Melestarikan ludruk lewat festival

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Melestarikan ludruk lewat festival
Agar tetap eksis, ludruk harus mengikuti perkembangan zaman. Sayangnya, banyak pelaku ludruk masih terjebak pola pikir lama

SURABAYA, Indonesia – Para pengunjung terus berdatangan di tempat festival seni ludruk di Surabaya, Jawa Timur baru-baru ini. Ada yang datang  dalam kelompok, berduaan dengan pasangan, dan ada pula yang datang bersama teman-teman mereka.  Dan agak mencengangkan  karena jumlah anak-anak muda jauh lebih banyak dari orang tua. 

Malam itu, Rabu, 27 September 2017, memang hari terakhir Festival Ludruk yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur bekerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Festival ini diselenggarakan selama tiga hari dengan jumlah peserta 15 kelompok Ludruk. Mereka berasal dari Surabaya, Sidoarjo, Tuban, Kediri, Malang, Mojokerto Jombang dan Lumajang. Selama tiga hari festival, penonton disuguhi lima pementasan grup ludruk setiap harinya, mulai dari jam 15.00 sampai sekitar jam 23.00

Langkah antusias penonton untuk menyaksikan ludruk terhenti di depan pintu gedung teater Cak Durasim. Penonton tak diperbolehkan masuk. Alasannya, dalam gedung teater sudah penuh dan pertunjukkan ludruk masih berlangsung. Padahal jam baru menunjukkan pukul 19.00. Memang sih, festival sudah dimulai sejak pukul 15.00 sore. Namun dua hari sebelumnya, meski terlambat penonton tetap diperbolehkan masuk untuk menyaksikan.

Raut sedikit kecewa tampak di wajah Misdi. Pria berusia 65 tahun ini datang dari Tulangan Sidoarjo. Jaraknya sekitar 36 km dari Gedung Budaya Cak Durasim di Jalan Gentengkali, Surabaya. Datang dengan menggunakan sepeda motor, Misdi harus menempuh sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.

“Ini bagaimana sih? Kok tidak boleh masuk? Padahal kemarin-kemarin, meski terlambat tetap boleh masuk,” kata Misdi dengan raut wajah kecewa.

Namun meski sedikit kecewa, Misdi tak langsung pulang. Dia rela menunggu dengan duduk-duduk di selasar teater bersama dengan ratusan penonton lainnya yang mengalami nasib sama. Misdi lalu bercerita bahwa sejatinya dia termasuk orang haus pertunjukkan seni. Apa pun itu, mulai ludruk, wayang kulit, ketoprak hingga dangdutan.

“Namun kalau dangdutan saya kurang senang karena penontonnya sering bikin onar. Saya tak suka itu,” kata Misdi.

Khusus untuk ludruk, kata Misdi dia pernah menyaksikan beberapa kali Ludruk Irama Budaya saat masih di pentas di Jalan Pulo Wonokromo, sebelum pindah ke Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya di Jalan Kusuma Bangsa. Itu berarti sebelum tahun 2010, karena Ludruk Irama Budaya pindah ke THR sekitar tahun 2010.

Ludruk Irama Budaya adalah satu-satunya grup ludruk di Surabaya yang masih tetap eksis. Mereka pentas seminggu sekali. Ludruk Irama Budaya tak hanya mengandalkan tanggapan hajatan, tapi juga dari penjualan tiket. Meski hasilnya tak seberapa. Nasibnya tetap kembang kempis.

“Dulu saja sudah sepi penonton. Kalau lihat ludruk sepi penonton itu, rasanya bagaimana begitu. Tidak enak. Makanya, setelah pindah ke THR, saya tak pernah menonton lagi,” ujar Misdi.

Sebagai gantinya, dia biasanya menyaksikan wayang kulit atau ludruk yang ditanggap orang yang sedang punya hajatan. Tapi itu pun sekarang, mulai jarang orang nanggap ketoprak atau wayang kulit saat punya hajat.

“Sebenarnya, di desa-desa masih banyak yang ingin nanggap wayang kulit atau ludruk. Tapi mereka terbentur pada lahan rumah yang tak lagi luas seperti dulu, meski di rumahnya ada di desa,” ujar Misdi.

Berbeda dengan Misdi, Damayanti datang menyaksikan ludruk karena terkesan dengan banyolan dari grup Irama Budaya yang pentas hari pertama. “Ludruk ternyata cerdas. Mereka punya banyolan-banyolan yang segar,” kata Damayanti.

