para ulama dan umat Islam. Ahok kini dijerat Pasal 156 dan 156a KUHP.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!