Kisah pilu pengungsi Rohingya hingga ‘terdampar’ di Makassar

Syarifah Fitriani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah pilu pengungsi Rohingya hingga ‘terdampar’ di Makassar
"Kami hanya ingin hidup normal."

MAKASSAR, Indonesia — Beberapa pasang kaki bergegas menuju Masjid Nurul Imam Telkom yang berlokasi di Jl Pettarani Makassar, Senin 4 September 2017. Tak peduli betapa panasnya terik matahari seakan memanggang kulit mereka. 

Tak berapa lama, beberapa pria juga tampak berdatangan dengan menggunakan sepeda menuju pelataran masjid. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 12.00 WITA yang menandakan salat dzuhur segera dilaksanakan. 

Sekilas mereka tak nampak seperti penduduk asli Makassar, melainkan lebih mirip Warga Negara Asing. Saat berbincang dengan beberapa awak media, mereka mengaku seorang imigran dari Myanmar. 

“Kami imigran Rohingya, kami datang ke sini selain beribadah juga menghadiri diskusi Forum Masyarakat Peduli Rohingya,” kata pria bersepeda yang tidak ingin disebut namanya. 

Usai melaksanakan salat, diskusi yang dihadiri Wakil Ketua Komisi B DPRD Makassar, Iqbal Djalil, pun dibuka dengan keluhan beberapa imigran Rohingya. Maklum, sejak beberapa tahun ini, mereka mengungsi di Indonesia tanpa kepastian yang jelas tentang pemberangkatan ke negara ketiga. 

Dari 2012 lalu, sejak aksi kekerasan mulai terjadi di Myanmar, warga Rohingya melarikan diri ke negara lain demi bertahan hidup. Karena tidak memiliki paspor dan visa, mau tak mau mereka pun harus mengarungi lautan dengan menggunakan kapal laut. 

Bukan Indonesia yang mereka tuju,  melainkan Australia, Malaysia dan Thailand yang menjadi negara tujuan etnis Rohingya. Sayangnya, mereka terombang-ambing di lautan lantaran awak kapal melarikan diri setelah ketahuan oleh anggota TNI yang menjaga perbatasan negara. 

“Saya juga ikut dalam kapal menuju Australia, tapi kami tertahan di Indonesia. Hanya itu satu-satunya cara agar kami dapat mencapai negara yang aman karena kami tidak punya paspor,” kata Musa, salah seorang pengungsi Rohingya. 

Awalnya, lanjut Musa, mereka tiba di Indonesia tepatnya di daerah aceh. Setelah itu, mereka disebar ke Jakarta, Surabaya, Bandung dan Kupang lantaran tidak memiliki paspor. Setelah setahun lebih ditahan di sel tahanan, para pengungsi pun diberikan sebuah kartu imigran dari Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN). 

Setelah mendapat kartu dari PBB, mereka kembali diungsikan ke kota besar seperti Makassar dan kota lainnya. Hidup di Makassar, mereka bisa merasakan sedikit kebebasan, namun tetap tidak boleh melanggar aturan seperti bekerja, keluar dari kota Makassar dan mengemudi kendaraan bermotor ditambah penerapan jam keluar dari tempat penampungan hanya sampai batas pukul 22:00 WITA. 

Perjalanan dari Myanmar ke Aceh hingga ditempatkan di Makassar ini dirasakan pengungsi cukup keras dan sulit. Jika dapat solusi terbaik, mereka berharap dapat merasakan kehidupan bebas yang dirasakan orang lain saat ini. 

“Bisa hidup normal, yang penting bisa dapat solusi terbaik. Kami hanya ingin dianggap sebagai manusia yang berhak mendapatkan hak hidup dan menjalani hidup normal,” lanjut Musa. 

Fasih berbahasa Indonesia  

Salah seorang imigran Rohingya bernama Musa yang kini telah fasih berbahasa Indonesia. Foto oleh Syarifah Fitriani/Rappler

 

Beruntung selama menjejakkan kaki ke tanah Bugis Makassar, belum sekalipun para imigran mendapat perlakuan buruk dari warga Makassar. Bahkan menurut para Imigran Rohingya, warga Makassar menunjukkan keramahannya saat mereka tengah berdaptasi dengan lingkungan baru. 

