Berkurban di Hari Raya: Dari cara online hingga tradisional

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Berkurban di Hari Raya: Dari cara online hingga tradisional
Dua pendapat berbeda tentang cara berkurban, yaitu online atau tradisional


Kantor mungil kami mendadak ramai membahas cara berkurban. Selain cara tradisional, teknologi telah memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal, termasuk berkurban dalam rangka Hari Raya Iduladha.

Yang bikin kantor ramai adalah pembahasan mengenai mengapa cara tradisional itu perlu. Ampun, deh. Saya lihat kalender untuk memastikan ini masih 2015, bukan mendadak terpental ke masa lalu.

Kisah Dodi Ibnu Rusydi: Berkurban dengan bantuan teknologi, tak repot!

Beberapa tahun lalu, saya mulai mencari cara yang lebih praktis untuk berkurban. Masa itu, saya tinggal di tempat tanpa halaman dan tak menapak tanah. Agak sulit mencari tempat menambatkan kambing. Kasihan pula dia kedinginan. Tak mungkin juga membawanya naik lift lalu ditaruh di jemuran kolektif. Bisa diprotes tetangga.

Di situlah saya menemukan Superqurban dari Rumah Zakat. Singkatnya, mereka menjalin hubungan dengan beberapa peternakan yang menyediakan hewan kurban. Saya cukup membayar lewat transfer bank, lalu kurban dilaksanakan di pemotongan-pemotongan hewan tersebut pada Hari Raya.

Daging kurban lalu dikalengkan dan didistribusikan ke penerima qurban yang bisa berbeda pulau bahkan berbeda negara. Daging kurban tak lantas habis tuntas dalam dua-tiga hari setelah lebaran. Orang yang berkurban nantinya akan dikirimi kaleng-kaleng daging kurbannya. Sayangnya, waktu itu saya tidak menerima kiriman kaleng kurban itu.

Dompet Dhuafa sedikit berbeda dalam program Tebar Hewan Kurban. Hewan kurban berasal dari peternak binaan di berbagai provinsi. Mereka disembelih usai salat Ied hingga tiga-empat hari setelahnya.

Daging kurban akan disebar ke lebih dari 1.000 dusun. Orang yang berkurban akan menerima laporan penyembelihan. Tak cukup di situ, para penyelenggara seperti Dompet Dhuafa lalu bekerja sama dengan sejumlah toko online, yang ramai-ramai membuka halaman khusus kurban.

Ada pula cara lain! Yaitu menitip ke keluarga atau teman. Koordinasi bisa dilakukan lewat pesan pendek di WhatsApp. Dana dikirim lewat ponsel juga.

Seorang teman pernah menjadi “makelar” mencarikan kurban dan menguruskan penyembelihan. Ia tak mengambil untung. Foto-foto kurban titipan dan bukti pascapenyembelihan ia kirimkan lewat Twitter dengan menyebut nama teman-temannya. Kurban melintas di linimasa media sosial.

Menurut saya, teknologi telah memudahkan banyak aspek hidup kita. Termasuk juga dalam berkurban. Lihat pula dampak sosialnya, yaitu distribusi yang lebih merata dengan sasaran orang yang membutuhkan. Bagi yang mampu, tentu saja tak ada salahnya mencoba kedua cara.

Kisah Febriana Firdaus: Perlakuan istimewa bagi kambing kurban menjelang ajal

Mungkin memang bagi sebagian orang teknologi adalah alat untuk mempermudah. Contohnya, Mas Dodi yang bilang kalau dia mau beli kambing secara online. Lho kan enak, tinggal klik, bayar, kirim. Beres. 

Tapi waktu mendengar kawan di kantor saya itu ingin membeli kambing secara online, ekspresi pertama saya adalah mengernyitkan dahi. Ya Tuhan, orang kota itu tega banget, ya. Ya, masa mau beli hewan kurban enggak taaruf (kenalan) sama hewannya. Orang mau nikah aja paling enggak kudu taaruf. Lha ini, taaruf-nya lewat foto online doang. 

Dipikir-pikir, orang berkurban sekarang itu cuma melihat dari sisi kewajiban menyembelih saja. Padahal ada sisi-sisi lainnya, sisi hewani. Membeli hewan secara online itu jelas tidak berperikehewanan. Sebab, tidak ada interaksi dengan hewan kurban.

Ingat, kan, asal-usul mengapa ada hari Iduladha atau kurban? Ismail hampir saja dikurbankan oleh Ibrahim. Tapi apa yang terjadi? Allah menggantinya dengan (sejenis) kambing. 

Jadi perlu dicatat, bahwa kambing ini adalah hewan yang rela berkurban demi manusia, rela menggantikan posisi manusia. Makanya kita harus berterimakasih padanya. 

Caranya, menurut saya, cuma satu. Yaitu berinteraksi dengan kambing saat dijual di pasar dan sebelum disembelih. Keluarga saya adalah yang selalu melakukannya.

Dulu, bapak saya membeli kambing sebulan sebelum Iduladha. Saya ikut ke pasar, memegang kambing-kambingnya. Terus sok pake chemistry, saya bilang ke bapak saya, kalau saya mau yang ini.

Bapak saya pun tidak jadi membeli kurban karena bobot, bibit, bebet. Tapi dia membeli kurban karena saya tiba-tiba suka pada salah satu kambing. 

Setelah dibeli, kambingnya dibiarkan mengembik dan merumput di belakang rumah. Saya menemani si kambing menikmati hangatnya sinar mentari sore.

Saya ambil rerumputan seadanya, kemudian air jika perlu. Saya tuntun dia keliling ke padang rimbun di dekat rumah, sambil berteduh, dan melihat air sungai mengalir jernih. 

Kadang saya memberinya nama, untuk memberikan identitas padanya. Dan supaya bisa diceritakan pada teman-teman di sekolah. 

Nah, di Madura, kampung halaman Ibu juga begitu. Di belakang rumah, sapi dan kambing dibiarkan berdiri manis di belakang rumah. 

Kemarin waktu pulang Iduladha, saya sempat”‘mengobrol” dengan kambing yang akan disembelih. Walaupun hanya sekedar bilang, “Halo.” Foto di artikel ini di atas adalah foto dia.

Mungkin bagi orang-orang di kota, berinteraksi dengan kambing yang akan dibeli dan disembelih adalah hal aneh. Bagi saya, kambing bisa berbahagia mendapat perlakuan istimewa sembelum menemui ajalnya. 

Selamat merayakan Iduladha 🙂 

—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!