SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat sering menyuarakan kritik terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Mereka menjabarkan sejumlah solusi untuk masalah-masalah yang menjadi alasan lahirnya Perppu.
“Persoalan kita karena implementasi aturan yang ada tidak dijalankan maksimal. Sehingga berdampak intoleransi terjadi,” kata Direktur Imparsial Al Araf di Jakarta pada Ahad, 13 Agustus.
Secara aturan hukum, telah termuat berbagai aturan yang dapat digunakan negara untuk mengatasi kasus-kasus persekusi, intoleransi, maupun radikalisme dan terorisme. Seperti misalkan, tindakan kekerasan berbasis intoleransi dapat ditangani oleh polisi dengan menggunakan Pasal 170 KUHP; bila pelakunya dari ormas, bisa ada Pasal 59 ayat 2 UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas. Untuk diskriminasi berbasis etnis, ras, dan agama sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2008 serta UU Nomor 39 tahun 1999.
Namun, saat marak terjadi kasus persekusi maupun diskriminasi terutama pada Pilkada DKI Jakarta lalu, polisi dan pemerintah terkesan mendiamkan. Al Araf mengandaikan jika hukum-hukum ini dimanfaatkan oleh polisi, maka keadaan tidak akan separah itu.
Nisrina Nadhifah Rahman dari KontraS juga melihat adanya standar ganda dalam penindakan kasus. Ia mencontohkan kasus yang menimpa Fiera Lovita dan Kaesang Pangarep. Polisi terkesan membiarkan teror terhadap Fiera yang akhirnya membuat dokter ini meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke Jakarta.
“Tapi ketika kasus Kaesang polisi cepat respons. Menurut kami, berbahaya jika polisi berpihak kepada pelaku persekusi dan tidak berpihak pada korban,” kata dia.
Pendekatan sosial
Sementara untuk kasus-kasus lain seperti siar kebencian lewat pelajaran agama dan ekstrakurikuler di sekolah, seharusnya tidak ditindak secara hukum tetapi lewat pendekatan sosial.
“Kami lihat secara objektif, tindakan intoleransi dan radikal, tidak semua pelanggaran hukum, tidak tepat tindakan di ranah sosial direspons dengan tindakan hukum. Itu tidak akan berhasil,” kata Ketua YLBHI Asfinawati.
Persoalan Perppu Ormas dipandang sebagai kegagalan pemerintah dalam memahai akar dari ekstrimisme dan radikalisme. Selama ini, sudah banyak lembaga yang merilis studi tentang kecenderungan melakukan tindakan radikal dan intoleran namun cenderung diabaikan.
Bila ada pendidikan agama yang menyebarkan gagasan intoleran, maka negara harus menghentikan kecenderungan penghentian pemihakan pada satu tafsir semata. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pihak sekolah, serta keluarga juga harus proaktif dalam menghentikan penyebaran.
Bila penyebaran berlangsung lewat khotbah keagamaan, maka organisasi keagamaan harus dilibatkan supaya tidak lagi memberi ruang kepada pengkhotbah tersebut. Sedangkan, mereka yang menyebarkan toleransi dan perdamaian harus diberikan kesempatan lebih banyak.
“Pengawasan oleh Kemendikbud dan Komnas HAM harus diperkuat,” kata Al Araf.
Pemerintah juga belum terlihat bergerak untuk memperbaiki situasi sosial. Selain kendornya penegakan hukum, buruknya kualitas hidup masyarakat juga berpengaruh pada suburnya pertumbuhan radikalisma dan ekstremisme. Al Araf mencontohkan dengan maraknya korupsi yang membuat negara terlihat lemah.
“Sepanjang negara menunjukkan kapasitas lemah, maka secara bersamaan akan menjadikan mereka (kelompok radikal dan ekstremis) membangun kapasitas melawan negara,” kata dia.
Maka, penting bagi negara untuk hadir dan bekerja maksimal untuk masyarakat tanpa membuat siapapun merasa terpinggirkan.
Lahirnya UU Ormas
Al Araf kemudian menceritakan proses lahirnya UU Ormas pada masa Orde Baru. Tujuan pemerintah mengatur ormas adalah supaya mudah mengawasi aliran dana, yang dicurigai berasal dari kelompok teroris, atau mencegah penyebaran paham yang tidak sesuai dengan hukum di Indonesia.
“Hampir sama polanya dengan Perppu Ormas. Tapi, selama 3 tahun monitoring dan evaluasi, tidak ada tindakan pemerintah menyelesaikan masalah terorisme dan lain-lain,” kata dia.
Justru ketika UU belum maksimal diterapkan, sudah diganti dengan Perppu yang lebih represif. Dengan ditekan dan dibatasinya kegiatan ormas, masalah intoleransi tidak akan selesai. Belum lagi kesan diktator dan sewenang-wenang pemerintah yang muncul karena penghapusan proses pengadilan dalam menindak ormas.
Malahan Perppu ini justru berpotensi jadi ancaman bagi ormas-ormas lain. “Mungkin pemerintah sekarang baik, tapi kita tidak tahu kalau digunakan pemerintahan selanjutnya untuk membubarkan ormas semena-mena. Atau oleh pemda,” kata dia.
Perppu Ormas dapat digunakan kepala daerah untuk memberangus kelompok demokrasi karena kekuasaan di Indonesia yang tidak terpusat pada presiden. -Rappler.com
BACA JUGA:
- Yusril resmi ajukan permohonan uji materi Perppu Ormas
- Terbitkan Perppu Ormas, Wiranto: Bukan untuk mencederai umat Islam
- Perppu Ormas tuai beragam kritik
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.