Zinedine Zidane: Karisma yang mendahului kata-kata

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Zinedine Zidane: Karisma yang mendahului kata-kata
Kini, tak ada pemain yang merasa superior dari pelatih.

JAKARTA, Indonesia – Dalam sebuah latihan, entrenador Real Madrid Rafael Benitez memanggil Cristiano Ronaldo. Dia memberi sesi khusus untuk pemain Portugal tersebut tentang cara mengambil tendangan bebas, posisi kaki, dan target gawang.

Seorang pelatih yang karir sepak bolanya lebih banyak dihabiskan di tim kedua berusaha memberi tahu cara melakukan tendangan bebas? Bahkan jumlah gol yang dicetak Benitez dari set-piece barangkali tak pernah ada. Atau kalaupun ada, tak ada yang peduli.

Ronaldo melihat Benitez dengan dingin. Tatapannya penuh kebingungan. Dahinya berkernyit. Seorang pemain terbaik di zamannya, dengan beberapa gelar sebagai peraih Ballon d’Or, harus menuruti pelatih yang bahkan tak pernah mencatatkan satu gelar besar pun dalam karirnya sebagai pesepak bola.

Bisa ditebak akhir dari satu kejadian di Valdebebas tersebut. Ronaldo tetap dengan caranya menendang bola dan Benitez merasa dia sudah melakukan pekerjaannya.

Melatih tim penuh bintang seperti Real Madrid memang jauh berbeda dengan mengelola tim-tim lain. Para pemain Real adalah mereka yang sudah selesai dengan teknik. Jika mengajak berdebat tentang teknik, mereka justru lebih ahli.

Tak perlu memberi tahu bagaimana mereka harus memperlakukan bola. Real bukan tim yang diperkuat anak-anak sepak bola “sekolahan” yang masih perlu bimbingan apakah sebaiknya bola ditendang dengan sisi dalam atau sisi luar kaki.

Situasi Benitez juga dihadapi Jose Mourinho saat membesut Los Merengues sepanjang 2010-2013. Dia terlibat perdebatan dengan Sergio Ramos ketika pemainnya tersebut luput mengawal bek Barcelona Carlos Puyol yang tiba-tiba datang dari belakang dan mencetak gol.

“Dalam pertandingan, kadang-kadang kamu bergeser kepada pemain yang menurutmu lebih berbahaya. Saat itu saya mengawal Gerard Pique,” kata Ramos kepada Mourinho.

“Terkadang kamu mengubah keputusanmu berdasarkan situasinya. Kamu tidak pernah bermain sepak bola makanya kamu tidak tahu situasi seperti ini bisa terjadi,” tambah Ramos dalam transkrip pembicaraan yang dimuat di Marca.

Seperti juga para pemain, para pelatih yang menduduki kursi panas sebagai pelatih Real Madrid juga bukan figur sembarangan. Mereka adalah para juru taktik yang sudah meraih gelar-gelar besar di klub lain. Mourinho adalah kolektor juara dari berbagai negara di Eropa sedangkan Benitez meraih gelar Liga Champions bersama Liverpool.

Para pelatih lain juga tak kalah hebat. Carlo Ancelotti bahkan meraih Si Kuping Besar—julukan trofi Liga Champions—dua kali bersama AC Milan.

Namun, begitu datang ke Real Madrid, gelar-gelar besar yang diraih di luar itu tak menjadi jaminan. Trofi dan kepercayaan dari para pemain adalah dua hal berbeda. Itu sudah menjadi rahasia umum dalam “manual book” melatih klub sebesar Real.

Bersama Zinedine Zidane dalam 18 bulan terakhir ini, para pemain Real bahkan mendapati sang pelatih tak pernah meraih apapun dalam karir manajerialnya. Dia hanya pelatih tim akademi yang mendapat promosi setelah Ancelotti diputus kontrak.

Tapi rasa hormat dan kepercayaan yang didapatkan Zidane dari para pemain jauh lebih besar. Rasa hormat mereka melebihi rasa tunduk mereka kepada Mourinho, Ancelotti, atau Benitez digabung menjadi satu.

Legenda yang melatih para legenda

Foto: Akun Twitter 8Fact Football

Padahal, metode kepelatihan Zidane tidak secanggih para pelatih tersebut. Dia juga bukan sosok motivator yang handal bermain kata seperti Mourinho. Sebaliknya, pelatih 44 tahun tersebut cenderung pendiam, pemalu, dan tidak banyak berkata di depan publik.

Seperti pada final Liga Champions musim lalu saat Real menghadapi rival sekota, Atleico Madrid, di San Siro, Milan. Zidane cuma berkata, “Nikmati pertandingannya,” kata Zidane seperti dikutip ESPN.

Begitu juga ketika para pemainnya merasakan ketegangan yang luar biasa. Dalam laga yang mereka menangkan melalui adu penalti itu, Zidane memotivasi para pemainnya dengan kata-kata sederhana, “Saya berharap bisa ikut bersama kalian di lapangan.”

