Haruskah datang ke pernikahan mantan?

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Haruskah datang ke pernikahan mantan?
Pertanyaan sederhana yang penuh dilema

JAKARTA, Indonesia – Bagi sebagian orang, mungkin pertanyaan “Haruskah datang ke pernikahan mantan?” dinilai sepele.

Tapi bagi mereka yang pernah menjalani hubungan serius, tapi karena berbagai alasan, keduanya tidak bisa bersatu, dan kini dihadapkan pada kenyataan bahwa undangan pernikahan sang mantan baru saja tiba, ini akan jadi pertanyaan besar.

Dilema. Itu yang pertama saya rasakan ketika saya menerima kabar (baru kabar, lho, belum undangan fisiknya) bahwa mantan kekasih saya akan menikah. Saya ingat sekali, setelah kabar itu saya konfirmasi kebenarannya, ditambah telepon dan pesan singkat yang masuk ke telepon genggam saya dari teman-teman yang bersimpati (atau kasihan tepatnya), saya uring-uringan.

Susah tidur, enggak fokus kerja, tapi sayangnya, tidak susah makan.

Reaksi pertama saya bukan marah, apalagi cemburu. Karena saya sudah melupakannya, jauh sebelum kabar penikahannya sampai di telinga saya. Butuh waktu cukup lama untuk saya melupakannya. Untungnya, saya masih cukup “waras” dan tidak menyia-nyiakan waktu “recovery” dari patah hati yang cukup lama dan butuh perjuangan, untuk dibuyarkan oleh rasa marah atau cemburu.

Yang saya rasakan justru perasaan sial. Sial sekali rasanya, memupuk hubungan dengan segala dramanya tapi pada akhirnya, seorang perempuan lain yang bersanding dengannya di pelaminan.

Sial tapi bukan menyesal. Karena saya percaya, semua hal yang terjadi ada maksudnya dan akan selalu menjadi pelajaran.

Saya juga merasa sial karena dia menikah duluan. “Kenapa bukan gue duluan, sih?” Pertanyaan itu yang terus muncul di kepala. Karena itu, saya uring-uringan.

Momen closure

Tapi setelah berpikir panjang dan melewati masa uring-uringan, ditambah saya sadar, waktu pernikahannya semakin dekat, saya berusaha mencerna semuanya dan mulai mengambil keputusan. Saya harus mengambil keputusan.

Jawabannya, saya memutuskan untuk datang. Alasan utama saya, karena saya butuh closure. A proper closure. Saya tidak pernah mendapatkan itu dari dia, mantan kekasih saya, ketika kami memutuskan untuk berpisah. Mungkin karena itu pula,kami tidak pernah berkomunikasi setelah bubar.

Jadi, saya merasa pernikahan ini adalah momen yang tepat untuk saya mengakhiri (benar-benar mengakhiri) kisah saya dengan dia. Karena itu, saya memutuskan untuk menghadiri pernikahan itu.

Terlepas dari segala resikonya, bagaimana dia melihat saya, bagaimana keluarganya (yang tadinya sangat dekat dengan saya) menghadapi saya, dan sebaliknya, saya memutuskan untuk datang.

Setelah itu, bagaimana?

Ternyata, dilema itu tidak berhenti pada saat saya memutuskan untuk datang ke pernikahan mantan. Setelah itu, bagaimana?

Nah, ini yang penting. Soal persiapan.

Sekadar berbagi pengalaman, mungkin persiapan saya saat itu bisa dibandingkan dengan persiapan Raisa sebelum naik panggung. Tidak cuma mental tapi juga fisik. Bisa jadi, persiapan saya hampir sama dengan persiapan calon pengantin sesungguhnya. Ribet!

Tapi saya sudah bertekad untuk datang dengan kepala tegak dan dengan penampilan terbaik saya. This is my last moment to shine dan menunjukkan pada semua orang yang tahu kalau saya pernah berpacaran dengan dia, bahwa saya baik-baik saja.

Pacar “gadungan”

Oh iya, FYI, saat saya melalui semua kerempongan ini, saya masih sendiri. Jomblo. Single. Tanpa pasangan. 

Karena itu, hal pertama yang saya lakukan adalah menghubungi seorang teman pria yang cukup dekat dengan saya. Dengan iming-iming saya akan mentraktir dia makan siang dan makan malam, saya berusaha membujuk dan “membajak” dia untuk jadi pacar “gadungan” saya di pernikahan itu.

