Kasus terorisme 2016: Solo masih jadi hotspot

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kasus terorisme 2016: Solo masih jadi hotspot
Menurut pengamat, Solo dan area sekitarnya memiliki faktor-faktor kuat untuk membuat gerakan ekstrimis tetap subur

SOLO, Indonesia – Berbagai peristiwa terkait tindak terorisme terjadi di beberapa wilayah Indonesia sepanjang tahun 2016. Peristiwa itu dimulai dari bom bunuh diri hingga penembakan para terduga teroris.

Dari sekian banyak kota, rupanya Solo masih menjadi wilayah penting penyebaran ekstrimisme yang terinspirasi dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Lalu, mengapa Solo masih menjadi hotspot bagi para teroris? Pengamat terorisme dan pendiri Yayasa Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan Solo dan area sekitarnya memiliki faktor-faktor kuat yang membuat gerakan ekstrimis tetap tumbuh subur yaitu sejarah, aktor, dan lingkungan.

Oleh sebab itu tak mengherankan jika kota tersebut menjadi “hotspot” gerakan radikal di Indonesia.

“Secara historis, Solo merupakan tempat kelahiran gerakan jihad Jemaah Islamiyah serta jaringannya. Masih banyak aktor atau aktivis jihad berpengaruh yang tinggal di sana,” ujar pembuat film ‘Jihad Selfie’ itu kepada Rappler pada Rabu, 28 Desember.

Noor Huda juga diketahui memiliki latar belakang sebagai mantan santri di Pesantren Al Mukmin Ngruki dan pernah tinggal di Solo. Alasan lainnya menurut Noor Huda, karena Solo memiliki lingkungan sosial yang cukup mendukung untuk penyemaian bibit radikalisme seperti sekolah, pesantren, pengajian, penerbitan buku-buku jihad termasuk ormas radikal dan laskar Islam yang menjamur.

“Dari mereka (ormas radikal) muncul pelaku teror. Mereka naik kasta,” ujar Noord Huda lagi.

Maka tak heran jika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menempatkan Solo sebagai agenda utama program deradikalisasi, selain Poso. Fokusnya tak hanya pada mantan narapidana (napi) kasus terorisme yang sudah bebas lalu kembali ke masyarakat, tetapi juga penyebaran ideologi radikalisme yang mulai menyasar calon pelaku “amaliyah” baru yang semakin berusia muda.

Berikut peristiwa penting kasus terorisme selama tahun 2016 dan terkait dengan basis pergerakan jihad di Solo dan sekitarnya:

1. Bom Thamrin dan nama Bahrun Naim

BOM THAMRIN. Garis batas polisi saat terjadi peledakan bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Foto oleh Roni Bintang/EPA

Bom yang meledak di Jalan Thamrin depan Plaza Sarinah, Jakarta, 14 Januari, menjadi pembuka teror di awal tahun. Delapan orang tewas, di mana empat di antaranya adalah pelaku.

Salah satu pelaku, Afif alias Sunakim, adalah mantan napi yang pernah menjadi anak buah sang ideolog ISIS yang juga pimpinan Jamaah Anshor Daulah (JAD), Aman Abdurrahman. Aman sendiri kini masih meringkuk di Lapas Nusakambangan.

Namun polisi dengan cepat menyimpulkan otak serangan teror bom itu adalah Bahrun Naim Anggih Tamtomo (33 tahun), sosok anak muda dari Solo yang diduga mendanai aksi “konser” di Jakarta itu. Bahrun pernah ditangkap di Solo pada tahun 2010 karena kepemilikan ratusan butir peluru dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surakarta.

Setelah bebas, lulusan Ilmu Komputer Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu menghilang. Dia juga dilaporkan membawa kabur mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) asal Demak, Siti Lestari, ke Suriah.

Keberadaan Bahrun sendiri sampai saat ini masih menjadi misteri, meskipun polisi meyakini dia sudah berada di Raqqa, Suriah. Dari Suriah pula dia mengendalikan serangan teror dari negeri Bashar Al Assad itu. Orangtuanya yang tinggal di Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo mengaku bahwa anaknya sudah lama pergi dari rumah dan tidak pernah menjalin kontak dengan keluarga.