Bahkan tak segan-segan masyarakat Makassar yang tinggal di area sekitar penampungan mengajari mereka berbahasa Indonesia dibantu penjaga penampungan yang juga senantiasa mengajari mereka berbahasa Indonesia secara fasih. 

“Karena sudah terlalu lama disini, bahasa Indonesia itu menjadi wajib bagi kami, selama lima tahun lebih kami makan dan tidur disini, jadi harus beradaptasi,” kata Musa didampingi Imigran Rohingya lainnya.  

Dari ratusan imigran Rohingya yang tertampung di 12 wisma di kota Makassar tersebut, hampir sepenuhnya bahkan telah fasih berbahasa Indonesia. 

Selama mengungsi di Indonesia, banyak suka duka yang dialami pengungsi Rohingya, terutama dalam beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun kebersamaan membuat semuanya lupa akan beban hidup yang dialaminya.

Beberapa waktu lalu, pengungsi Rohingya melakukan aksi unjuk rasa di halaman Gedung Kantor UNHCR untuk mempertanyakan nasib mereka. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut tiga poin, yakni dikembalikan ke negara asal, menjadi Warga Negara Indonesia dan yang terakhir diberangkatkan ke Negara ketiga. 

“Poin pertama itu tidak mungkin, karena kita bisa lihat sendiri bagaimana keadaan di sana sekarang, poin kedua juga tidak mungkin karena kami menghargai peraturan dari Pemerintah Indonesia. Jadi hanya poin ketiga pilihan yang kami harap sekarang,” pungkas Musa. 

Dianaktirikan

Warga Rohingya saat mengikuti diskusi Forum Masyarakat Peduli Rohingya di Makassar, Senin (4/9). FOTO oleh Syarifah Fitriani/Rappler

Dalam diskusi Forum Masyarakat Peduli Rohingya, Wakil Ketua Komisi B DPRD Makassar, Iqbal Djalil, mengungkapkan forum tersebut dibentuk sebagai wadah komunikasi terhadap siapapun yang berkaitan langsung dengan nasib imigran Rohingya. Hal ini dilakukan karena Rohingya adalah bagian daripada manusia dan umat Islam.

“Mengapa harus tidak peduli? Istilahnya, marilah memanusiakan manusia. Jangan menutup mata menghadapi permasalahan para Imigran Rohingya,” tegasnya. 

Setelah melaksanakan diskusi, pihaknya berjanji akan melakukan komunikasi dengan para ulama, pemerintah dan pihak UNHCR untuk mengklarifikasi permasalahan yang dihadapi imigran Rohingya. 

Menurut calon Walikota Makassar ini, permasalahan yang dihadapi para imigran saat ini merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Itu dikarenakan selama tujuh tahun mereka tidak diberi kepastian. 

“Seharusnya kan batasnya hanya dua tahun di Negara ini, kemudian diberangkatkan ke Negara ketiga jadi tidak boleh lagi tinggal disini. Kita minta kepada UNHCR untuk melakukan itu, jangan mereka berada disini bertahun tahun bahkan ada yang sampai 7-10 tahun,” jelas Iqbal. 

“10 tahun bukan waktu yang sedikit untuk mengurus diri dengan aturan yang serba ketat dan tidak dapat berbuat apa apa.  Mau buka usaha tidak bisa, mau menikah sebagai ibadah juga tidak bisa jadi ini sama saja menghilangkan hak asasi manusia,” tambahnya. 

Untuk itu Iqbal berharap, baik UNHCR atau IOM yang bertanggungjawab tentang hal ini bisa mengklasifikasikan hal tersebut. Sebenarnya, lanjut dia, UNHCR tahu ada negara ketiga yang sudah bisa menerima para imigran, seperti amerika, Australia dan Turki.

“Mengapa rohingya tidak diberangkatkan ke sana. Yang anehnya, cuma Rohingya saja yang ditempatkan pada posisi ini, seperti dianaktirikan, yang imigran lain tidak. Kasihan Rohingya ini, di negara asal terzalimi, disini juga dizalimi. Kami harap ini bisa jadi perhatian semua orang,” tutupnya. 

—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!