Bincang Mantan: Ada yang harus kamu perhatikan sebelum menasihati orang lain!

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Ada yang harus kamu perhatikan sebelum menasihati orang lain!
Apakah kamu betul pengin berniat baik atau mau kelihatan “hebat” aja?

JAKARTA, Indonesia —Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma : Nasihat bukan sedekah, kasih kalau diminta aja

Pernah enggak sih kamu lihat teman kamu punya masalah, yang sepertinya berat, kemudian hasrat hati begitu kuatnya untuk kasih saran dan wejangan ke dia, padahal dia enggak minta?

Atau mungkin dulu memang dia pernah minta saran kamu, terus pas ketemu lagi kamu lihat masalahnya belum beres dan lagi-lagi rasa itu kembali ada. Padahal ya itu, dia enggak minta nasihat kamu.

Pertanyaannya, apakah kita berhak untuk menyalurkan keinginan kita untuk menasihati itu?

Saya tidak mau langsung gamblang menjawab, tapi kita semua perlu ingat ini. Sama dengan fakta di mana semua manusia pasti punya masalah, semua manusia juga punya yang namanya privacy. Mereka punya hidup sendiri yang tidak perlu dicampuri oleh siapapun orang luar.

Oke lah di era zaman now ini semua sangat lumrah untuk di-share, tapi keputusan untuk share atau tidaknya fragmen kehidupan setiap orang baik ke orang lain atau ke media sosial kembali lagi ke masing-masing orang, bukan?

Yang di-share ya sudah itu sudah direlakan untuk jadi konsumsi publik, silahkan kalau kamu mau ngapain aja sama info itu. Tapi yang tidak di share ya biarlah itu tetap disimpan dan tidak usah ada yang korek-korek atau campuri. Sederhana kan?

Alhamdulillah saya termasuk orang yang punya teman di mana-mana. Bukan cuma sekedar “teman” aja, I really do care about them a lot dan alhamdulillah, sepertinya mereka pun sama care-nya ke saya.

Kalau saya lihat ada teman saya, bahkan yang bisa di bilang bukan di ring 1 punya masalah, saya pasti tawarin, “Kalau mau curhat, saya bisa jadi pendengar ya”. Kalau mereka curhat ya saya bantu sebisanya, tapi kalau mereka menutup diri ya saya cuma akan doakan aja biar masalahnya cepat selesai.

Poinnya adalah saya tidak mau biarin teman saya merasa dia tidak punya siapapun untuk cerita, tapi jika mereka tidak nyaman untuk cerita ya saya sangat hormati privacy mereka. Yang penting mereka tau bahwa saya ada.

Menurut saya, ini poin terpenting dari seorang teman.

Tapi ternyata pemahaman di luar sana kayaknya agak beda ya. Entah kenapa semua orang sekarang merasa berhak untuk mengintervensi, mencampuri, dan menggali urusan orang lain. Sesimpel nasihat “Kamu kalo udah ada calonnya, nikah jangan di tunda lagi” tuh menurut saya sudah sangat mencampuri privacy lho. Apalagi kalau yang ngomong orang random.

Contoh lain, kalau ada orang putus cinta, kayaknya semua orang seakan harus tahu alasannya. Di gali sampai sedalam-dalamnya, dengan dalih “Mau bantu kasih nasihat dan pandangan lain ke si putus”. Susah-susah dapat info, masa iya enggak diomongin? Jadi deh aib orang disebar luas ke mana-mana padahal yang jalaninnya udah enggak mau bahas lagi.

Mungkin niatnya baik, tapi coba deh kalian di luar sana yang suka sotoy berusaha nasihatin orang, pikir lagi. Apa betul apa yang kamu mau lakuin itu ada manfaatnya untuk teman kamu yang kamu pikir susah itu? Atau jangan-jangan malah bikin makin susah?

Apakah kamu betul pengin baik? Atau mau kelihatan “hebat” aja?

Percaya lah kalo kamu memang sehebat yang kamu pikir, orang akan datang kok ke kamu untuk curhat dan minta nasihat. Kalau teman kamu enggak datang ke kamu, ya mungkin memang teman kamu itu antara enggak mau cerita, enggak merasa dekat, atau kalaupun dekat kamu enggak dianggap cukup hebat untuk dimintai pendapat.

Saya pribadi termasuk orang yang sangat susah dibuat marah dan cenderung menghindari konflik, tapi kalau privacy yang termasuk hak asasi saya sebagai manusia ada yang langgar, demi menghindari konflik saya akan ngalah dan pergi.

Nah, kita semua kan tau di luar sana gak semua orang kayak saya. Banyak manusia sumbu pendek yang suka sama konflik, bayangin kalo kamu salah orang sok nasihatin dia dan dia anggap kamu ngelanggar privacy dia.

Bisa-bisa kamu dicekik sambil di angkat, terus ditanya “Tell me do you bleed”.