Kalimat tersebut terdengar kelewat sederhana. Tapi Zidane lebih dari sekadar kata-kata itu. Para pemain mendengar kalimat tersebut meluncur dari sosok yang sudah meraih segalanya di sepak bola. Tak ada satupun gelar besar di muka bumi ini yang dilewatkan Zidane. Mulai dari gelar domestik, Eropa, hingga Piala Dunia.

Para pemain tidak sekadar melihat sosok pelatih yang datang pergi tak berarti. Mereka sedang melihat legenda. Pelatih yang saat masih aktif bermain menjadi idola mereka sejak baru saja mencintai sepak bola.

Dengan profil mentereng seperti itu, Zidane tak perlu menjelaskan kepada pasukannya bahwa mereka harus menghormatinya. Karismanya datang mendahului kata-katanya. Legitimasi bukan persoalan serius bahkan sejak hari pertama dia menjejakkan kaki di Santiago Bernabeu.

Bersama pelatih yang tiga kali menjadi pemain terbaik dunia, tak ada satupun pemain yang berlaku superior di hadapannya. Tak ada Sergio Ramos yang selalu membantah strategi permainan tim. Atau Ronaldo yang merasa terganggu kapasitasnya sebagai pemain terbesar era ini.

Sebab, Zidane adalah bagian dari mereka. Dia tak hanya pernah menjadi pemain, tapi juga pernah melalui masa-masa puncak kebintangan seperti mereka. Mourinho, Benitez, dan pelatih-pelatih yang datang dan pergi dari Santiago Bernabeu, tak pernah “berada dalam sepatu” mereka.

Karisma Zidane lah yang menaklukkan ruang ganti Real. Dan karisma itu nyaris tak berubah bahkan sejak dia masih bermain.

Saat masih membesut Juventus, Carlo Ancelotti bercerita bahwa suatu ketika Zidane terlambat menumpang bus tim. Ancelotti sudah memberi toleransi keterlambatan hingga 10 menit. Tapi, lelaki Perancis itu tak juga muncul. Akhirnya Ancelotti meminta bus segera berjalan. Tiba-tiba, Paolo Montero, bek Juventus dari Uruguay, menyela. “Tanpa Zidane, kita tidak akan kemana-mana,” kata Montero.

Bus pun menunggu hingga Zidane tiba baru berangkat.

Metode latihan konservatif

Foto: Akun Twitter Sporf

Beberapa saat setelah ditunjuk sebagai pelatih Real Madrid, media Spanyol menuding pilihan tersebut berisiko tinggi. Zidane tak punya banyak pengalaman. Dia introvert dan tak cakap berkomunikasi.

Dengan dua gelar Liga Champions dalam 18 bulan masa kepelatihannya, pers Spanyol barangkali bakal lebih banyak diam.

Namun, harus diakui, Zidane memang tidak memiliki banyak pendekatan taktikal yang rumit. Bersama Zidane, segalanya lebih sederhana. Tak ada pola permainan “revolusioner” dengan disiplin ketat pada posisi dan jarak antar pemain. Real juga lebih fokus terhadap permainan tim daripada menyesuaikan gaya bermain lawan.

Zidane membawa menu latihan kembali kepada hal-hal mendasar. Seperti yang diungkapkan kolumnis New York Times Rory Smith, pelatih keturunan Aljazair itu menekankan pada kebugaran pemain. Dia selalu meminta para pemainnya untuk melakoni sesi lari jarak jauh untuk membangun stamina.

Padahal, metode yang terinspirasi dari para pelatih lawas seperti Marcello Lippi (mantan pelatihnya di Juventus) itu kini sudah banyak ditinggalkan.

Isco, salah satu pemain bintang dalam laga final melawan Juventus, mengatakan bahwa salah satu yang benar-benar dia rasakan bersama Zidane adalah peran sang pelatih mengangkat mental. Begitu juga Ronaldo yang merasakan betapa Zidane terkesan lebih peduli kepada para pemainnya.

Pendekatan individual Zidane kepada para pemain memang lebih bisa menutupi kekurangannya dalam hal taktik. Dan para pemain tak ada yang merasa digurui. Mereka menurut kepada sang pelatih.

Dalam suatu sesi latihan tendangan bebas, seperti yang dituturkan kolumnis ESPN Sid Lowe, Zidane memberi nasehat kepada Ronaldo. Dan Ronaldo tak merasa terganggu. Tentu saja karena dalam sesi tersebut Zidane mencetak gol lebih banyak daripada Ronaldo.

Segala pendekatan tersebut, dengan kelebihan dan kekurangannya, terbukti menjadi yang paling efektif mendatangkan gelar bagi Real. Mereka meraih 2 Liga Champions dan 1 gelar Primera Division bersama Zidane.

Dan gelar Liga Champions ke-12 ini menjadi penanda sejarah utama Zidane. Untuk kali pertama Real menjadi klub di era Liga Champions yang mampu mempertahankan gelar. Sedangkan Zidane menjadi pelatih pertama yang mampu melakukannya.

Sampai dua hingga tiga musim ke depan, Liga Champions tampaknya harus rela menjadi “taman bermain” bagi anak-anak Galacticos. Setidaknya selama Zidane masih bersama mereka.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!