Berharap mendapatkan hiburan dari grup ludruk lain, selama tiga hari festival Damayanti tak pernah absen saksikan festival. Selain itu, kedatangan di hari ketiga festival, mahasiswi Ilmu Keguruan Bahasa Daerah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini juga ingin memberikan dukungan kepada teman-teman kuliahnya yang ikut pentas. Mereka tergabung dalam Ludruk Sanggar Bharada Unesa. Ludruk Sanggar Bharada Unesa kebagian pentas di hari ketiga.

“Ludruk di Unesa bukan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), tapi sebatas komunitas saja dari mahasiswa yang gemar ludruk. Itu harus didukung,” kata dia.

Jam menunjukkan pukul 20.30. Pintu gedung teater pun akhirnya dibuka. Tapi sayang, harapan Damayanti untuk memberikan dukungan kepada temannya yang pentas gagal. Karena saat itu, pementasan Ludruk Kendo Kenceng dari Malang. Pementasan Ludruk Kendho Kenceng adalah pementasan terakhir malam itu.

Dalam gedung teater, penonton yang sudah masuk sejak sore hari tak mau beranjak dari tempat duduknya. Terpaksa, ratusan penonton yang baru masuk harus rela duduk di anak tangga hingga meluber ke bagian paling depan panggung. Dengan duduk bersila, mereka rela menunggu pementasan terakhir ludruk.

“Saya sempat khawatir. Gedung teater ini kapasitas 412 kursi. Namun yang datang menyaksikan saya perkirakan mencapai 650 orang. Saya takut lantai teater ini jebol karena bukan dari beton, tapi hanya lembaran besi dan kayu,” kata Sukatno Kepala UPT Gedung Budaya Cak Durasim Surabaya usai pertunjukkan.

Kata Sukatno, dirinya tak mengira jika Festival Ludruk yang ia selenggarakan mendapatkan antusiasme yang luar biasa dari warga Surabaya. Apalagi menurut pengamatannya, selama tiga hari pelaksanaan festival, jumlah anak muda yang menyaksikan lebih dominan dibanding yang tua.

RAMAI. Ribuan pengunjung menonton pertunjukan Ludruk dalam sebuah festival di Surabaya, Jawa Timur. Foto oleh Amir Tejo/Rappler

Festival Ludruk ini memang bagian dari upaya melestarikan kesenian ludruk yang nasibnya kembang kempis di Jawa Timur. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dari Pariwisata Jawa Timur, kelompok ludruk yang terdata jumlahnya bisa puluhan. “Namun kenyataan di lapangan, yang benar-benar eksis, bisa dihitung dengan jari. Termasuk yang 15 peserta festival ini,” kata dia.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kata dia sebenarnya tak tinggal diam atas nasib kesenian ludruk yang mulai ditinggalkan warga. Sebagai bukti, Pemprov melakukan pendampingan kepada ludruk-ludruk yang masih eksis di Jawa Timur. Bentuk pendampingan itu antara lain, menyediakan kurator untuk melakukan evaluasi atas pertunjukkan ludruk. Evaluasi dari para kurator itu bisa meliputi penyutradaraan, alur cerita, akting, properti dan sebagainya.

“Tapi memang tak mudah para kurator itu melakukan evaluasi. Karena mindset pelaku ludruk masih sulit berubah. Ludruk dulu begini, sekarang kami juga harus tetap begini,” kata Sukatno menirukan ucapan pelaku ludruk.

Padahal, menurutnya, agar tetap bisa eksis, pelaku ludruk bisa bersaing dengan jenis hiburan lainnya. Dia membandingkan ludruk jaman dulu dengan jaman sekarang. Dulu orang rela membeli tiket untuk menonton ludruk. Padahal saat itu zaman masih susah. Bandingkan dengan sekarang, dimana tingkat kesejahteraan warga sudah lebih baik dibanding zaman dulu. Orang malah enggan membeli tiket ludruk meski harganya lebih murah dibanding nonton bioskop.

“Itu artinya ludruk zaman dulu memang benar-benar kesenian bisa mengikuti zamannya. Sehingga digemari warga,” kata dia.

Memberikan tempat yang bagus untuk pentas, juga bukan jaminan ludruk bakal digemari kembali. Karena meski tempatnya sudah bagus, tapi jika kualitas materi ludrukannya tak bisa mengikuti perkembangan zaman, kata Sukatno tetap saja takkan mampu menyedot penonton. Kata dia, kuncinya adalah mengupdate dan mengupgrade kemampuan pelaku ludruk agar bisa mengikuti perkembangan zaman.

“Seperti pementasan terakhir dari Kendho Kenceng, itu sebenarnya menggabungkan dengan teater. Karena yang main anak-anak muda pelaku teater. Dan itu sah-sah saja dalam ludruk, untuk mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!