Menggugat ‘golongan’ dalam tuntutan Ahok

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menggugat ‘golongan’ dalam tuntutan Ahok
Penasehat hukum menilai soal 'golongan' yang tercantum dalam tuntutan jaksa terlalu luas maknanya

 
JAKARTA, Indonesia – Tim penasehat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mempertanyakan soal ‘golongan’ yang tercantum dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Menurut mereka, kelompok yang disebutkan masih terlalu luas dan tidak menyebutkan identitas yang jelas.

Anggota tim kuasa hukum Ahok, Sirra Prayuna, mengatakan dalam Pasal 156 KUHP yang dipakai untuk tuntutan, kata golongan merujuk pada bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sedangkan, yang disebutkan Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada akhir 2016 lalu merujuk pada golongan elite politik. “Sehingga kami anggap golongan yang dibicarakan JPU ini tidak tepat,” kata dia seusai sidang.

Sebelumnya, JPU memang mengatakan Pasal 156 a KUHP tidak terbukti dalam kasus Ahok. Mereka lantas menuntut dengan pasal alternatif 156 KUHP, karena menganggap pidato Ahok menyinggung ulama dan umat Islam di Indonesia.

Dalam Pasal 156 KUHP disebutkan, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dalam akhir pembelaan, tim penasehat hukum menilai korban ‘golongan’ yang disebutkan jaksa juga masih terlalu luas. “Dalam surat dakwaan, perlu digarisbawahi tentang masalah tidak jelasnya siapa yang menjadi korban, golongan mana yang merasa dihina secara konkrit, jelas, dan limitatif tidak tergambar secara benar, gamblang, dan konkrit sehingga syarat-syarat materiil yang diwajibkan KUHAP tidak terpenuhi di dalam dakwaan saudara penuntut umum,” kata anggota tim kuasa hukum Teguh Samudera dalam sidang.

Dalam tuntutan, JPU menuliskan, “Sehingga orang yang beragama Islam adalah termasuk golongan rakyat Indonesia termasuk para ulama, para mubaligh/mubalighah, para ustadz/ustadzah, para da’i, dan/atau para khotib dan juga orang-orang yang tergabung dalam kelompok yang menyampaikan isi ajaran islam dalam Al-qur’an,” sebagai pihak yang tersinggung.

Mereka menilai ada lompatan logika dan pemikiran yang tidak nyambung antara sambutan terebut dengan dakwaan. Antara elite politik dan umat Islam atau ulama dianggap tidak berhubungan.

Tak hanya itu, penasehat hukum juga mengatakan tak semua orang Islam merasa kalau pidato Ahok menyinggung mereka. Sedangkan, dalam laporan kepolisian, para pelapor membawa-bawa umat Islam seluruh Indonesia bahkan dunia serta ulama sebagai korban yang tersinggung.

“Makanya kami anggap tuntutan JPU ini hanya asumtif belaka, tak berdasarkan fakta persidangan yang ada. Golongan yang dibicarakan ini tak tepat, (tuntutannya) tak lebih atas dasar tekanan publik saja,” kata Sirra.

Karena itu mereka meminta hakim untuk berani membebaskan Ahok, karena selain dakwaan tak terbukti, terdakwa pun tak memiliki niat untuk menghina siapapun.

Namun, Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono menilai soal golongan tak perlu dijelaskan. Pasal 156 KUHP sudah menyatakan jelas kalau yang dimaksud berdasarkan agama, sehingga Islam sudah termasuk.

“Tidak perlu golongan Islam dipecah lagi menjadi majelis taklim dan sebagainya,” kata dia seusai sidang.

Tidak patut 

Dalam pembelaan, tim penasehat hukum juga mengutip /amicus curiae/ dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mengatakan kasus ini suatu bentuk kriminalisasi terhadap Ahok. Namun, dalam bahasan tersebut yang dipersoalkan adalah Pasal 156 a. Sedangkan JPU menggunakan Pasal 156 KUHP dalam tuntutan.

Terkait hal ini, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengapresiasi JPU yang tidak menggunakan pasal penistaan agama terhadap kasus Ahok. Namun, penggunaan pasal alternatif justru tidak memperbaiki keadaan.

“Hanya menggunakan pasal 156 tidak menghilangkan keanehan kasus ataupun kriminalisasi terhadap Ahok. Justru menunjukkan bahwa kasus ini sejak awal tidak patut dibawa ke ranah hukum,” kata dia saat dihubungi Rappler. Sejak awal kasus ini konstruksinya adalah penodaan agama, bukan golongan.

Menurut dia, bila memang tak terbukti maka tak perlu sampai diproses di pengadilan. Terlebih lagi, mantan bupati Belitung Timur ini sudah meminta maaf.

Lebih lanjut, Pasal 156 KUHP adalah pasal ujar kebencian atau /hatespeech/. Dengan demikian, sangat aneh jika pasal ini ditujukan ke Ahok. Pasal ini harusnya ditujukan kepada orang-orang yg rasis, mendorong kebencian SARA, bahkan mendorong kekerasan berbasis SARA.

“Sepemahaman saya justru kelompok minoritas seperti Ahok yang sering menjadi korban,” kata dia.

Setelah pembelaan usai dibacakan, JPU memilih untuk tidak menanggapi karena hanya akan mengulang apa yang sudah disampaikan di persidangan. Dengan demikian, majelis hakim akan membacakan putusan Ahok bersalah atau tidak pada Selasa, 9 Mei 2017 mendatang. 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!