Udahlah, daripada ngurusin hidup orang lain, urusin aja hidup sendiri dulu. Kamu sok nasihatin orang, emang yakin hidup kamu udah sesempurna itu dan kamu udah sebijak itu?

Kalau kamu memang sebijak yang kamu pikir, harusnya kamu tau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Iya kan?

Adelia: Niat baik pun harus ada etikanya

Teman saya baru saja curhat kalau lembaga beasiswa (yang itu tuh) orang-orangnya hobi sekali menasihati untuk buru-buru menikah — seperti tidak ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan. Saya sampai harus terus-terusan mengingatkan teman saya tersebut untuk menahan emosi, paling tidak sampai urusan beasiswanya selesai.

Saya paham betul frustasi yang ia alami: terus-terusan dibombardir dengan kata mutiara tentang suatu hal yang tidak mudah diubah dan mungkin belum diinginkan saat ini.

Bingung deh, siapa (atau apa) sih yang harus disalahkan atas hobi masyarakat kita untuk memberikan nasihat seenaknya tanpa diminta dan tanpa melihat konteks? Apakah ini “budaya timur” atau memang bagian dari budaya kita yang katanya “high context”?

Banyak sekali oknum yang hobi memberikan unsolicited advice, seakan-akan dia tahu segalanya, dia yang paling benar, dan seakan-akan semua orang butuh bantuan darinya.

(Iya, saya tahu ironi dari penulis kolom seperti ini yang ngomel-ngomel tentang unsolicited advice. Tapi, hei, tapi paling tidak saya tidak pernah memaksakan pendapat saya pada kalian, kan?)

Seakan-akan semua alasan logis untuk tutup mulut kalah dengan “niat baik” dan “perhatian”.

Belum lagi kalau yang dinasihati itu figur publik. Duh, masyarakat kita memang luar biasa.

Belum lama ini saya lihat sebuah merk baju muslim dengan baik hatinya menasihati presenter Rina Nose untuk kembali berhijab…. plus menawarkan jilbab gratis kalau Rina ke toko mereka. Ini tim marketingnya luar biasa sekali, ya? Jualan sampai segitunya.

Dan tentu saja, dalih yang digunakan merek tersebut (dan ratusan netizen!) adalah “Sesama muslim harus saling mengingatkan”, sehingga apapun caranya diperbolehkan, termasuk menghina fisik orang lain (iya, ini buat ustaz yang itu tuh yang bilang si Mbak pesek). Dalih ini digunakan seenaknya sampai-sampai mereka lupa kalau menasihatipun ada etikanya jangan di depan publik, jangan menghakimi, dan tentu saja, jangan sok tahu. Ada batasan tipis antara menasihati dan mempermalukan.

Mau ngomel tentang sesama Muslim harus saling mengingatkan? Bukankah agama juga mengutamakan kesantunan dan kesejukan? Bukankah Nabi Muhammad sendiri tidak pernah memaksa pamannya untuk pindah keyakinan – apalagi dengan cara memarahinya di depan publik.

Tapi ya, empati kita memang patut dipertanyakan.

Percaya atau tidak, kebanyakan orang yang punya masalah hanya ingin didengarkan. Makanya, terapis biasanya tidak serta-merta mengoceh untuk membetulkan haluan hidup pasiennya tapi malah menghabiskan waktu yang lama hanya untuk mendengar.

And most of the time, your unsolicited advice does more harm than good. Enggak percaya? Coba, betapa seringnya percakapan ini muncul:

“Oh, keguguran ya? Kecapean mungkin. Makanya jangan kerja terlalu keras.”

“Umur sudah mau kepala tiga kok masih lajang? Sekolah enggak usah tinggi-tinggi makanya, nanti laki-laki jadi takut.”

Urgh. Kalau kalian tidak merasa ada yang salah dengan dua kalimat di atas, I don’t think you’re a decent human being.

Yuk, biasakan berpikir lebih panjang sebelum memberikan nasihat pada orang lain.

Apakah orang itu butuh pendapatmu atau hanya butuh didengarkan? Apakah nasihatmu sudah mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis orang itu? Kamu memberi nasihat betul-betu untuk kebaikannya ataukah hanya untuk memuaskan ego-mu sebagai “problem-solver”? Apakah kamu sedang berada di konteks dan situasi yang tepat untuk memberikan nasihat? Apakah caramu sudah etis? Apakah kata-katamu menghakimi? Apakah kamu orang yang tepat untuk memberikan nasihat tersebut?

Kalau semua pertanyaan tersebut sudah kamu jawab dengan sadar dan tidak egois, tanyakan lagi untuk kedua kalinya, sampai kamu betul-betul yakin nasihatmu diperlukan. Pokoknya, jangan sampai “niat baik”mu itu malah menyakiti orang lain.

Dan buat siapapun marketing merek yang tadi saya sebut, sini ketemu yuk, saya bisa ajarin dasar-dasar melakukan bisnis yang beretika. Malu tahu sama branding sendiri kalau masih mencari keuntungan dari masalah orang lain. —Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!