Pernahkah kamu jatuh cinta pada Jakarta?

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pernahkah kamu jatuh cinta pada Jakarta?

EPA

Luapan air, kemacetan, lampu merah, dan hujan yang basah di Jakarta adalah puisi. Ia adalah puisi bagi mereka yang mengerti.

Jakarta adalah ibu yang kelelahan melihat pola anak anaknya yang terlalu nakal. Kemacetan, polusi, banjir, dan segala kriminalitas di dalamnya tidak membuat anak-anak yang tinggal Jakarta menjadi kapok. Barangkali kota ini pelan-pelan telah mengajarkan penduduknya untuk menjadi bebal. Menjadi kebal terhadap penderitaan yang ditumpuk dari hari ke hari. Ia menjadi candu yang membuat penduduknya menjadi masokis, menyukai luka juga penderitaan.

Tapi pernahkah kamu jatuh cinta pada Jakarta? Pada setiap detik kebisingan dan rasa panas peluh yang bercampur aroma bacin keringat beribu orang? Pada hujan yang turun dan meluapkan sampah juga beragam penyakit dari kulit tikus-tikus selokan yang menjijikan? Aku pernah. Barangkali pada satu hari, ketika semua itu adalah metafor, kota ini adalah mercusuar hidup yang memberikan mereka yang jatuh cinta pada cahaya.

Untuk kemudian dibuat hancur menabrak karang. (BACA: Fast Facts: DKI Jakarta)

Tapi bukankah Jakarta adalah kota yang mengajarkan kita tentang cara bertahan hidup? Tentang cara menghadapi penagih hutang, penggusuran, demonstrasi, kemacetan, dan juga patah hati. Ada terlalu banyak hal yang diberikan kota ini, namun gagal dipahami dan disyukuri karena buta. Barangkali Anda perlu naik kereta di pagi hari, merasakan desakan dari kiri, kanan, depan, dan belakang. Perihal memandangi wajah kantuk yang berdiri sambil terpejam, mengingat kasur yang beberapa saat lalu ia tinggalkan.

Dalam kereta itu kita belajar tentang rimba raya. Dari Stasiun Bogor sampai Stasiun Jakarta Kota. Mereka yang menghindari hingar bingar dengan merayakan kesunyian dalam kantuknya. Mengutuki rasa lelah yang merambati punggung dan tangan yang mulai kebas karena harus bergelantungan di kereta api. Wajah-wajah murung itu akan mengajarkanmu rasa bersyukur. Tentang bagaimana semestinya hidup dijalani, sepedih dan sekeras apapun itu.

Atau kau mungkin bisa belajar tentang kekacauan dan keteraturan di Blok M. Terminal dan muara segala keterserabutan manusia. Mereka yang mengais harapan dan mereka yang kehilangan harapan. Mereka yang belajar tentang arah dan tujuan di Jakarta. Mereka yang bergelantungan di Metro Mini dan Kopaja. Mereka yang mesti bertahan untuk tidak tertidur di Mayasari Bakti. Mereka yang harus berebut naik dan berebut turun.

Apa yang lebih puitis dari Blok M? Ia adalah jagat pramudita para penghuninya. Sebuah inti yang mengajarkanmu sedikit tentang wajah Jakarta. Bahwa di kota ini kau akan berujung menjadi dua hal, pemenang atau pecundang. Mereka yang hanya mampu berkhayal atau mereka yang menjalani mimpi-mimpinya. Barangkali di sudut trotoar dan macetnya aspal akibat pembangunan jalan tol yang tak berguna itu, kamu akan belajar tentang kehilangan.

Wajah-wajah pengguna kereta Jakarta setiap harinya. Foto oleh EPA

Cinta di Jakarta, seperti kata WS Rendra, barangkali seperti orang-orang miskin di jalan. Mereka yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian. Tapi barangkali kamu bisa merayakan cinta dengan cara yang agung dan kudus di Jakarta. Bukan dengan meratap dan berdoa di rumah-rumah ibadah. Tapi di angkutan-angkutan umum, di tengah keramaian, dan di antara segala kesumpekan yang kamu rasakan.

Cinta di Jakarta adalah merayakan kesabaran. Kamu yang mesti menempuh Jalan Kapten Tendean untuk menuju Santa, harus berhadapan dengan kebisingan, jalan sempit, matahari terik, dan kemacetan yang mengular. Kamu seorang pemuda ibu kota, ingin tampil prima di Pasar Santa, harus mengarungi jalan sempit itu. Pembangunan, seperti juga menjadi gaul, butuh pengorbanan. Jalanan yang menyempit dan keringat yang mengalir deras.

Pernahkah kamu duduk di bagian belakang TransJakarta? Ketika hujan dan saat macet terjadi? Ketika air hujan di kaca jendela TransJakarta berubah menjadi fragmen-fragmen cahaya yang bulat namun rapuh? Ketika AC kendaraan itu semakin dingin dan kamu merenungi hidup yang kepalang mengerikan? Tentang perpisahan dan juga tentang kehilangan? Di bagian belakang TransJakarta itu kamu akan menemukan kesalihan yang gagal diberikan oleh doa.

