Daftar para pemenang gugatan praperadilan terhadap KPK

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Daftar para pemenang gugatan praperadilan terhadap KPK
Usai dikalahkan, KPK kembali mengajukan keberatan ke pengadilan

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Kalahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan Setya Novanto dalam sidang gugatan praperadilan pada Jumat, 29 September seolah menjadi tamparan keras bagi lembaga anti rasuah itu. Hakim Pengadilan Jakarta Selatan Cepi Iskandar menilai prosedur yang digunakan KPK untuk menjerat Setya sebagai tersangka keliru. 

“Mengadili dalam eksepsi dan menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya dalam pokok perkara mengadili, mengabulkan permohonan praperadilan sebagian,” ujar Cepi membacakan putusannya.

Ia juga menyebut penetapan status tersangka Setya tidak sah dan memerintahkan kepada KPK untuk menyelidikan terhadap Ketua DPR sesuai surat penyelidik nomor 56. 

Kekalahan KPK ini oleh sebagian orang sudah diprediksi. Hal itu, lantaran kebijakan yang diambil hakim terkesan lebih berpihak kepada Setya.

Dalam persidangan yang digelar pada Jumat, 22 September, hakim tunggal Cepi Iskandar menolak keberatan lembaga anti rasuah itu dan memilih untuk tetap menyidangkan kasus Setya. Dengan kasus Setya ini, maka KPK tercatat sudah kalah sebanyak enam kali melawan tersangka koruptor.

Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III pada tahun 2016 mengatakan bahwa dari 57 perkara praperadilan sejak tahun 2004 lalu, KPK setidaknya pernah kalah dalam empat kasus. Sebelumnya, dalam catatan Rappler malah ada 5 kasus. 

Di hadapan anggota DPR, Agus mengakui kendati banyak kasus yang dimenangkan namun tetap harus ada evaluasi terhadap kasus yang kalah. 

“Tetapi kekalahan jadi evaluasi bagi kami agar penuntutan disertai dengan fakta akurat dan tidak terbantahkan agar kami tidak kalah lagi di peradilan,” kata Agus.

Siapa saja yang berhasil mengalahkan KPK dalam sidang gugatan praperadilan? Berikut nama-namanya: 

1. Hadi Purnomo (Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan)

HADI PURNOMO. Foto oleh ANTARA

Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo menang atas gugatan pra-peradilan kasus penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia (BCA) Tbk tahun 1999. Pada saat itu, Hadi masih menjabat sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan dan diduga merugikan negara sebesar Rp 375 miliar. 

Sidang pra-peradilan yang dipimpin oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Haswandi menyatakan bahwa penyidikan dan penyitaan barang oleh KPK terhadap Hadi tidak sah dan harus dihentikan. Keputusan tersebut juga berujung pada pengguguran status Hadi sebagai tersangka pada Selasa, 26 Mei 2015. 

Hakim Haswandi menyatakan bahwa penyidik KPK yang saat itu bertugas untuk mengusut kasus Hadi sudah berhenti total, baik dari kepolisian dan kejaksaan. Haswandi menilai, penyidik itu juga belum berstatus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), meski sudah diangkat secara resmi oleh KPK. 

Tidak terima dengan keputusan Hakim Haswandi, KPK meminta Mahkamah Agung (MA) untuk meninjau kembali putusan pra-peradilan. Peninjauan Kembali (PK) pada akhirnya ditolak oleh MA pada Kamis, 16 Juni 2016, dengan dua dasar hukum yang kuat. Pertama, jaksa tidak boleh mengajukan PK. Kedua, PK tidak dapat diajukan atas putusan pra-peradilan yang tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). 

Namun di sisi lain, MA juga menyampaikan bahwa keputusan yang diambil oleh Hakim Haswandi di PN Jakarta Selatan kelewatan. Tiga hakim agung, yaitu Salman Luthan, MS Lumme dan Sri Murwahyuni menilai PN Jakarta Selatan melampaui batas dalam wewenangnya, karena putusan pra-peradilan tersebut bisa dikategorikan sebagai usaha untuk menggagalkan atau menghalang-halangi pemeriksaan KPK. Selain itu, pra-peradilan seharusnya hanya menilai aspek formil dan tidak boleh memasuki materi perkara. 

2. Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk)

TAUFIQURRAHMAN. Foto oleh Pemkot Nganjuk

Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas keterlibatannya dalam korupsi lima proyek pembangunan di Nganjuk pada tahun 2016 lalu. Proyek pembangunan itu dikerjakan Taufiq pada tahun 2009. Ia diduga terlibat dalam pemborongan, pengadaan dan persewaan proyek terhadap lima proyek.

Kelima proyek tersebut adalah pembangunan jembatan Kedungingas, proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, proyek perbaikan Jalan Sukomoro sampai Kecubung, proyek rehabilitasi saluran Ganggang Malang dan proyek pemeliharaan berkala jalan Ngangkrek ke Mblora.  

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kemudian memecat Taufiq dengan statusnya sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Nganjuk pada Kamis, 26 Januari lalu. 

Penetapan Taufiq sebagai tersangka menuai kontra karena KPK dianggap menyembunyikan keputusan tersebut. Namun Ketua KPK Agus Rahardjo yang ditemui di Auditorium KPK tahun 2016 membantah tuduhan itu. Ia mengatakan hal ini mereka lakukan untuk mempermudah ruang gerak KPK dalam penyelidikan. Ia merasa pimpinan KPK sudah menjalankan prosedural yang benar dengan menandatangani surat perintah penyidikan (Sprindik). 

Pasca ditetapkan Taufiq sebagai tersangka, ruang kerja dan tempat yang terkait dengan kasus korupsi digeledah oleh KPK pada Senin, 5 Desember 2016. Hal ini dilakukan untuk mengamankan barang bukti. 

Tidak terima dengan penetapan statusnya sebagai tersangka, Taufiqurrahman dan kuasa hukumnya mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pengajuan pra-peradilan tersebut pada akhirnya dikabulkan oleh Hakim I Wayan Karya, dengan pertimbangan Surat Keputusan Bersama (SKB).

SKB tersebut menyatakan apabila terdapat dua instansi yang menangani perkara, maka harus dikembalikan ke penyelidikan awal. Kasus ini seharusnya ditangani oleh pihak pertama yang memulai penyelidikan, yaitu Kejaksaan, di mana hal ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk.

KPK dinilai mengambil alih sebagai penyidik kedua yang menangani kasus ini. Sehingga Hakim Wayan melimpahkan kasus ini kembali ke Kejari Nganjuk. 

Pengabulan praperadilan ini membuat KPK tidak puas. KPK kemudian mengajukan berkas perkara Taufiq dan putusan praperadilan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Warih Sadono menyatakan Kejagung masih mempertimbangkan keputusan selanjutnya. Kemungkinan-kemungkinan seperti penerbitan sprindik baru untuk memulai penyidikan masih akan dipertimbangkan Kejagung. Hingga saat ini, penyidikan kasus ini masih berlanjut. 

3. Budi Gunawan

BUDI GUNAWAN. Foto oleh ANTARA

Berawal dari aduan masyarakat, KPK memulai kajian terhadap Komjen Budi Gunawan pada kisaran bulan Juni-Agustus 2010. Pengkajian yang pada akhirnya berujung pada penyelidikan ini terkait dengan ditemukannya kejanggalan transaksi rekening Budi Gunawan pada tahun 2014.

Kejanggalan tersebut padahal sudah terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), namun surat laporan yang sudah PPATK kirim ke Kepolisian RI, tidak diteruskan ke KPK. 

“KPK tidak pernah mendapatkan surat dari PPATK karena surat PPATK analisis sistem transaksi mencurigakan itu, dikeluarkan 23 Maret 2010 dan hanya dikirimkan ke kepolisian RI,” kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto ketika memberikan keterangan pers pada Selasa, 13 Januari 2015.

Pada jumpa pers KPK hari itu, Budi Gunawan juga ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap dan pelanggaran UU korupsi. Di sisi lain, di tengah penyelidikan KPK terhadap Budi Gunawan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memilihnya sebagai kandidat tunggal Kapolri pada Sabtu, 10 Januari 2015.

Secara cepat, komisi III DPR langsung melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan. Keesokan harinya pada Kamis, 15 Januari 2015, Budi resmi ditetapkan sebagai kandidat tunggal Kapolri.

