Saksi Ahok jelaskan konteks Surah Al Maidah 51

Adrianus Saerong

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Saksi Ahok jelaskan konteks Surah Al Maidah 51
"Lagipula awliya itu berarti teman setia, bukan pemimpin.”

 

JAKARTA, Indonesia — Ahli agama sekaligus dosen tafsir Al Quran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogjakarta, Sahiron Syamsuddin, meminta umat muslim Indonesia untuk lebih memahami perbedaan penafsiran yang diakibatkan oleh perkembangan bahasa.

“Kita harus tahu bahwa ada perkembangan bahasa, jaman itu berbeda dengan sekarang. Lagipula awliya itu berarti teman setia, bukan pemimpin,” kata  Sahiron saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan penodaan agama di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu malam 29 Maret.

Karena awliya berarti teman setia, Sahiron melanjutkan, maka surah tersebut tidak meminta umat muslim untuk memusuhi kaum nasrani. Ia juga berulang kali menyebutkan bahwa Islam menghargai perbedaan pendapat, bahkan menganggapnya sebagai rahmat.

Sahiron menjelaskan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, karena itu sangat penting untuk menghargai semua perbedaan. “Indonesia diisi oleh berbagai latar belakang agama, dan bukan negara Islam. Akan tetapi memang ada setidaknya 5% dari kita yang menganut Wahabi,” katanya.

Menjadi saksi terakhir dalam persidangan kali ini, kehadiran Sahiron fokus kepada penafsiran Al Quran, meski sebenernya pelurusan makna dari Al Maidah 51 sudah sempat dilakukan oleh pihak NU melalui situs resmi mereka.

Kehadiran Sahiron hanya memperkuat tafsiran NU yang menyebut bahwa Al Maidah 51 pada jaman itu dilatarbelakangi oleh amarah Khalifah Umar kepada Abu Musa al-As’yari yang mengajak katib atau sekretarisnya yang beragama Kristen ke Masjid Nabawi.

Khalifah Umar saat itu memarahi Abu Musa dengan membacakan Al Maidah 51, dengan maksud untuk ‘menyelamatkan’ Sang Katib dari kesalahan. Umar meminta Abu Musa membawa katibnya keluar dari Madinah seraya berkata, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang sudah dijauhkan Allah darinya.” Haram saat itu diartikan bahwa wilayah Madinah adalah daerah steril dari non-Muslim, tapi Abu Musa mengajak katibnya ke sana.

Perbedaan dan perkembangan bahasa dalam penafsiran inilah yang ditekankan oleh Sahiron Syamssudin dalam kehadirannya sebagai saksi ahli di persidangan ke-16 penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Persidangan seharusnya terus berlanjut setelah kesaksian Sahiron, namun karena mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta, Muhammad Hatta, tidak hadir, sidang pun dijadwalkan untuk berlanjut pada 4 April 2017 dengan agenda pemeriksaan terdakwa dan alat bukti.

Hatta digadang menjadi saksi kunci dalam kasus ini karena sempat menangani kasus serupa. Sayangnya, saat ingin ditanya terkait absennya Hatta dari persidangan, tim penguasa hukum, Ahok, dan para hakim menghindar dari rekan media. Mereka memilih untuk keluar dari pintu samping dan langsung meninggalkan Kementerian Pertanian. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!