3 Tahun Jokowi-JK: 5 kejutan di bidang Hukum dan HAM

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

3 Tahun Jokowi-JK: 5 kejutan di bidang Hukum dan HAM
Dari pembubaran Petra, hukuman mati, hingga penangkapan mafia daging sapi

 

JAKARTA, Indonesia – Tiga tahun masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla menjadi ajang bagi masyarakat untuk kembali mengevaluasi kinerja pemerintah. 

Dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla telah melakukan beberapa pencapaian yang sesuai dengan poin ke-4 Nawacita Jokowi-JK, yakni penegakan hukum. 

Berikut lima pencapaian Jokowi di bidang Hukum dan HAM:

Pembubaran Petral 

Pemerintahan Jokowi-JK berhasil membubarkan anak perusahaan PT. Pertamina (Persero), yakni PT Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral. Presiden Jokowi melalui Menteri ESDM yang juga mantan dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Sudirman Said, akhirnya melikuidasi perusahaan tersebut, akibat banyaknya praktik mafia migas di dalam tubuh perusahaan.

Banyak temuan yang terkait dengan penyalahgunaan, seperti pada 17 Desember 2014, Tim Reformasi Tata Kelola Migas menemukan fakta bahwa harga produksi minyak dari seluruh kilang dalam negeri, ternyata lebih mahal dari biaya impor minyak. 

Padahal, tujuan pendirian Petral sendiri sebenarnya untuk menjual minyak hasil produksi Indonesia yang dahulu melimpah. Namun karena ketersediaan minyak yang makin menurun, Petral berubah menjadi pembeli minyak dari luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.

Presiden Jokowi cukup menaruh perhatian pada konflik Petral, lantaran di dekade sebelumnya pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sarat akan transparansi. 

Usaha pembubaran selama satu dekade ini juga menjadi prestasi dari Presiden Jokowi, lantaran banyak pihak menilai bahwa Petral sulit untuk dibubarkan akibat “kekuatan” yang melindunginya. 

Ada indikasi-indikasi kepentingan yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum, membuat pembubaran Petral menjadi kabar yang baik bagi dunia tata kelola migas di Indonesia.

Penangkapan mafia daging sapi

Pada 10 Agustus 2015, Presiden Jokowi memberikan pernyataannya terkait mafia daging sapi. Ia mengatakan bahwa ada pihak yang sengaja memainkan harga daging sapi di Indonesia dan agar pemerintah bisa melakukan impor ke negara luar. 

Kenaikan harga tersebut lantaran sangat drastis, daging sapi di negara lain berpatok pada kisaran Rp 45 ribu hingga Rp 50 ribu per-kilogram.  Namun di Indonesia per Agustus 2015 mencapai Rp 140 ribu hingga Rp 150 ribu per-kilogram. 

Presiden Jokowi menyayangkan praktek mafia tersebut, karena tanpa harus mengimpor, sebenarnya Indonesia sudah memiliki stok daging yang cukup. “Kenapa kita sudah kita impor, harganya masih tinggi, apa jalan keluarnya?” ujarnya pada 10 Agustus 2015.

Pernyataan Presiden Jokowi kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang pada 23 April 2016 memvonis 23 feedloter atau perusahaan penggemukan sapi menjadi aktor dari praktik kartel daging sapi. Hal ini menyebabkan harga daging sapi di Jabodetabek terbilang mahal.

23 perusahaan tersebut melanggar pasal 11 dan 9 huruf C, UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perusahaan-perusahaan tersebut terpaksa dikenakan denda yang berkisar dari Rp 194 juta hingga Rp 21,39 miliar.

Pembentukan Tim Saber Pungli

Pada 11 Oktober 2016, Presiden Jokowi membentuk tim khusus untuk memberantas Pungutan Liar (Pungli) yang diberi nama Tim Sapu Bersih (Saber) Pungli. 

Tim ini bertugas mengawasi pungli-pungli yang terkait dengan birokrasi pelayanan di kantor pemerintah, yang berhubungan langsung dengan publik, dalam hal perizinan dan administrasi publik.  

Tim OPP ini diawasi langsung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto untuk mengevaluasi pelayanan publik terkait pelayanan SIM, STNK, BPKB hingg SKCK.

Komitmen Presiden Jokowi untuk memberantas praktik-praktik pungli juga tidak tebang pilih, ia menghimbau bahwa dengan nominal sekecil apapun akan diurus oleh tim ini. 

“Yang lebih kecil pun akan saya urus. Bukan hanya Rp 500 ribu atau Rp 1 juta, Ro 10 ribu-pun akan saya urus,” jelasnya. 

Beberapa lembaga seperti Kementerian Perhubungan, Lembaga Permasyarakatan (Lapas), Kantor Imigrasi, Pemerintah Daerah dan urusan tilang menjadi sarang pungli terbesar, yang paling banyak diadukan publik.

Pengabulan grasi Antasari Azhar

Setelah melakukan berbagai upaya hukum, mantan Ketua KPK Antasari Azhar akhirnya dibebaskan dari penjara, karena pertimbangan Mahkamah Agung (MA) yang dikabulkan oleh Presiden Jokowi. Ia dibebaskan pada 10 November 2016 melalui grasi. 

MA memberikan dua poin penting terhadap grasi untuk Antasari. Pertama, Antasati dianggap berjasa kepada negara, walaupun tersandung pidana pembunuhan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, terdapat surat pernyataan dari keluarga korban (Nasrudin Zulkarnaen) yang mendukung sikap pengajuan grasi Antasari.

Antasari sebelumnya dituduh sebagai dalang dari kasus pembunuhan atas Nasrudin, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran pada tahun 2009. Kasus ini menuai kontroversi lantaran banyak kejanggalan-kejanggalan dalam proses penyelidikan, terkait dengan barang bukti yang muncul yang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu.

Dengan bebasnya Antasari, ia kemudian membongkar kasus dan kebohongan-kebohongan publik, yang melibatkan sejumlah tokoh penting di Indonesia.  

Dengan pembebasan Antasari, banyak pihak menilai bahwa Jokowi tak hanya membebaskan lantaran pertimbangan MA saja, namun karena keyakinannya terhadap rekayasa kasus Antasari. 

Eksekusi Mati

Semenjak menjabat, Jokowi begitu tegas menerapkan hukuman mati bagi siapapun yang terlibat kasus Narkoba, terutama pengedar. Dengan penerapan eksekusi ini, Indonesia menjadi negara yang masih aktif melakukan hukuman mati, setelah Vietnam dan Singapura.

Eksekusi terpidana mati jilid I dilakukan pada 18 Januari 2015, dengan mengeksekusi 6 terpidana, yakni Rani Andriani (Indonesia), Ang Kim Soei (Belanda), Daniel Enemuo (Nigeria), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam) Namaona Denis (Malawi) dan Marcho Archer Cardoso Moreira (Brasil).

Kemudian, eksekusi jilid II dilakukan kepada 8 orang terpidana mati pada 29 April 2015. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam tahun 2015, Presiden Jokowi tak kenal ampun untuk sekaligus mengeksekusi dua gelombang terpidana mati.

Tak berhenti sampai disitu, Presiden Jokowi kembali menyetujui eksekusi mati jilid III kepada 10 terpidana warga negara asing dan 4 warga negara Indonesia pada 29 Juli 2016. 

Isu adanya eksekusi mati jilid IV telah disetujui oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini belum jelas apakah akan dilakukan eksekusi atau tidak.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!