Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini dituntut 12 tahun penjara

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini dituntut 12 tahun penjara
Total uang suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa diduga mencapai Rp 12,8 miliar

SEMARANG, Indonesia — Proses persidangan kasus suap dengan terdakwa Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini memasuki babak baru. Hari ini Sri Hartini dituntut hukuman kurungan penjara selama 12 tahun plus denda Rp 1 miliar serta denda subsider sebesar Rp 2,5 miliar.

“Sri Hartini terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK Avni Carolina.

Selain itu, Avni melanjutkan, Sri Hartini juga dituntut dengan Pasal 12 huruf b Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Avni mengatakan tuntutan tersebut telah melalui berbagai pertimbangan. Ia menyebut yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pola pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Namun jaksa menganggap terdakwa telah bersikap kooperatif selama persidangan, termasuk mengakui serta menyesali perbuatannya.

Ketua Majelis Hakim Tipikor Semarang Antonius Widjantono memberikan tenggat waktu selama 1 minggu ke depan bagi terdakwa untuk berpikir apakah akan mengajukan pledoi atau tidak. “Sidang ditunda Rabu 6 September pekan depan,” katanya.

Mempertajam penyelidikan

Saat ditemui usai sidang, Jaksa Avni Carolina menyebut rincian jumlah uang suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa yang mencapai Rp 12,8 miliar. 

Jumlah tersebut terdiri dari uang suap senilai Rp 2,9 miliar, uang gratifikasi Rp 9,8 miliar, serta ada pula 5.700 Dollar Amerika dan 2.000 Dollar Singapura.

“Uang yang diterima terdakwa sudah kami kroscek di dalam persidangan, masih ada selisih Rp 735 juta baik dari suap maupun gratifikasi,” jelasnya.

Menurutnya proses penyelidikan atas kasus yang menjerat Sri Hartini masih akan diperdalam kembali. Hal ini untuk melacak keterlibatan sejumlah pejabat dalam penerimaan suap maupun gratifikasi.

“Termasuk peran anak terdakwa akan ditelusuri lebih lanjut lagi. Sebab tidak menutup kemungkinan terdapat peran dari oknum pejabat lainnya,” sergahnya.

Deddy Suwandi, Kuasa Hukum Sri Hartini mengaku terkejut dengan tuntutan jaksa. “Saya pikir awalnya di bawah 10 tahun saja. Kami akan mengajukan keberatan pekan depan,” kata Deddy.

Merasa jadi tumbal partai

Di lain pihak, Sri Hartini mengaku tak terima dengan apa yang menimpanya selama ini. Ia merasa dijadikan tumbal oleh PDIP sebagai partai pengusungnya. 

Pasalnya, sebagai kader partai dirinya juga tak pernah dijenguk oleh perwakilan partainya.Padahal, sebagai Ketua DPC PDIP Klaten, ia kerap menemani Puan Maharani hingga mendapat posisi menjadi Menko PMK.

“Saya dan beberapa teman dulu sering sama Mbak Puan, sampai dia jadi DPR dan menteri. Namun saat saya kena kasus, tidak ada satupun kader yang menjenguk di tahanan,” katanya.

Terlebih lagi, sejak menjabat enam bulan di Klaten, banyak kader yang menjegal saya. Misalnya, ia pernah disabotase seorang pejabat yang menutup semua akses tempat pembuangan sampah di perkotaan. Alhasil, kawasan kota tampak kotor karena banyak warga membuang sampah sembarangan.

“Sampai-sampai Mas Ganjar (Gubernur Jateng) yang prihatin dengan temuan itu datang menemui saya di Klaten. Dia bertanya mengapa bisa sampai segitunya. Ya saya jawab toh kalau itu merupakan tindakan yang ingin melengserkan saya. Kan yang ingin jadi bupati enggak cuma saya saja. Rekan separtai dan di luar internal juga tergiur,” kilahnya.

Puncaknya, katanya saat Mendagri membuat aturan mengenai perubahan SOTK. Ia mengatakan semua daerah termasuk Klaten melaksanakan peraturan tersebut secara serentak.

Karenanya, hal tersebut membuatnya terlena terutama saat banyak pejabat yang kompak menyetorkan uang suap dan gratifikasi saat dilakukan perubahan SOTK.

Uang haram tersebut tidak langsung diterimanya. Tetapi melewati persetujuan dari ajudan maupun security kantor dinasnya. Nominal yang disepakati beragam. Mulai puluhan hingga ratusan juta.

“Jadi lewat persetujuan ajudan dan security yang lama bekerja dengan saya. Saya akui memang terlena dan kurang waspada,” katanya. —Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!