Kenapa ojek adalah kegagalan pemerintah mengelola transportasi publik

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa ojek adalah kegagalan pemerintah mengelola transportasi publik

ANTARA FOTO

Transportasi publik harus bersifat universal bagi semua warga: Terjangkau oleh si miskin, nyaman buat si kaya, dapat diakses kaum difabel, dan aman bagi siapapun

Saya percaya apa yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk melarang kehadiran ojek berbasis aplikasi online adalah hal yang benar.

Jika ia hendak melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan menyebutkan bahwa pengangkutan orang dengan kendaraan umum dilakukan dengan menggunakan mobil bus atau mobil penumpang.

Di sisi lain, jika argumen yang ia gunakan adalah standar keamanan, maka kita bisa berdebat. 

Ojek bisa jadi lebih aman daripada transportasi publik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah. Mungkin jika dibandingkan kecelakaan yang terjadi akibat menaiki ojek akan lebih sedikit dibanding kecelakaan yang terjadi akibat menaiki bus.

Ini akan sangat berbeda jika standar keamanannya diperbandingkan dengan TransJakarta, angkutan bus macam MetroMini, Kopaja dan sejenisnya. Tentu melarang operasional ojek berbasis aplikasi online dengan alasan keamanan bisa sangat komikal, atau jika mau sedikit kasar, bebal.

Bagi kebanyakan dari kita persoalan ojek berbasis aplikasi seperti Go-Jek, Blu-JEK, atau GrabBike muncul karena kegagalan pemerintah mengelola transportasi publik yang baik. Tentu ada manfaat yang dihasilkan dari ojek, namun jika dipandang dari kerangka yang lebih luas, sebenarnya pemerintah kita sedang gagal. Masyarakat lebih menyukai layanan ojek tanpa menyadari perannya sebagai warga negara. 

Dengan menggunakan ojek berbasis aplikasi, masyarakat bertindak seperti konsumen. Ada hubungan transaksional. Penyedia jasa wajib memberikan kepeuasan, si pemakai wajib membayar. Sementara agaknya masyarakat abai menuntut haknya sebagai warga negara yang semestinya dilayani oleh negara melalui transportasi publik.

Masyarakat agaknya terlena dan lupa menuntut pemerintah menyediakan sistem transportasi publik yang nyaman, aman, dan murah. Pada akhirnya layanan ojek berbasis aplikasi tadi adalah wujud kegagalan pemerintah dalam mengelola transportasi publik.

Beberapa waktu yang lalu pemerintah juga berusaha bekerja sama dengan pemerintah asing untuk membangun infrastuktur transportasi publik berupa kereta cepat dari Jakarta ke Bandung. Ini bisa jadi hal yang bagus. Hanya saja, pembangunan itu didapat dari utang. Lebih dari itu, fokus pembangunan yang terobsesi dengan proyek besar di Jawa bisa jadi menimbulkan pertanyaan. 

Pada akhirnya layanan ojek berbasis aplikasi tadi adalah wujud kegagalan pemerintah dalam mengelola transportasi publik.

Apa urgensi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung? Kenapa tidak membangun di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, atau Papua? Tapi ini bisa jadi separuh benar. Toh, nyatanya pemerintah juga tengah membangun proyek serupa di berbagai tempat di Indonesia.

Sayang, ketika kemarin Jonan ingin bertindak tegas kepada perusahaan ojek berbasis aplikasi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo campur tangan melarang. Ia menyebut bahwa rakyat membutuhkan ojek. Tapi Jokowi tak menyebut secara spesifik rakyat yang mana? Jakarta? Jika hanya soal Jakarta, maka betapa sempitnya reaksi Jokowi yang hanya peduli soal kepentingan orang Jakarta. 

Namun, kemudian, jika dibaca lagi, Jokowi tidak pula secara spesifik menjebut perusahaan ojek berbasis online. Meski, bos Go-Jek tiba-tiba berterima kasih, seolah Jokowi membelanya.

Tapi lupakan soal itu. Jika Jakarta adalah tolok ukur Indonesia, mari kita lihat transportasi publik di Jakarta. Farid Gaban, Pemimpin Redaksi GeoTimes, menyebut pembangunan transportasi Jakarta terutama didorong serta didikte oleh interest dan cara berpikir private (swasta).

Tak heran jika problem transportasi sulit dipecahkan meski ada banyak jalan tol, MRT, busway, LRT, kopaja, MetroMini, dan sekarang Go-Jek. Peran publik (negara/pemerintah) sangat minimal. Cara berpikir publik kian luntur bahkan di kalangan pejabat publik sendiri. Inisiatif privat/individu/swasta, betapapun mulianya, takkan bisa memecahkan masalah publik.

Bus Transjakarta terbakar di Halte UI Salemba pada 3 Juli 2015. Foto dari Twitter/@FaisalRizalIcal

Banyak yang tak sadar bahwa angkutan umum yang ada di jalanan itu bukan milik pemerintah, namun milik swasta yang diatur bersama oleh Organda. Di Jakarta beberapa transportasi publik yang dikelola pemerintah adalah TransJakarta dan Commuter Line. Ini pun belum terlalu baik.

TransJakarta beberapa kali terbakar, terjebak macet, sementara kereta api kerap telat berangkat dari jadwal yang ada. Yang memiliki uang lantas memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Jalanan macet karena kendaraan pribadi, sementara transportasi publik buruk, volume kendaraan naik karena orang enggan memakai kendaraan umum. Siklus ini lantas melahirkan kemacetan parah.

Padahal sejatinya sistem transportasi publik harus bersifat universal bagi semua warga negara: Terjangkau oleh si miskin, nyaman buat si kaya, dapat diakses bagi kaum difabel, dan aman bagi siapapun. Sukses mengelola tranportasi publik dengan baik bisa memiliki banyak keuntungan, jalanan tidak macet, polusi berkurang, pemborosan bahan bakar ditekan, dan kota bisa lebih layak huni. Tapi tentu saja ini berat, tapi bukan mustahil.

Tuduhan bahwa masyarakat perkotaan bebal dan egois karena tak mau memakai transportasi publik sebenarnya agak keterlaluan. Tata kelola kota yang berantakan membuat akses terhadap jalan dan transportasi publik berkelindan. Kondisi angkutan umum yang rusak, padat, tidak aman dan tidak nyaman membuat penggunanya merasa jengah. Kejahatan seksual di transportasi publik tentu melahirkan trauma, akibatnya pengguna perempuan merasa tak aman menggunakan angkutan umum. 

Memiliki mobil pribadi di Jakarta adalah pilihan rasional, ia relatif aman, nyaman, dan pada satu titik juga menunjukan gengsi. Namun jika ada ratusan ribu orang yang berpikir sama, maka kemacetan adalah salah satu akibat logis. Maka kesadaran kolektif bisa dimunculkan untuk menekan pihak yang paling punya kuasa dalam mengatur buruknya tata kelola kota. Yaitu pemerintah. Alih alih memprotes pelaragan ojek, mengapa kita tidak menekan pemerintah untuk melahirkan produk transportasi yang aman dan nyaman? 

Kesadaran kolektif itu penting untuk menekan pemerintah membuat kebijakan yang pro pada kepentingan publik. Selain itu perlu ada kesepahaman bahwa kita hidup di kota yang sama dan perlu berjuang bersama sama. Menyandarkan diri pada Organda atau ojek berarti mengamputasi wewenang pemerintah. Kita akan selamanya diperlakukan sebagai konsumen alih alih warga negara. Padahal, kita tahu, kita telah membayar pajak dan semestinya kita menerima fasilitas publik yang baik. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!