Anggota Densus 88 anti teror belum berhasil menemukan Bahrun Naim. Tetapi mereka berhasil menangkap belasan orang di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang diduga terkait dengan rencana pengeboman.

2. Tewasnya Fonda

Perburuan teroris di Poso, Sulawesi Tengah, menuai hasil sejak awal tahun ini. Aparat gabungan polisi dan TNI berhasil menembak mati Fonda Amar Solihin alias Dodo (22 tahun) tangan kanan Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah, dalam sebuah baku tembak di Pegunungan Torireh, pada tanggal 28 Februari.

Fonda juga merupakan anak dari Joko Parkit, yang sebelumnya ditangkap Densus 88 pada tahun 2013 karena terlibat membantu persembunyian gembong teroris Noordin M Top di Mojosongo, Solo. Noordin kemudian tewas di tangan Densus 88 saat penggerebekan tahun 2009.

Jenazah Fonda yang konon akan menjadi menantu Santoso itu dikirim pulang dari Palu. Di rumahnya di Purwosari, Laweyan, Solo, Fonda dielu-elukan oleh para pendukung khilafah sebagai mujahid yang mati syahid.

Melihat kondisi jenazah, keluarga dan para aktivis Islam garis keras di Solo menduga bahwa kematian Fonda tidak wajar dan mengalami penyiksaan atau kekerasan. Sebagai bukti ditemukan beberapa gigi yang hilang dan bekas luka jasadnya.

Selang lima bulan kemudian, giliran Santoso yang berhasil ditembak mati oleh aparat dalam perburuan di hutan Poso.

3. Kematian Siyono

Kabar lainnya, pada tanggal 8 Maret, salah seorang yang disebut-sebut polisi sebagai petinggi Neo Jamaah Islamiyah, Siyono (34 tahun) ditangkap di rumahnya di Desa Pogung, Cawas, Klaten. Tiga hari kemudian ia dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa. Sang istri, Suratmi, kemudian menerima dua gepok bungkusan uang Rp 100 juta dari polisi sebagai uang duka.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga telah terjadi pelanggaran prosedur penangkapan dan interogasi yang menyebabkan pelanggaran HAM. Mereka mencium kejanggalan dalam kematian Siyono yang tidak wajar.

Berdasarkan keterangan dari polisi, Siyono meninggal setelah kelelahan berkelahi dengan anggota Densus 88 di dalam mobil. Kepalanya mengalami pendarahan karena benturan di dalam mobil.

Komnas HAM menggandeng PP Muhammadiyah untuk melakukan investigasi independen terhadap kematian Siyono. Selain mengumpulkan data, mereka juga melakukan otopsi terhadap jenazah dengan membongkar makam setelah 14 hari pemakaman.

Hasilnya, tim dokter forensik dari beberapa universitas di Jawa Tengah dan Yogyakarta menyimpulkan Siyono tewas karena tulang rusuk patah yang berakibat merobek jantung, bukan karena pendarahan di kepala. Namun, polisi tetap menolak hasil investigasi Komnas HAM dan tetap berpegang pada hasil pemeriksaan dokter Polri.

Para aktivis ormas Islam radikal membonceng Komnas HAM dan Muhammadiyah, organisasi Islam besar dan tertua di Indonesia, untuk memuluskan agenda mereka sejak lama yakni membubarkan Densus 88 yang mereka anggap sebagai musuh utama.

Kematian Siyono dan tewasnya Fonda dalam waktu berdekatan menyulut demonstrasi di Solo. Publik kemudian menuntut pembubaran Densus 88 karena dianggap sebagai mesin penyiksa dan pembunuh orang-orang Islam, terutama kawan-kawan mereka.

Dua anggota Densus dibebastugaskan dan dipindah ke satuan lain. Sementara istri Siyono, Suratmi, tidak puas dan melanjutkan gugatan hukum ke Polres Klaten atas kematian suaminya.

4. Bom Mapolresta Surakarta

Peristiwa bom bunuh diri secara tak terduga terjadi di halaman Markas Polresta Surakarta, di penghujung bulan Ramadan, pada tanggal 5 Juli, atau tepat sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pelaku tewas di tempat dengan kondisi tubuh tercabik ledakan. Sementara seorang polisi Brigadir Pol Bambang Adi Cahyono terluka.

