climate change

Wisata ziarah ke Makam Proklamator RI Bung Karno

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wisata ziarah ke Makam Proklamator RI Bung Karno
47 tahun setelah kepergiannya, kharisma Putra Sang Fajar tidak pudar

 

BLITAR, Jawa Timur – Pukul 07:30 WIB, beberapa petugas berseragam batik, mulai bersiap di depan gerbang berbentuk gapura ala Bali, yang menjadi pintu masuk ke makam Presiden ke-1 Republik Indonesia, Soekarno. 

Komplek makam seluas 4.000 meter persegi itu terletak di Desa Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. “Para pengunjung diharap mengisi buku tamu dan masuk dengan tertib,” kata petugas melalui pengeras suara. Masuk ke makam ini gratis.

Satu jam sebelum waktu buka, puluhan peziarah dari Jakarta Utara sudah menunggu di depan gerbang. Ketika akhirnya diperbolehkan masuk, mereka bersimpuh di samping kiri makam Bung Karno.  “Ibu dengan rombongan ini atau sendirian?” tanya Juni, salah satu petugas. Saya jawab sendirian. Dia mempersilakan saya mengambil posisi di sisi kanan. Para peziarah mulai berdoa dipimpin seorang yang menjadi pimpinan rombongan.  

Ada tiga makam di bangunan berbentuk joglo khas Jawa dengan ukiran kayu cantik di pilar dan plafonnya. Makam Bung Karno yang nama aslinya Koesno Sosrohardjo diapit makam ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai dan ayahanda, Raden Soekemi Sastrohardjo. 

Tak lama kemudian, datang rombongan peziarah lainnya. Jadi, di pagi hari, Kamis, 10 Agustus 2017 itu, ada 50-an peziarah. Usai berdoa, mereka menaburkan bunga.

“Ini musim haji dan libur sudah lewat. Jadi sepi. Kalau sedang akhir pekan, akhir tahun dan liburan panjang, ribuan yang datang setiap hari,” kata Juni. Nuansa peringatan kemerdekaan RI ditandai dengan balutan poster bernuansa merah putih yang membalut pilar-pilar yang memasang kalimat bersejarah dari Bung Karno.

Meski jauh dari ibukota Jakarta yang menjadi episentrum politik dan kekuasaan, ternyata sampai kini, 47 tahun setelah kepergiannya, makam Bung Karno tetap memiliki magnet, daya tarik bagi pengunjung. Mereka datang dari seantero negeri.  

“Di sini  dimakamkan BUNG KARNO,  PROKLAMATOR KEMERDEKAAN DAN PRESIDEN PERTAMA REPUBLIK INDONESIA. Lahir 6 Juni 1901, Wafat 21 Juni 1970.  PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT”.  

Kalimat itu ditorehkan di batu marmer berwarna gelap yang ada di bagian ujung kepala nisan marmer berwarna putih. Bung Karno yang menginginkan kalimat itu dituliskan di makamnya.  Sebenarnya Bung Karno ingin dimakamkan secara sederhana.  Makamnya tidak perlu dipasangi nisan, atau kijing. Cukup tulisan di atas. Tapi bukan cuma itu wasiat Bung Karno terkait pemakamannya yang tak kesampaian.

“Saya ingin sekali beristirahat di bawah pohon yang rindang, dikelilingi pemandangan yang indah, di sebelah sungai dengan air yang bening. Saya ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan. Hanya keindahan dari negara yang saya cintai dan kesederhanaan sebagaimana saya hadir. Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pegunungan, daerah Priangan yang subur di mana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen,” kata Bung Karno, dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, yang ditulis Cindy Adams tahun 1965.

Belakangan, Bung Karno ingin dimakamkan di dekat Istana Batutulis di Bogor, yang dibangun di tahun-tahun akhir kekuasaannya. Bung Karno meninggal di Jakarta dalam status sebagai tahanan politik. Presiden ke-2, Soeharto memutuskan Bung Karno dimakamkan di Blitar.  

Dalam buku biografi berjudul, ‘Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’, yang ditulis G. Dwipayana, Soeharto  membeberkan alasan Sukarno dimakamkan di Blitar.   Menurutnya, selama hidup Bung Karno sangat mencintai dan menghormati ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai.

“Beliau sangat menghormatinya. Kalau beliau akan bepergian ke tempat jauh, ke mana pun, beliau sungkem dulu, meminta doa restu kepada ibunya. Setelah itu, barulah beliau berangkat. Sekalipun beliau adalah seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi, terpelajar, beliau toh tetap hormat kepada ibunya,” demikian pengakuan Soeharto dalam buku itu.

“Melihat kebiasaan Bung Karno begitu, maka saya tetapkan bahwa alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar. Inilah alasan saya dan keputusan saya berkenaan dengan pemakaman proklamator kita itu,” kata Soeharto, lagi.


Menurut Soeharto, saat itu ada protes dari isteri-isteri dan putera-puteri Bung Karno atas keputusan tersebut. Namun protes itu tak dia tanggapi. “Kalau saya turuti keinginan mereka, saya pikir, takkan ada penyelesaian,” kata dia.

Para analis sejarah menduga, alasan sebenarnya adalah Soeharto khawatir, jika dimakamkan di Jakarta atau dekat dengan Jakarta, kharisma Soekarno yang membetot pengikutnya yang fanatik akan mengganggu stabilitas kekuasaan Soeharto. Hampir setengah abad sejak Bung Karno pergi, kecintaan masyarakat terhadap sosoknya tak pernah pudar.

Makam itu memang dipercantik dan ditambahi berbagai fasilitas termasuk ruang pamer lukisan dan benda peninggalan Bung Karno.  Ada juga perpustakaan yang berisi buku-buku koleksi Putra Sang Fajar. Putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri meresmikan renovasi komplek makam pada tahun 2004.

Di belakang area makam, ada ratusan kios pedagang kecil menjajakan cenderamata bernuansa Bung Karno. Mendatangkan rezeki bagi penduduk sekitar makam. –Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!