Ronaldo: Orang tak peduli garis ‘start’, hanya hasil akhir

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ronaldo: Orang tak peduli garis ‘start’, hanya hasil akhir

AFP

"Saya adalah pemain terbaik dalam sejarah sepak bola dunia".

JAKARTA, Indonesia — Pidato Cristiano Ronaldo dalam penganugerahan Ballon d’Or kelimanya pada Jumat, 8 Desember, seperti mengisyaratkan kesombongan. Menganggap dirinya adalah yang terbaik dalam sejarah—meski tanpa gelar juara Piala Dunia.  

“Saya adalah pemain terbaik dalam sejarah. Saya menyadari preferensi masing-masing orang berbeda, tapi saya tak pernah melihat pesepak bola sehebat saya,” katanya seperti dikutip NBC Sports. 

Jika hanya melihat garis “finis” Ronaldo, pernyataan tersebut memang lebih dekat pada arogansi daripada contoh sikap rendah hati. Sesuatu yang pasti bakal menjadi sorotan para fans Lionel Messi yang menganggap idolanya lebih layak membawa piala berbentuk bola itu.

Ya, tentu saja karena tak mungkin kalimat-kalimat seperti itu meluncur dari Messi. Bocah kecil dari Argentina itu hanya akan berkata hal-hal normatif dan menyimpan kalimat-kalimat yang bagus untuk dirinya sendiri.

Namun, jika menarik garis mundur sejak umur peraih lima gelar Ballon d’Or tersebut masih kanak-kanak, 12 tahun, arogansi yang dituduhkan itu bisa jadi sebuah bentuk selebrasi. Selebrasi setelah penderitaan yang begitu lama di sepak bola. 

Padahal, garis start yang dilalui Ronaldo begitu jauh dari apa yang dicapainya sekarang. Bahkan, bekas-bekasnya sama sekali tidak terlihat. Yang kita lihat sekarang cuma lelaki berbadan tegap yang punya koleksi lusinan mobil mewah dengan istri model cantik Spanyol Georgina Rodriguez. 

Garis start perjuangan Ronaldo bertahan hidup tidak dimulai pada satu usia tertentu. Bahkan sebelum dia lahir, Ronaldo yang masih berupa janin itu harus berjuang bertahan hidup. Saat itu, ibunya, Maria Dolores Aveiro, ingin menggugurkan kandungannya.

Dia tak siap punya anak lagi. Kemiskinan membuat keberadaan Ronaldo tak diharapkan. 

Apa yang bisa kamu harapkan dari seorang bapak tukang kebun dan ibu tukang masak yang tinggal di Pulau Madeira? 

Ronaldo pada akhirnya dilahirkan. Tapi upaya bertahan hidup yang dia jalani masih harus terus dilalui. Pada usia 12 tahun, klub profesional Portugal, Sporting Club, mengendus bakatnya. Membuatnya diboyong ke pulau utama Portugal untuk kali pertama.

Tinggal di pusat peradaban Portugal tak lantas membuat Ronaldo sukses. Hari-harinya di sekolah dilalui dengan perundungan dari teman-temannya. Ronaldo di-bully karena aksen Madeira yang dibawanya. Tak hanya para siswa yang melakukannya, tapi juga gurunya ikut-ikutan!

Karena itu, jangan heran jika catatan kenakalan Ronaldo di bangku sekolah itu meliputi “melempar kursi kepada guru”. Tindakan yang membuatnya ditendang dari sekolah.

Barangkali kalau ada dalam posisi Ronaldo, kita mungkin bisa melakukan sesuatu yang lebih parah dari sekadar melempar kursi. Mungkin.

Tapi apakah jalan Ronaldo mulus setelah itu? Sama sekali tidak. Upaya dia merintis karier sejak usia belia terhambat oleh kondisi fisik. Ronaldo memiliki detak jantung yang lebih cepat. Tidak normal. Satu-satunya solusi adalah dioperasi. Setelah operasi pun, belum tentu dia boleh meneruskan karier sepak bolanya. 

Situasi terlampau berat untuk dihadapi bocah yang bahkan belum memasuki usia dewasa. 

Keadaan di keluarga juga tak kunjung membaik. Ayahnya meninggal karena kecanduan alkohol saat usia Ronaldo 20 tahun. Saat dia masih di periode sangat awal untuk masuk ke level senior.

Pada akhirnya Ronaldo memang bisa melanjutkan kariernya. Tapi praktis, semua yang diraih Ronaldo benar-benar dia raih sendiri. Ronaldo membuka jalan untuk mencapai kariernya seorang diri. Hampir tanpa bantuan orang-orang dekatnya. Sesuatu yang tidak banyak orang lihat dari dirinya sekarang. 

“Saya katakan pada diri saya sendiri. Ada awal dan ada akhir. Di sepak bola, yang dihitung adalah hasil akhir, bukan awal. Saya dulu sudah sangat sabar. Dan akhirnya saya memenangkan empat Ballon d’Or sebelum ini,” katanya.

Ronaldo tahu betul betapa berharganya level yang dia raih saat ini. Membuatnya sangat berhati-hati untuk tidak menumpahkan anggur kesuksesan itu begitu saja. 

Bahkan saat sudah meraih segalanya pun—tentu saja kecuali trofi Piala Dunia—Ronaldo tak hendak menghentikan etos kerja dan disiplin yang begitu ketat itu. Dia akan tetap menghabiskan waktu di tempat kebugaran dengan rutinitas recovery yang berjam-jam. 

Dia tahu harga sebuah kesuksesan. Tidak semata soal kemampuan diri, tapi juga momen. Banyak pemain yang jauh lebih hebat dari dirinya, tapi tak banyak yang mendapatkan momen untuk mendapatkan sekian banyak hal. 

Sebagian pemain berbakat itu dihadang nasib buruk cedera yang merenggut karier, sebagian yang lain tak kuasa dengan godaan kekayaan—untuk kemudian pensiun di usia yang tak terlalu tua. Atau paling tidak kita bisa bilang, seharusnya masih banyak yang tersisa darinya. 

“Legenda seperti Floyd Mayweather dan LeBron James tidak mendapatkan level kesempurnaan mereka karena kebetulan. Banyak faktor yang bertemu. Untuk berada di level top dan bertahan di sana, kamu harus punya bakat yang jauh lebih baik dari lainnya,” katanya.

“Saya bermain dengan dua kaki yang sama bagusnya. Saya cepat. Bertenaga. Bagus dalam duel udara. Saya mencetak gol, sebaik saya menciptakan assists. Banyak orang yang lebih suka Neymar atau Messi. Tapi satu yang bisa saya katakan: tidak ada orang yang lebih komplit dari saya!”

Iya, Ronaldo. Kamu memang yang terhebat. Tinggal gelar Piala Dunia tahun depan, bisa nggak—Rappler.com

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!