Nelson Mandela dan jalan panjang menuju dunia ideal

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

18 Juli diperingati sebagai Hari Mandela, hari di mana seluruh manusia diajak untuk mengerjakan kebaikan sekecil apapun

Grafik oleh Mara Mercado 

“Saya telah berjuang, tidak hanya untuk melawan diskriminasi oleh warga kulit putih, tapi juga oleh warga kulit hitam. Saya memimpikan sebuah dunia ideal yang bebas diskriminasi, di mana setap orang hidup bersama secara harmonis dan memiliki kesempatan yang sama.”

Kutipan di atas disadur dari sebuah pidato oleh seorang pria paruh baya dari yang tengah berada di ruang pengadilan di Pretoria, Afrika Selatan. Dirinya didakwa telah mendorong gerakan militan untuk melawan kebijakan pemerintah setempat. Ia dianggap sebagai provokator, penghasut, dan ancaman bagi kemananan yang wajib dibungkam. 

Tapi bagi sebagian orang, dirinya baru saja jadi simbol, simbol atas gagasan penyetaraan hak kebebasan serta penghapusan diskriminasi yang kemudian akan menjalar ke seluruh pelosok dunia.

Perjuangan meraih kebebasan dan kesetaraan, perjuangan melawan ketidakadilan dan dominasi kelompok tertentu atas kelompok lainnya mungkin sudah jadi kisah klasik yang sering kita dengar. Mulai dari perjuangan melawan dominasi agama yang siap memberangus semua yang mempertanyakan ortodoksi mereka, perjuangan melawan imperialisme dan penjajahan yang opresif, hingga perjuangan meraih hak-hak yang setara dalam sistem masyarakat sosial. 

Hikayat-hikayat tersebut jadi semacam mahaguru sejarah. Mereka jadi medium penyampai pesan moral dan nurani, yang melahirkan gagasan keadilan dan kesamaan pada benak pemikir besar seperti Thomas Aquinas, Jean-Jacques Rosseau, ataupun John Rawls, yang menggagas bahwa setiap individu yang terlahir ke dunia memiliki hak mendasar yang tidak bisa diganggu oleh siapapun, apapun status dan latar belakangnya.

Kini, kebebasan dan kesetaraan adalah cita-cita politik yang mendasar. Ia dianggap begitu penting dan dinilai sepadan dengan kesulitan-kesulitan besar yang harus dilalui untuk memenangkannya. Kebebasan dan kesetaraan sudah dianggap sebagai hal yang luhur, yang membuat orang yang memimpikannya rela menjadi martir: orang yang rela menderita demi membela apa yang ia percaya sebagai hal yang benar.

Maka, Nelson Mandela adalah figur martir abad 20. Ia adalah satu dari sekian banyak sosok yang berdiri sejajar dengan Galileo dan Copernicus, para penentang otoritas yang opresif dan sewenang-wenang. Mereka yang rela dipenjara hingga berkorban nyawa demi memperjuangkan kebenaran.

Perlawanan terhadap politik apharteid

MANDELA. Lilin menyala di bawah foto Mandela sebelum upacara pemakamannya di Qunu pada 15 Desember 2013. Foto oleh Odd Andersen/AFP

Jika ada daftar peringkat 100 hal-hal terburuk di dunia, maka “terlahir sebagai warga kulit hitam di Afrika Selatan pada periode 1950-an” akan masuk ke dalam peringkat 10 besar, mungkin hanya satu peringkat di bawah “terlahir sebagai LGBT di negara konservatif”.

Berawal di tahun 1930, Hendrick Verwoerd, menteri urusan masalah penduduk pribumi yang kemudian menjadi perdana menteri ke-7 Afrika Selatan, menerapkan kebijakan untuk menempatkan mayoritas warga kulit hitam Afrika Selatan dalam kawasan khusus yang disebut Bantustan atau Homelands. Mirip kebijakan Nazi yang menempatkan warga Yahudi di Jerman dalam ghetto atau perkampungan khusus Yahudi.

Jika diteliti, Henderik Verwoerd sedikit banyak terilhami paham nasional-chauvinis ala NAZI, yang memandang bahwa kaum kulit putih adalah kaum yang lebih superior dibanding kaum lainnya. Gagasannya ini menandakan lahirnya politik apharteid, yang membedakan penduduk berdasarkan warna kulit dan ras, yang membedakan antara kelompok yang diistimewakan dan kelompok yang dianggap lebih rendah.