Saran pertama saya, jika kamu memutuskan untuk datang ke kawinan mantan, jangan datang sendirian! Itu ibarat menyerahkan diri ke tangan lawan di medan pertempuran. Usahakan segala cara, yang penting jangan pergi sendiri. Lebih baik cari teman, sodara, kenalan (asal bukan hasil nyegat di pinggir jalan, ya) untuk dijadikan pacar “gadungan”.

Syukur-syukur kalau kamu sudah memiliki pasangan beneran. Semua akan lebih mudah. Yang harus kamu lakukan cuma meyakinkan pasangan bahwa keputusanmu untuk hadir di pernikahan mantan tidak berarti apapun dan tidak akan berpengaruh pada hubungan kalian saat ini.

Dari ujung kaki ke ujung rambut

Urusan pacar “gadungan” sudah selesai, kini saatnya fokus ke bagian yang paling repot, persiapan fisik dan penampilan. 

Ini juga penting mengingat penampilan akan jadi penentu utama kesuksesan kamu menaklukkan hari keramat tersebut.

Saya ingat sekali, sekitar dua minggu sebelum hari-H, saya mulai hunting pakaian. Tentu saja tidak mungkin saya mengenakan baju lama. Setelah mencari berhari-hari, saya menemukan dress yang sempurna.

Saya bahkan tidak peduli saat menyadari bahwa dress itu adalah salah satu dress paling mahal yang pernah saya beli. Bahkan saya cuma memakai dress itu satu kali, ya saat menghadiri pernikahan itu! Tapi saya tidak menyesal. Yang penting saya terlihat stunning.

Jadi, sangat penting untuk memerhatikan penampilan dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan baik dan detail untuk meninggalkan kesan mendalam untuk semua yang melihatmu di hari itu.

Harinya pun tiba!

Saatnya menarik napas dan melangkah masuk ke venue pernikahan. Jangan pernah sekali pun menundukkan kepala atau bersikap tidak percaya diri. Nikmati saja semuanya. Jika rasa kikuk atau canggung muncul, terutama saat berhadapan dengan keluarganya atau rekan yang mengetahui sejarah kisah kalian, cobalah bersikap biasa dan santai.

Saya tahu, tidak semudah yang dipikirkan. Tapi saya sudah melewatinya. Kamu harus berpikir bahwa ini adalah cara yang tepat untuk mengakhiri semua. Tanamkan saja itu di pikiran selama acara. Itu yang membuat saya bisa bertahan melewati hari itu.

Bagian yang tersulit adalah ketika harus menghampiri mantan dan mengucapkan selamat. Saya pun mengakui, itu bagian yang terberat. Apalagi disaksikan banyak orang. Pasti tak sedikit orang yang menantikan momen di mana sang pengantin bersalaman dengan mantan kekasihnya. Sinetron banget lah pokoknya!

Tapi yakinkan diri bahwa ini adalah jalan terbaik. Untukmu dan untuk dia. Yang saya lakukan adalah menebar senyum. Meski tak mudah.

Untungnya, saya sudah move on. Saya hanya menjabat erat tangannya dan mengucap, “Selamat, ya” dan lantas berlalu. Di titik itu saya bahkan tidak peduli apakah istrinya mengenal saya. Kalimat yang sama juga saya ucapkan untuk kedua orang tuanya yang mendampingi (yang jelas-jelas juga mengenal saya). “Selamat ya Om, Tante,” ujar saya.

Saya tidak perlu menganalisa wajah mantan saya saat itu (walaupun menurut pacar “gadungan” yang berdiri di samping saya, dia, mantan saya itu, tidak bisa melepaskan matanya dari saya sampai saya benar-benar berlalu!) begitu pula dengan keluarganya. Saya merasa tidak perlu merumitkan semuanya yang terjadi hari itu. Yang jelas, saya sudah mendapatkan momen itu. Momen closure dan penutupan untuk saya. Sejak saat itu, tidak sedetik pun saya berpikir soal dia (sampai saat saya menulis artikel ini tentunya).

Tak ada yang salah dengan hadir di pernikahan mantan kekasih. Selama kamu bisa mengendalikan diri dan menunjukkan pada semua orang (termasuk sang mantan) bahwa kamu baik-baik saja. Bahwa waktu berputar dan hidupmu terus berjalan.

Saran saya, setelah semuanya usai, yakinkan dirimu bahwa ada alasan di balik semua peristiwa. Kenapa akhirnya dia, bukan kamu, yang berdampingan di pelaminan bersama mantan kekasihmu, tak perlu lagi dipertanyakan. Yang harus dilakukan adalah membuka hati untuk kesempatan baru dan cinta baru.

Karena yang terbaik ada di depan, bukan di belakang.

Semangat! -Rappler.com

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!