Karena hati tahu kemana harus berlabuh

Dwi Agustiar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Karena hati tahu kemana harus berlabuh
Percaya atau tidak, hati memiliki pilihannya sendiri. Dan ia tahu kemana harus melempar jangkar.

 

Namanya Seno. Bukan nama sebenarnya, tentu saja. Usianya hampir menyentuh angka 35. Banyak yang bilang wajahnya mirip Keanu Reeves. Tubuhnya kencang berotot. Tutur katanya santun. Dompetnya tebal dan tidak merokok pula. Pokoknya, dia cowok ideal banget.

Malam tadi dia mampir ke rumah. Rambutnya kusut dan wajahnya mirip kertas HVS lecek. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa begitu saja seraya melenguh. “Gue merasa bokap gue jadi mirip debt collector,” katanya sambil menyandarkan tubuh.

Ia lalu menceritakan ayahnya yang baru tiba dari Solo. Kedatangannya begitu mendadak. Namun bukan karena alasan itu Seno gelisah. “Bayangin, beliau datang jauh-jauh cuma buat nanya kapan gue nikah!”

Ini bukan pertamakalinya ia mengeluhkan sikap ayahnya. Sebelumnya ia pernah menunjukkan isi SMS-SMS dari ayahnya. Semuanya berisi pertanyaan kapan nikah. Bahkan, dalam salah satu SMS, ayahnya menawarkan tetangga belakang yang baru pulang dari Arab sebagai calonnya. “Gue merasa diteror!”

Seno sendiri bukan tak ingin menikah. Ia pernah dekat dengan beberapa perempuan, bahkan ada yang dipacarinya. Namun ia tak pernah merasa ada yang cocok untuk diboyong ke KUA. 

“Gue nggak pernah merasa ada yang klik di hati,” katanya. “Loe sendiri apa yang membuat loe dulu merasa yakin bahwa istri loe adalah orang yang tepat?”

*********

Saya telah menikah hampir tujuh tahun. Dan sampai saat ini saya tak yakin apa yang dulu membuat saya yakin untuk menikahinya. Sebab saya baru mengenalnya dua bulan sebelum akhirnya kami bertunangan. 

Lalu, empat bulan setelah itu, kami menikah. Semua berlangsung begitu cepat. Tiba-tiba saja kami duduk di depan penghulu. Tiba-tiba saja seorang fotografer meminta kami memamerkan dua buku nikah. 

Mendadak saya menjadi suami: status yang bahkan tidak pernah terpercik dalam benak saya tujuh bulan lalu. Semua terjadi begitu saja, seolah kami sudah ditakdirkan untuk seranjang bersama. 

Namun saya tak percaya jodoh sudah digariskan. Yang saya yakini, Tuhan membebaskan manusia memilih pasangannya. Dan saya memilihnya, meski tanpa banyak pertimbangan. Saya bahkan tak salat istiharah.  

Boleh jadi keputusan yang saya ambil ketika itu sangat emosional, keputusan seorang yang kelewat banyak menenggak anggur cinta. Tapi, sampai saat ini, saya hanya sedikit menyesalinya.   

Ibu sempat meminta saya mencari tahu lebih dalam tentang latar belakang calon menantunya. Sebab menikah, kata beliau, adalah keputusan sekali seumur hidup. Karena itu jangan sampai salah memilih. 

“Kamu baru kenal beberapa bulan lalu langsung mengajaknya menikah,” kata ibu saat itu dengan nada kagum bercampur kesal. Bapak pun meminta penjelasan.

Tapi bagaimana menjelaskan sesuatu yang sangat kamu yakini tapi kamu sendiri nggak tahu apa yang membuatmu begitu yakin? Saat itu, kepada ibu dan bapak, saya menjawab, “Dengan dirinya saya merasa batin kami bertemu. Jiwa kami klop.”

Terdengar klenik, memang. Tapi itu jawaban paling ampuh untuk menjelaskan sesuatu yang tidak bisa kamu deskripsikan. Belakangan saya tahu jika jawaban tersebut tak sepenuhnya klenik. Karena dalam psikologi, batin yang bertemu konon disebut chemistry

Saya merasakan chemistry itu saat kami menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul di warung kopi di Jalan Sabang. Saya merasakannya saat kami melahap bebek Slamet tanpa perlu malu dengan ingus yang terus meler karena kepedesan.

Keyakinan saya semakin kuat untuk memilihnya ketika kami terjebak hujan di stasiun. Saat itu ia membuka payung lalu kami berdiri berdua di bawahnya. Lalu, di antara gemerisik hujan itu, ia mengutip Dewi Lestari, “Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin.”

Berdiri berdua bersamanya membuat saya merasa utuh. Lalu pada air hujan yang menggenang di cegukan trotoar stasiun itu saya bercermin dan melihat wajah yang begitu yakin. Saya tidak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. 

Memang aneh. Meyakini seseorang sebagai pasangan hidupmu padahal kamu baru mengenalnya dua-tiga bulan. Namun, percaya atau tidak, hati memiliki pilihannya sendiri. Dan ia tahu kemana harus melempar jangkar. Berlabuh.

Saya pun kemudian memutuskan untuk berlabuh, mengikuti aliran hati tanpa banyak pertimbangan. Bisa jadi ada pelabuhan lain yang lebih tepat, saya tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu.

Yang saya tahu dia tidak pernah memaksa saya untuk menjadi orang yang tepat buatnya. Bagi saya, itu saja sudah cukup. 

********

Seno terus memaksakan diri bermain catur, meski kelopak matanya sudah mirip kucing Garfield. “Hidup itu seperti papan catur,” katanya seraya menggeser bidak kuda. “Setiap langkah harus dikaji.”  

“Terdengar seperti sedang menasihati diri sendiri,” sindirku menahan tawa.

Ia tersenyum kecut. Tiba-tiba matanya menerawang. “Gue nggak mau diteror bapak terus, tapi gue juga nggak mau buru-buru menikah,” katanya.

“Tapi loe harus segera memutuskan,” sahutku.

“Kenapa?”

“Karena pacar loe sudah hamil tiga bulan.”

—Rappler.com

   

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!