Implikasi mendasar dari penerapan kebijakan ini di Afrika Selatan adalah ketidakadilan. Pemberlakuannya membatasi keikutsertaan warga kulit hitam dalam politik negara tersebut, yang berdampak pada ketimpangan dalam hal ekonomi dan sosial yang dialami masyarakat kulit hitam dan campuran. 

Di tempat-tempat umum ditetapkan peraturan ketat pemisahan kaum kulit putih dengan kaum kulit hitam dan campuran. Kebijakan ini menyebabkan kecemburuan sosial yang tidak dapat dihindarkan pada tatanan sosial masyarakat Afrika Selatan saat itu. Pergolakan sosial pun terjadi. Kaum kulit hitam yang merasa tertindas mulai bergerak melakukan perlawanan.

“Saya telah berjalan jauh untuk menggapai kebebasan. Dan saya menemukan rahasia setelah mendaki sebuah bukit besar. Ternyata masih ada banyak bukit yang harus didaki.”

Mandela berdiri di sana, sebagai salah satu aktor utama dalam barisan warga kulit hitam yang menuntut dihapuskannya kebijakan politik apharteid. Tergabung dalam African National Congress (ANC), Mandela dan kawan-kawan menyusun pergerakan hingga demonstrasi besar-besaran untuk menekan pemerintah menghapuskan kebijakan diskriminatif dan memberikan hak yang sama bagi warga kulit hitam dan ras campuran di Afrika Selatan.

Alih-alih membuahkan hasil, eksistensi ANC dan partai warga kulit hitam lainnya malah dilarang oleh pemerintah setempat. Gerakan yang dilakukan oleh partai-partai tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman bagi stabilitas keamanan negara. Para aktivis terpaksa mengubah pola pergerakan mereka menjadi gerakan bawah tanah.

Namun ketegangan politik antara pihak pemerintah dan pihak oposisi dari partai warga kulit hitam semakin menjadi. Hingga puncaknya terjadi di tahun 1960, tragedi Sharpville Massacre tidak terelakkan, di mana 69 orang warga kulit hitam meninggal dunia akibat pecahnya kerusuhan saat demonstrasi anti-apartheid antara pendemo dan aparat setempat.

Maka, Mandela pun ikut merasakan apa yang dirasakan para martir lainnya dalam memperjuangkan apa yang ia percayai benar: duduk di kursi pesakitan. Ia dinilai sebagai otak dari demonstrasi yang berujung pada kerusuhan. 

Pada tahun 1962, dirinya ditahan atas tuduhan melakukan sabotase dan melakukan persekongkolan untuk menggulingkang pemerintahan. Ia dikenai hukuman penjara 27 tahun. 

Mulai pada tahun 1964, Mandela mendekam selama 18 tahun di penjara Pulau Robben. Kemudian di tahun 1982 dirinya dipindahkan ke pejara Pollsmore dan dipindahkan lagi ke penjara Victor Verster.

Hukuman yang didapatkan oleh Mandela, serta kondisi politik Afrika Selatan mulai menjadi sorotan dunia. Banyak pihak yang menyatakan dukungan pada perjuangan yang dilakukan Mandela dan aktivis lainnya. Tekanan mulai datang pada pemerintah Afrika Selatan untuk menghapus kebijakan diskriminatif tersebut. Kondisi ini memicu gerakan reformasi dalam tubuh pemerintahan Afrika Selatan.

Gerakan reformasi diinisiasi oleh Presiden Botha (1978-1989). Ia menjadi presiden pertama yang menginisiasi persamaan hak bagi kaum kulit hitam. Perjuangan Botha dilanjutkan oleh Frederik Willem de Klerk, presiden Afrika Selatan setelah Botha. 

Klerk melakukan langkah radikal untuk menghapuskan kebijakan diskriminatif, yakni dengan kembali melegalkannya kegiatan partai-partai warga kulit hitam, termasuk ANC. Dirinya juga melepaskan banyak tahanan aktivis kulit warga kulit hitam dari penjara, salah satunya Mandela. Klerk, bersama Mandela, bekerja sama untuk mendorong warga kulit putih untuk menghapuskan kebijakan politik apartheid dalam sebuah referendum. 

