LBH Jakarta: Hentikan tindak kekerasan terhadap mahasiswa Papua

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LBH Jakarta: Hentikan tindak kekerasan terhadap mahasiswa Papua

ANTARA FOTO

"Presiden Jokowi harus segera bertindak. Apakah tunggu ada banjir darah dulu baru ambil tindakan?"

JAKARTA, Indonesia – (UPDATED) Para mahasiswa Papua di Yogyakarta kini hidup di bawah tekanan. Sejak Jumat, 15 Juli, organisasi masyarakat dan kepolisian daerah setempat mengepung asrama tempat mereka berdiam.

Koordinator Mahasiswa Papua Jawa dan Bali Jefry Wenda menceritakan kondisi kawan-kawannya di kota pelajar yang hingga saat ini tak bisa meninggalkan asrama. Bahkan, untuk membeli bahan makanan yang sudah menipis saja tidak diperbolehkan.

“Saat ini mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Cuma bisa mendengar cacian dan hinaan yang diteriakkan aparat dan ormas,” kata Jefry di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Sabtu, 16 Juli.

Kondisi saat ini, masih ada 7 truk kepolisian yang berjaga di sekitar Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta . Beberapa mahasiswa dan warga juga dikenakan wajib lapor. Satu orang bernama Obi Kogaya bahkan ditetapkan sebagai tersangka lantara dianggap melakukan penghinaan terhadap pejabat.

Pengacara LBH Jakarta, Veronica Koman, mengatakan aparat memang melarang mahasiswa meninggalkan asrama. Bagi yang nekat keluar, akan ditangkap karena dianggap melawan.

Bagi dia, aksi ini sudah keterlaluan. “Masa orang yang mau makan dihadang dan ditangkap, apa lagi itu adalah rumah mereka. Orang di penjara saja masih diberi makan. Kenapa polisi kita seperti itu,” kata Veronica.

Bahkan, bantuan makanan yang dikumpulkan oleh masyarakat Yogyakarta dan Palang Merah Indonesia (PMI) juga tidak diperbolehkan masuk. Saat ini, kata Vero, para mahasiswa Papua hanya bergantung pada persediaan air putih.

Diwarnai tindak kekerasan

Selain tindakan represif, sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai pengepungan. Aparat bahkan menutup mata saat Obi Kogoya, salah satu mahasiswa, dianiaya oleh organisasi masyarakat yang turut mengepung asrama.

Puluhan orang berseragam Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia dan Paksi Katon ikut berdemonstrasi di depan asrama pada Jumat lalu.

“Aparat hanya menonton dan ikut mengerubungi, ada buktinya di video yang banyak beredar,” kata Veronica.

Tak berhenti pada cacian dan penutupan akses makanan. Rupanya, ormas yang bersangkutan juga mengintimidasi para mahasiswa dan warga sekitarnya dengan senjata tajam. Jefry mengatakan, kawan-kawannya menerima hinaan seperti “anjing, babi” dan kata-kata melecehkan lain bernada rasialis.

Dua sepeda motor milik Obi dan mahasiswa lainnya, Debi, juga disita secara sewenang-wenang oleh aparat. Berdasarkan kronologi dari LBH, pelaku penyitaan adalah polisi berpakaian preman.

Aksi main hakim sendiri, atau vigilante ini, juga mendapat pembiaran dari aparat. Untuk itu, LBH mengecam keras peristiwa ini.

‘Presiden jangan tutup mata’

LBH Jakarta menyerukan supaya Presiden Joko Widodo, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, meminta Kepolisian dan TNI untuk menghentikan tindakan represif terhadap masyarakat dan mahasiswa Papua di mana pun.

Presiden Jokowi harus segera bertindak, mau tunggu sampai kapan lagi. Apakah tunggu ada banjir darah dulu baru ambil tindakan,” kata Veronica. Indonesia yang menyebut diri sebagai negara demokrasi, seharusnya membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa dan masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi mereka. 

Mereka juga meminta Sultan Hamenkubuwono X, selaku gubernur Yogyakarta, untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan HAM. Kapolda DIY Brigjen Pol. Prasta Wahyu Hidayat untuk menindak tegas aparat yang melakukan kekerasan dan kesewenang-wenangan. “Juga bubarkan pasukan aparat keamanan dan kelompok reaksioner dari asrama dan sekitarnya,” lanjut Veronica.

Terakhir, mereka meminta supaya kepolisian membebaskan 11 orang yang dikenai wajib lapor dan Obi yang menyandang status tersangka

Polda Yogyakarta bantah tindak kekerasan

Sementara, juru bicara Polda Yogyakarta, Anny Pudjiastuti, membantah telah melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa Papua. Justru menurut Anny, ada dua petugas polisi yang dipukul oleh mahasiswa Papua dengan menggunakan senjata tajam. 

“Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 8 orang itu, satu terbukti memukul dengan senjata tajam. Itu pun setelah diproses tidak kami tahan, hanya dikenai wajib lapor 2 kali dalam sepekan,” ujar Anny melalui pesan pendek kepada Rappler pada Minggu, 17 Juli. 

Anny juga mengimbau kepada publik agar tidak mudah percaya terhadap beredarnya foto-foto mengenai aksi kekerasan di media sosial. Dia menjelaskan semua foto itu tidak benar adanya alias hoax. 

“Rekayasa foto bisa terjadi saat ini dengan kecanggihan teknologi informasi. Di Yogyakarta tidak pernah ada kejadian (kekerasan) itu,” katanya lagi. 

Lalu, bagaimana dengan adanya pernyataan dari mahasiswa Papua yang menyebut tidak ada akses untuk membeli makanan ke luar asrama, karena lokasi tersebut dikepung oleh aparat? Anny mengulangi kembali jawaban Kabag Ops Kompol Sigit Hariyadi yang isinya kalimat tersebut hanya dilebih-lebihkan. 

“Justru dari pihak kepolisian membolehkan mereka keluar. Kami malah mengimbau mereka untuk keluar dari asrama, sebab aksi mereka tidak memperoleh izin dari kepolisian,” tutur Anny. 

Polisi berdalih sengaja memberikan pengamanan yang lebih karena mahasiswa Papua akan berbuat makar dengan turun ke jalan sambil membawa simbol Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pihak kepolisian menegaskan situasi Yogyakarta tetap aman dan kondusif pasca kejadian di depan Asrama Papua. 

“Silahkan masyarakat Yogyakarta beraktivitas seperti biasa,” katanya.

Insiden ini berawal dari rencana Aksi Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat dan telah digelar sejak Rabu, 13 Juli. Mereka menggelar panggung budaya, mimbar bebas, dan aksi damai hingga hari Sabtu.

Acara tersebut berkaitan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) di Honiara, Solomon Island yang digelar pada 14-16 Juli. Salah satu agenda dari KTT tersebut yakni membahas keanggotaan bagi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Organisasi itu ingin menjadi anggota penuh kelompok negara MSG.

Aksi itu juga bertepatan dengan peringatan 47 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 14 Juli. – dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!