Menghentikan kelanggengan impunitas di RUU KUHP

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menghentikan kelanggengan impunitas di RUU KUHP
Kejahatan luar biasa seperti genosida, agresi, perang, dan serangan terhadap kemanusiaan tak dapat ditindak seperti kejahatan umum

JAKARTA, Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritisi masuknya kejahatan luar biasa ke dalam rancangan KUHP yang tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tindakan tersebut dinilai dapat melanggengkan impunitas dan mempersulit penindakan pelaku.

“Antisipasi kejahatan-kejahatan itu perlu memakai hukum acara dan aturan khusus karena sifatnya yang luar biasa,” kata Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah di kantornya pada Rabu, 14 Juni.

Kejahatan luar biasa yang dimaksud adalah genosida, tindak pidana terhadap kemanusiaan dan tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata. Dalam hukum pidana internasional, lebih dikenal sebagai gross violation of human rights.

Kejahatan-kejahatan tersebut, Roi menjelaskan, mengguncang hati nurani umat manusia karena kekejaman, sifatnya yang sistematis, besarnya jumlah korban, dan/atau tersebar luasnya tempat terjadinya kejahatan. Sifat ini membuatnya layak menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan, bahkan menjadi kewajiban semua umat manusia untuk mencegah dan menindaknya.

Karena itu, penindakannya memiliki konsep khusus yang berbeda dengan kejahatan umum seperti tidak berlakunya ketentuan kedaluwarsa; dapat diterapkan secara retroaktif; kewajiban menyerahkan, mengadili, dan menghukum pelaku; tidak berlakunya asas nebis in idem; serta pertanggungjawaban atasan bila pelaku kejahatan adalah bawahan dalam organisasi militer.

Dengan memasukkan kejahatan luar biasa ke dalam KUHP yang menindak kejahatan biasa, Komnas HAM melihat adanya implikasi reduksi bobot kejahatan. Dampak turunannya, konsep khusus di atas terancam ditiadakan.

“Ini berpotensi melanggengkan impunitas. Karena itu, Komnas HAM menolak pengaturan kejahatan genosida ke dalam RUU KUHP,” kata Roi.

Direktur Eksekutif for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono juga mengatakan penurunan bobot membuat pelaku berhak untuk mendapat amnesti dari presiden. Padahal hukum internasional atas kejahatan luar biasa tidak memperbolehkan pelaku mendapat amnesti.

Klausul ini memberikan peluang kepada pemerintah untuk tidak menuntut pelaku genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan.

“Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata dia.

Buat aturan baru

Sebenarnya, kejahatan genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, ada sejumlah kekeliruan dalam pemaknaan dan tata bahasa yang berpotensi membuat pelaku lolos.

UU Pengadilan HAM ini diadopsi dari kejahatan internasional dalam Statuta Roma 1998. Salah satu kesalahan UU 26/2000 adalah menerjemahkan frasa “committing or about to commit” sebagaimana diatur pada Pasal 28 Statuta Roma menjadi “melakukan atau baru saja melakukan” dalam UU 26/2000.

“Seharusnya terjemahannya adalah ‘sedang melakukan atau akan melakukan,'” kata Roi.

Atas hal ini, baik Komnas HAM maupun ICJR menyarankan supaya pemerintah tidak memasukkan kejahatan luar biasa dalam RKUHP. Pilihannya adalah membuat UU baru sebagai pengganti UU 26/2000 atau mengamandemen. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!