Kisah Samhuri, pewaris terakhir pedang penjagal tentara Jepang

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah Samhuri, pewaris terakhir pedang penjagal tentara Jepang
Guratan-guratan perlawanan melawan tentara Jepang terlihat dari gagang dan mata pedang tersebut

SEMARANG, Indonesia — Rumah kuno bercat putih yang berdiri di Kampung Tegalsari Candi Semarang itu tampak lengang, pada Kamis 19 Oktober 2017. Seorang lelaki tua menyapa ramah saat Rappler masuk ke dalam ruang tamu rumahnya.

Samhuri Prasetyo, nama pria tua tersebut, menunjukan beberapa lembar arsipnya. Tepat pada hari Kamis ini merupakan puncak dari peringatan Pertempuran 5 Hari di Semarang.

Samhuri, sapaan akrabnya mengaku memorinya terseret pada masa lampau saat dirinya berbondong-bondong memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia pada 19 Oktober 1945 silam.

“Waktu pertempuran meletus, pasukan Jepang menyerbu masuk Semarang, mereka menembaki apa saja yang dilihatnya. Di pusat kota Semarang, dentuman tembakan terdengar berulang kali memekakan telinga,” kata Samhuri dengan logat Jawa kental.

Ketika meletus pertempuran 5 hari di Semarang, Samhuri kala itu masih berusia 19 tahun. Usia yang relatif muda tentunya bagi seorang pemuda untuk berjuang melawan bala tentara Nipon yang terkenal sadis.

Samhuri mengatakan ada tiga teman sebayanya yang ikut angkat senjata saat pertempuran berlangsung. Ia pun mengingat salah nama temannya yang begitu gigih dan berani bertempur di garda depan.

“Sayuto, seorang teman saya waktu itu sangat berani menyusup ke gudang-gudang senjata milik Jepang. Ada tiga pedang katana yang kami ambil saat melihat sisa-sisa senjata di gudang Jepang. Salah satu pedangnya, sampai sekarang masih saya simpan,” katanya sembari memperlihatkan sebilah pedang yang terbungkus dalam kardus.

Ia berkata selama lima hari pertempuran meletus, dirinya bersama tiga kawannya bergabung dengan rombongan tentara pelajar (TP). “Karena usia saya masih 19 tahun, maka saya dimasukan grup TP, bukan PETA,” katanya.

Pria yang kini berusia 91 tahun ini tak pernah ciut nyali setiap berhadapan dengan tentara Jepang. Saat pertempuran memasuki hari keempat, Samhuri bersama rekan-rekannya bahkan nekat menyusup ke pusat pertahanan musuh yang ada di Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda).

Ia masih mengingat jelas bagaimana rekannya bernama Sayuto menebas kaki seorang dokter perbantuan dari Jepang. “Di depan kawasan Bulu, seorang dokter Jepang kita tebas kakinya,”.

“Saat bergerak menuju Jalan Pemuda, kami menyerang musuh, Sayuto menyahut pedang yang saya bawa kemudian memenggal kaki beberapa tentara Jepang,” sambungnya.

Ia tak ingat lagi berapa banyak tentara Jepang yang kena tebas pedangnya. Karenanya ia pun bangga tatkala pedang itu masih terawat dengan baik di rumahnya. Guratan-guratan perlawanan dengan tentara Jepang terlihat dari gagang dan mata pedang tersebut.

“Ini masih tajam. Bentuknya masih asli seperti yang dulu karena masih saya simpan dengan baik,” katanya.

Butuh perhatian pemerintah

Ketika masa transisi selepas perang Kemerdekaan, pria asli Rembang tersebut kemudian dipercaya pemerintah mengelola sebuah pabrik percetakan. Namun, sesekali dirinya pulang kampung untuk menyambung hidup berjualan ketela rambat.

“Saat ini, rekan seperjuangan saya ada yang masih hidup, ada juga yang sudah meninggal. Saya berharap pemerintah memberi perhatian lebih kepada kita sebagai veteran pejuang kemerdekaan,” ujarnya.

Sepeninggal sang istri, Samhuri kini menghabiskan hidupnya bersama cucunya. Sembari menghela napas dalam-dalam, kakek 12 anak dan belasan cucu itu menganggap zaman yang cepat berubah telah melupakan jasa para pejuang zaman kemerdekaan.

Yongkie Tio, Sejarawan Semarang menilai sepak terjang pemuda lokal dalam merebut kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari peran aktif tentara pelajar pada masa lampau. Bahkan, dokter Kariadi menjadi tonggak perjuangan pemuda Semarang untuk melawan Jepang.

“Dokter Kariadilah yang mampu memicu pergolakan perjuangan warga lokal. Meski dia gugur saat mengecek Reservoir Siranda tetapi namanya tetap dikenang hingga kini,” katanya. —Rappler.com    

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!