Upaya ini membuat Mandela dan Klerk dihadiahi penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1993.

Peristiwa bersejarah pun terjadi. Di tahun 1994, setelah negosiasi panjang dari referendum yang menyetujui penghapusan kebijakan apartheid di Afrika Selatan, dilakukan pemilihan umum pertama yang mengizinkan warga kulit hitam mengajukan diri sebagai calon presiden. Hasilnya, pemilihan umum tersebut dimenangkan oleh Mandela dan ANC.

Selaku presiden, ia menyusun konstitusi baru yang menghapuskan kebijakan diskriminatif dan memberikan hak yang sama bagi setiap warga negara, tanpa membedakan warna kulit ataupun ras. Ia juga memperkenalkan kebijakan reformasi lahan, pemberantasan kemiskinan, dan perluasan cakupan layanan kesehatan. Langkah ini juga sekaligus menandakan telah berakhirnya era politik apharteid dan dimulainya era post-apartheid di mana warga kulit hitam mendapatkan persamaan hak yang selama ini mereka dambakan.

Jalan panjang Mandela

Dunia mengenal Nelson Mandela dari kejauhan, saat ia dipenjarakan di Pulau Robben. Namun bagi sebagian dari kita, ia bukan sekadar manusia, ia juga simbol perjuangan untuk keadilan, kesetaraan, dan martabat bagi setiap manusia di Afrika Selatan dan seluruh dunia. Pengorbanannya begitu besar dalam menyeru orang di mana pun untuk melakukan apa yang mereka bisa demi kemajuan umat manusia.

Kisah mengenai Mandela bukanlah tentang manusia sempurna dan tentang kemenangan tak terelakkan. Kisah Mandela adalah cerita mengenai anak manusia yang berani bertaruh nyawa untuk membela apa yang ia yakini benar, dan yang telah bekerja keras untuk mengantarkan dunia ke tempat yang lebih baik.

Namun, dalam sebuah buku yang ia tulis, Long Walk to Freedom (1994), Mandela mengungkapkan, “Saya telah berjalan jauh untuk menggapai kebebasan. Dan saya menemukan rahasia setelah mendaki sebuah bukit besar. Ternyata masih ada banyak bukit yang harus didaki.”

Perjuangan yang diinisiasi oleh Mandela memang masih jauh dari kata selesai. Dunia ideal yang “bebas diskriminasi, di mana setap orang hidup bersama secara harmonis” masih akan jadi utopia semata selama dalam benak dan hati manusia masih ditumbuhi sentimen rasial berbasis SARA, kebencian pada kelompok yang berbeda tanpa niat untuk memahami, dan tak lupa, absolutisme sempit, yang menganggap diri dan kelompok adalah kebenaran absolut. 

Mandela adalah bapak dari sebuah gagasan tentang negara ideal. Negara yang adil dan tidak mendiskriminasikan terhadap alasan apapun. Ras, gender, orientasi seksual, asal-usul, warna kulit, agama, budaya, bahasa, hingga kelahiran, semua saling harmonis satu sama lain. Sama di mata negara dan di mata hukum. 

Maka kini, 18 Juli tidak lagi dianggap sebagai hari biasa. Ia dianggap sebagai hari kelahiran manusia yang menjadi simbol terhadap perjuangan melawan penindasan diskriminatif dan perjuangan untuk meraih kebebasan dan persamaan hak. 

Hari Mandela menjadi hari perayaan filantropi internasional di mana Nelson Mandela mengajak seluruh individual, komunitas, hingga pemerintah untuk mengerjakan kebaikan sekecil apapun. Sebagai bentuk langkah kecil sebelum lompatan besar transformasi dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Jalan memang masih panjang untuk mencapai perdamaian dunia dan persamaan hak, dan kini sosok martir itu sudah tiada. Tapi jasadnya yang fana tidak menghalangi keabadian ide dan gagasannya untuk terus terlahir kembali dalam bentuk aksi nyata dan perjuangan untuk mewujudkan dunia ideal yang sejak lama ia impikan. 

Nelson Mandela adalah pionir, dan gagasannya adalah belati yang menebas belukar menuju dunia ideal bagi peradaban manusia. —Rappler.com

Muhammad Harvan adalah mahasiswa Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran. Saat ini sedang magang di Rappler Indonesia

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!