Penetapan Budi sebagai kandidat ini kemudian menuai polemik, karena berseberangan dengan keputusan KPK yang menyudutkannya sebagai tersangka. Tak lama kemudian, Budi dan kuasa hukumnya kemudian menggugat KPK di pra-peradilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Gugatan pra-peradilan tersebut dikabulkan oleh Ketua Majelis Hakim Sarpin Rizaldi pada Senin, 16 Februari 2017. Hakim Sarpin menilai bahwa penerimaan hadiah yang dilakukan oleh Budi tidak terkait dengan kerugian negara. Sehingga, penetapannya sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak mengikat hukum. 

Tak habis sampai kemenangannya di pra-peradilan, sebelumnya kuasa hukum Budi Gunawan juga telah melaporkan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto ke Bareskrim Polri. Bahkan, Bambang sempat ditangkap polisi pada 2015.

Ia ditangkap karena diduga adanya rekayasa keterangan palsu ketika menjadi pengacara saat Pilkada tahun 2010. Tetapi, penangkapan itu kemudian dinilai tidak layak oleh pengadilan pada 23 Januari lalu.

4. Ilham Arief Sirajuddin (Mantan Walikota Makassar)

MAKASSAR. Ilham Arief Sirajuddin mantan Walikota Makassar. Foto oleh ANTARA

Ilham Arief Sirajuddin terbukti bersalah atas korupsi Pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar tahun 2006 – 2012. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua alat bukti yang kuat untuk menjerat Ilham.

Ia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama yang merugikan negara. Ilham menyeret Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar, Hengky Widjaja yang juga jadi tersangka dalam kasus yang sama. 

Pada Selasa, 12 Mei 2015, Ilham dan kuasa hukumnya mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dipimpin oleh Hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati, Ilham memenangkan pra-peradilan terhadap KPK.

Putusan pra-peradilan Ilham menghasilkan tiga poin penting, yaitu penetapan Ilham sebagai tersangka yang dianggap tidak sah, kemudian penyitaan, penggeledahan dan pemblokiran rekening milik ilham yang tidak sah, serta instruksi hakim kepada KPK untuk memulihkan hak sipil dan politik Ilham. 

Tak berhenti di situ, KPK membalas kekalahannya dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru kepada Ilham. Lagi-lagi, Ilham ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. 

Pada Kamis, 9 Juli 2015, Ilham mengajukan pra-peradilan yang kedua kalinya di PN Jakarta Selatan. Namun keberuntungan tidak berpihak pada Ilham, permintaan pra-peradilannya ditolak oleh Hakim Amat Khusairi. Hakim Amat menilai bahwa dua alat bukti KPK, yang di antaranya adalah Laporan Hasil Penyelidikan dari BPK sudah kuat untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka. 

Kasus Ilham akhirnya terus bergulir di pengadilan hingga majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 5.505 miliar. 

5. Marthen Dira Tome (Mantan Bupati Sabu Raijua NTT)

TERSANGKA. Mantan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome yang akhirnya divonis tiga tahun penjara karena korupsi dana pendidikan. Foto oleh ANTARA

Marthen ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pendidikan luar sekolah (PLS) senilai Rp 77 miliar. Saat itu, Marthen masih menjabat sebagai Kabid PLS Dinas Dikbud NTT pada tahun 2007 lalu.

Namanya ditetapkan sebagai tersangka pada November 2014 oleh lembaga anti rasuah tersebut. Tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, Marthen kemudian mengajukan gugatan pra-peradilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Gugatan pra-peradilannya sempat dikabulkan pada 18 Mei 2016.

Namun, KPK kembali mencari strategi dan menetapkan Marthen sebagau tersangka.

“KPK beberapa hari yang lalu menetapkan kembali saudara MDT (Marthen Dira Tome) sebagai tersangka yang dulu pernah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian di-praperadilan-kan di PN Jaksel, yang bersangkutan dimenangkan,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK pada bulan November 2016.

Marathon kembali melawan KPK dengan mengajukan lagi gugatan pra-peradilan. Namun, belum juga rampung gugatan pra-peradilannya, petugas KPK menangkap Marthen di sebuah rumah makan di NTT.

Penangkapan itu sempat disesalkan oleh kuasa hukum Marthen Lexy Tungga. Lexy keberatan kliennya ditangkap karena putusan pra-peradilan yang memenangkan Marthen sebelumnya belum dieksekusi.

Namun, kasus Marthen terus bergulir dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya pada Juli 2017. Hasilnya, Majelis Hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta dengan subsider tiga bulan penjara. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!