Pelaku bom adalah Nur Rohman, warga Solo yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam jaringan teroris Bekasi. Dia lolos saat penangkapan pada Desember 2015 dan bersembunyi di beberapa kota.

Nur Rohman merupakan kelompok Hisbah Solo yang berbaiat kepada ISIS dan diduga juga berafiliasi ke jaringan Aman Abdurahman.

Dia melakukan “amaliyah” seorang diri dengan mengendarai sepeda motor matic menerobos masuk gerbang Mapolresta Surakarta. Dia juga merancang sendiri bom rakitan jenis casing press cooker atau bom panci dengan daya ledak rendah yang terbuat dari bahan kalium nitrat, sulfur, dan ratusan butir gotri.

Densus 88 kemudian menangkap sejumlah orang di wilayah Solo, yang diduga membantu Nurrohman dalam persembunyiannya.

5. Bom Panci Bekasi

OLAH TKP. Petugas Labfor Polri membawa sejumlah barang bukti saat melakukan olah tempat kejadian perkara di rumah kontrakan terduga kelompok jaringan teroris, di kawasan Bintara Jaya 8, Bekasi, Jawa Barat, Minggu, 11 Desember. Foto oleh Risky Andrianto/ANTARA

Pada tanggal 10 Desember, Densus 88 menangkap tiga terduga teroris di Bekasi yang merencanakan pengeboman di Istana Kepresidenan. Pelaku berencana melakukan serangan teror pada tanggal 11 Desember di depan Istana Negara ketika tengah terjadi pergantian tugas Paspampres.

Mereka adalah pasangan suami-istri Muhammad Nur Solihin dan Dian Yulia Novi serta Agus Supriadi. Dian ditangkap di rumah kost di daerah Bintara Jaya, sedangkan Solihin dan Agus ditangkap di bawah jembatan layang Kalimalang.

Lagi-lagi, polisi menyimpulkan Bahrun Naim menjadi dalang yang mengendalikan mereka, mulai dari mengajari membuat bom serta mendanainya dari Suriah.

Tim Gegana meledakkan barang bukti berupa bom panci – yang diduga berdaya ledak kuat – di dalam kamar kost. Bom panci itu dirakit di rumah Suyanto alias Abu Izzah, seorang petani di Matesih, Karanganyar, yang ditangkap Densus 88 pada hari yang sama.

Sementara, Dian merupakan istri kedua Solihin asal Cirebon yang disiapkan untuk menjadi “pengantin” bom. Sedangkan Agus Supriadi yang tinggal di Grogol, Sukoharjo, berperan membantu menyewa mobil rental dan mengantarkan bom ke Bekasi.

Densus 88 kemudian menangkap istri pertama Solihin, Arinda Putri Maharani, di rumah orang tuanya di Pajang, Solo, yang diduga mengetahui penyimpanan bahan peledak, serta menerima dana untuk pembuatan bom. Selama ini Solihin tinggal di Solo, bersama Arinda dan bayinya yang berusia enam bulan.

Solihin, 26 tahun, merupakan pemimpin dalam kelompok ini, dan merakit bom bersama Khafid Fathoni, teman satu kampusnya di IAIN Surakarta, di rumah Suyanto di Karanganyar. Khafid ditangkap di Ngawi, Jawa Timur sehari kemudian.

Polisi juga menggeledah rumah kontrakannya di Kartasura, Sukoharjo dan mendapati puluhan botol cairan kimia yang diduga bahan pembuat bom.

Polisi juga menangkap satu terduga lainnya, Wawan Prasetyawan, di Klaten yang berperan membantu menyimpan bahan peledak.

Sebelumnya, Solihin merupakan aktivis masjid. Menurut kesaksian warga, dia diketahui pernah menjadi takmir masjid di sebuah perumahan di Purbayan, Baki, Sukoharjo, dan rajin mengikuti pengajian keliling dari rumah ke rumah. Dia menghilang dari masjid sejak menikah. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!