Cobalah duduk di bagian belakang TransJakarta. Lalu dengarkan segala lagu kesukaanmu. Jika kau tak punya, cobalah mendengar Sepatu oleh Tulus atau Coba Katakan dari Maliq and D’Essentials. Tidak perlu terlalu keras, secukupnya saja, sebagaimana telingamu mendengar dan orang di sebelahmu tidak mampu menikmatinya. Sesap perlahan-lahan suara yang datang, maknai liriknya lalu pandangi kaca buram TransJakarta dan langit malam yang penuh hujan.

Jakarta adalah sebuah kota yang menguatkanmu. Barangkali ketika kau benar-benar tertekan dan butuh sedikit rimbun tanaman, Taman Suropati dan Taman Ayodya bisa menjadi penyejuk. Di sini kamu bisa percaya bahwa kemanusiaan di Jakarta masih ada. Bahwa tahu gejrot dan segelas es Nutri Sari bisa jadi cemilan yang membebaskan. Ia tidak perlu mahal. Ia hanya perlu dinikmati dengan orang yang tepat. Orang yang mencintaimu tanpa pamrih dan tanpa syarat.

Jakarta bukan sekedar barisan beton bernama mall dan perkantoran. Jakarta lebih daripada itu. Kamu akan belajar dengan sangat keras bahwa Jakarta adalah nama lain dari belantara perpisahan dan pertemuan. Barangkali juga ia mengajarkanmu untuk berdiri tegak setelah jatuh dan dikalahkan keadaan. Kota ini akan mengajarkanmu untuk memilih. Disakiti dan lantas berdiri. Atau terlena akan manis cinta dan berujung kecewa.

Kamu tidak perlu menangis. Jakarta bukan kota untuk mereka yang suka meratap dan merayakan melankolia. Kota ini adalah bau keringat dan mata yang lelah. Datanglah ke Tanah Abang atau Pasar Senen untuk merayakan ketergegasan. Mereka yang tidak punya waktu untuk menangisi hal-hal yang sentimentil. Kamu akan belajar untuk menjadi kuat, suka atau tidak suka.

Anak-anak bermain di sebuah daerah kumuh dengan latar belakang bangunan gedung tinggi di Jakarta. Foto oleh EPA

Seno Gumira Ajidarma pernah berkata kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang gagal diredamnya. Ia adalah dua paradoks yang saling menyembunyikan. Rumah-rumah mewah di Menteng barangkali tak akan pernah merasakan banjir, sementara daerah lain mesti sabar menerima banjir sebagai keseharian di musim hujan. Pembangunan tidak menghentikan manusia untuk belajar menghargai alam, tidak di Jakarta dan di manapun di dunia.

Pahamkah kamu mengapa aku mendatangi kota ini? Aku, seperti juga sekian ratus ribu pendatang, berharap memperoleh penghidupan yang lebih baik. Sebagian dari mereka memimpikan pekerjaan yang mapan, sebagian yang lain menjadi pengusaha, sebagian kecil ingin menjadi penguasa, dan aku hanya ingin menggenapi janji perihal kebersamaan. Sayangnya, di Jakarta aku belajar, tidak ada tempat untuk melankoli dan juga remeh temeh seperti cinta.

Barangkali Seno benar, Jakarta tidak gemerlapan. Jakarta itu kelam, dan semakin kelam karena terlalu sedikit di antara mereka yang survive mencoba berbuat sesuatu untuk lingkungan yang semakin tenggelam dalam kemiskinan berkepanjangan. Kemiskinan menjadi atraksi, ia komoditas, sesuatu yang dipelihara agar penguasa punya alasan untuk membangun, memperbaiki, dan mengentaskan sesuatu. Padahal Jakarta tidak butuh itu. Jakarta hanya butuh nurani dan akal sehat untuk bisa bangkit.

Di Jakarta beberapa dari kita sedang menunggu untuk jatuh cinta lagi. Sementara yang lain hanya bisa pasrah merelakan kehilangan. Seperti menikmati Jakarta pada musim hujan sambil mendengar lagu Desember-nya Efek Rumah Kaca. Ia menghadirkan imaji, barangkali sebuah janji. Seperti keriuhan pertikaian yang tidak bisa benar-benar dihentikan. Harapan yang tidak diperjuangkan dan hanya dibicarakan. Seperti pertemuan yang tidak direncanakan.

Jakarta, seperti yang sudah kukatakan, adalah seorang ibu yang lelah. Tapi seperti seluruh ibu yang maha hebat, ia selalu memberi kehangatan yang tidak kamu bayangkan. 

Di bagian belakang TransJakarta itu, kamu akan belajar untuk merelakan. Barangkali kamu akan kembali menemukan. Di jalan-jalan macet antara Cawang hingga Cengkareng. Luapan air, kemacetan, lampu merah, dan hujan yang basah adalah puisi. Ia adalah puisi bagi mereka yang mengerti. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!