Ketika ulama perempuan menuntut kesetaraan gender

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika ulama perempuan menuntut kesetaraan gender
"Kami adalah wali diri kami sendiri dan tidak ada yang lebih tinggi dari kami, kecuali Allah.”

CIREBON, Indonesia — Ratusan ulama perempuan dari sejumlah negara hari ini menghadiri Seminar Internasional Ulama Perempuan di Gedung Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Kota Cirebon, Jawa Barat.

Seminar ini digelar sebagai ‘pemanasan’ sebelum Kongres Ulama Perempuan yang akan dibuka Selasa malam ini. Banyak tema kontroversial yang dibahas dalam seminar ini, salah satunya tentang perlakuan terhadap peremuan yang belum setara.

Peneliti senior dari Qatar University, Hatoon Al-Fasi, mengatakan saat ini banyak aturan yang membuat perempuan sulit bergerak bebas. Misalnya, larangan berpergian tanpa mahram dan tidak bisa menikah tanpa wali. Hatoon menilai aturan-aturan itu bias gender dan menguatkan stigma bahwa perempuan itu lemah. 

“Di sini banyak sekali naskah yang menggunakan dalih bahwa perempuan inferior, karena itu harus dilindungi. Ketika pergi didamping laki-laki. Jadi ada wali yang memberikan izin,” kata Hatoon pada Selasa, 25 April 2017.

Wali yang dimaksud adalah ayah, kakak laki-laki, atau anak laki-laki. Hatoon mencontohkan, ada aturan yang mengharuskan seorang janda meminta izin terlebih dahulu kepada anak laki-lakinya sebelum bepergian. 

“Menurut saya itu peraturan yang rumit dan dicampur adukan dan tidak ada kaitan dengan Islam,” kata Hatoon. “Ini adalah aturan-aturan dimana perempuan dilarang mengambil keputusan atas dirinya.” 

Menurut Hatoon perempuan, sebagaimana laki-laki, seharusnya diberikan hak untuk mengambil keputusannya sendiri. “Kami adalah wali diri kami sendiri dan tidak ada yang lebih tinggi dari kami, kecuali Allah,” katanya.

Pendapat senada diungkapkan Ulama sekaligus Feminis Perempuan dari Malaysia, Zainah Anwar. Menurut Zainah ada beberapa negara muslim yang menerapkan aturan di mana perempuan tidak perlu wali nikah, khususnya negara yang menerapkan tradisi Maliki dan Hanafi di Maroko.

Tapi menurutnya, bukan soal perlu atau tidaknya wali dalam menikah, melainkan apakah negara mau atau tidak memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk menjadi wali bagi dirinya sendiri.

“Jika negara tidak mengadopsi fiqih yang bisa lebih memberikan kesetaraan pada perempuan, bagaimana kita perempuan bisa mengorganisasi diri agar bisa memperjuangkan hak-haknya,” kata Zainah.

Sementara mantan Ketua Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan seorang perempuan dewasa bisa menikahkan dirinya sendiri. Selain itu perempuan juga bisa menjadi saksi nikah. Tapi untuk menjadi saksi nikah, perempuan juga terkendala aturan.

“Perempuan boleh menjadi saksi nikah, tapi blankonya (harus laki-laki). Jadi kita bukan hanya bertentangan dengan laki-laki tapi juga blanko,” kata Siti Ruhaini.

Selain membahas kesetaraan gener, seminar ini antara lain juga membahas tentang poligami dan hijab. Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan poligami bukan berasal dari ajaran Islam. Sebab, tradisi poligami telah muncul jauh sebelum Islam hadir.

(Baca: Kongres Ulama Perempuan: Poligami bukan berasal dari Islam)

—Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!