Menuntut perlakuan sama dalam penerapan Pancasila

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menuntut perlakuan sama dalam penerapan Pancasila
Persoalan agama seringkali mempersulit proses administratif penganut kepercayaan dan minoritas

JAKARTA, Indonesia – Pertanyaan dari Dewi Kanti Setianingsih sempat membuat Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) Yudi Latif sedikit kebingungan. Penghayat aliran kepercayaan Sunda Wiwitan itu menanyakan perihal penyelarasan Pancasila dengan aliran kepercayaan adat di Indonesia.

Hingga saat ini, para penghayat aliran kepercayaan maupun pemeluk agama minoritas seringkali mendapat perlakuan diskriminatif. “Bagaimana supaya nilai Pancasila juga menjamin hak-hak pemeluk kepercayaan?,” tanya Dewi saat digelar diskusi bertajuk “UKP PIP Mendengarkan” di Graha Oikumene, Jakarta, pada Rabu, 21 Juni.

Awalnya, secara tegas Yudi mengatakan kalau tidak ada ketentuan yang mengatur soal agama resmi dan tidak resmi di Indonesia. Namun, peserta diskusi mengoreksinya. Yudi mungkin lupa dengan keberadaan Penjelasan Atas Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, yang berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu.”

Meski demikian, Yudi mengatakan kalau seandainya aturan semacam itu memang ada, sifatnya lebih untuk sekadar administrasi. Bukan menjadi rekognisi agama yang diakui di Indonesia.

“Kalau dulu, pemeluk Islam itu harus haji dan lain-lain. Negara harus memfasilitasi, makanya didaftar,” kata dia menjelaskan. Namun, lama kelamaan fungsinya beralih menjadi pengakuan kesahihan iman seseorang.

Yudi menilai keberadaan aturan terkait kegamaan ini justru mengganggu nilai-nilai Pancasila dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang membebaskan orang untuk beragama dan berkeyakinan. Kepercayaan adat yang lahir dan berkembang bahkan sebelum kemerdekaan disebutnya mengandung semangat Pancasila.

“Agama lokal itu bisa membuat kita banyak belajar. Jadi mutiara kebijakan terhadap nilai Pancasila itu bukan hanya dalam agama yang disebut agama impor,” kata dia.

Dia juga menyatakan dukungannya terhadap upaya uji materi aturan tersebut.

Diminta berubah

MENUNTUT HAK. Jemaat Ahmadiyah Manislor, Kuningan, Jawa Barat, mengadukan dugaan diskriminasi oleh pemerintah setempat ke Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri. Foto oleh SEJUK

Destya Nawriz, penganut Baha’i dari Sulawesi Selatan menceritakan pengalamannya semasa bersekolah dulu. Ia dan keluarganya memang secara terbuka menyatakan diri sebagai pengikut ajaran Baha’u’llah tersebut.

“Pernah sewaktu kenaikan kelas, saya disuruh memilih untuk pindah agama atau tidak naik dan dikeluarkan,” kata dia. Namun, ia dan keluarganya kemudian melakukan pendekatan ke pihak sekolah sehingga Destya bisa menamatkan pendidikannya tanpa perlu mengubah kepercayaan.

Namun, tak semua jemaat Baha’i bernasib beruntung. Karena tak terdaftar, maka kolom agama di KTP mereka diisi dengan “-” dan menjadi hambatan dalam mengurus proses administrasi seperti misalkan pernikahan.

Ada pengikut Baha’i yang karena tak bisa mencatat pernikahannya secara administrasi negara, akhirnya memiliki dua Kartu Keluarga. Pertama hanya berisi nama suami sebagai kepala keluarga pertama dan yang kedua berisi nama istri dan anak-anaknya. Sang istri pun menjadi kepala keluarga terpisah, meski berasal dari keluarga yang sama.

Seringkali, akta kelahiran anak-anaknya pun tak utuh, karena secara administrasi negara pernikahan mereka tidak diakui. Padahal, sejak 2014 Kementerian Agama sudah resmi menyatakan Baha’i sebagai agama, berdasarkan penelitian yang mereka lakukan sendiri.

Nasib serupa juga menimpa jemaat Ahmadiayah di Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sebanyak 1400 orang Ahmadi belum mendapatkan KTP-elektronik sejak 2012 lalu.

Diskriminasi mereka tidak hanya sebatas ucapan, diperkuat pula dengan aturan dari pemerintah setempat. Surat Bupati Kuningan Nomor 470/627/Disdukcapil menyatakan anggota JAI harus keluar jika ingin mendapatkan KTP-elektronik.

Mereka harus menandatangani surat pernyataan yang isinya antara lain: “Saya anggota JAI menyatakan diri penganut agama Islam. Sebagai buktinya, saya bersedia untuk membaca dua kalimat syahadat dan selanjutnya bersedia dibina.”

Dessy Aries Sandy, perwakilan JAI Manislor, menyatakan ada dampak domino dari perlakuan ini. Seorang Ahmadi harus kehilangan nyawa anaknya karena tidak bisa mengurus BPJS tanpa KTP-elektronik. Seorang remaja Ahamadi juga harus mengurungkan mimpinya mendaftar ke salah satu universitas ternama lantaran tidak bisa mencantumkan nomor KTP-elektronik.

“Padahal waktu di KK Jakarta bisa terdaftar, tapi pindah ke Manislor tidak bisa terdaftar,” kata Dessy.

Membenahi

Terkait isu-isu ini, Yudi mengatakan akan menelusuri pelanggaran nilai kepancasilaan di berbagai lembaga kenegaraan. “Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan. Kalau ada yang tidak dilindungi negara, berarti negara tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila,” kata Yudi.

Ia juga memastikan akan menyisi peraturan daerah yang bersifat diskriminatif dan tidak berasaskan pancasila. Meski tidak berwenang untuk mencabut, namun timnya akan meneruskan ke kementerian atau lembaga terkait untuk menindak.

Saat ini, UKP PIP masih menyusun ukuran dan indikator penentuan kebijakan suatu daerah dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, mereka juga akan membenahi sistem pembelajaran agama di institusi pendidikan.

Menurut dia, selain di ruang kelas, pelajaran agama juga sering dilangsungkan secara informal lewat pembinaan kelompok usai jam belajar. “Distorsi terjadi saat dari ruang belajar kelas ke informal. Kita harus duduk bareng meninjau ulang sistem pembelajaran agama ini,” katanya.

Dewi sendiri menyambut baik inisiatif dari Yudi dan tim UKP PIP. “Saya rasa ini sudah inisiatif yang bagus. Intinya negara harus hadir dan UKP menjadi garda terdepan mengawal implementasi pancasila dan hak konstitusi negara,” kata dia. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!