Komnas HAM minta polisi telusuri pelanggaran pada aksi pembubaran kebaktian di Sabuga

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komnas HAM minta polisi telusuri pelanggaran pada aksi pembubaran kebaktian di Sabuga
Ridwan Kamil menegaskan kegiatan kebaktian secara legal diizinkan dilakukan di Gedung Sabuga

BANDUNG, Indonesia – Komnas HAM menduga telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan ormas Pembela Ahlul Sunnah (PAS) terkait aksi pelarangan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Sabuga Kota Bandunng pada tanggal 6 Desember lalu. Untuk itu, Komnas HAM meminta aparat kepolisian kota Bandung melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut.


“Merujuk pada UU Nomor 9 tahun 1998, intinya di sana (dikatakan) penyampaian pendapat itu tidak dibenarkan di tempat ibadah dan itu ada sanksi pidananya. Jadi, kalau ada pendapat tidak ada pelanggaran hukum di sana, kami (malah) menduga ada pelanggaran hukum di sana,” ujar Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM, Jayadi Damanik usai menggelar pertemuan tertutup dengan Walikota Bandung Ridwan Kamil di Pendopo Kota Bandung, Jalan Dalem Kaum, pada Jumat 9 Desember.

Khusus Kota Bandung, pelaksanaan UU tersebut juga diperkuat dengan diterbitkannya surat edaran Walikota Bandung melalui camat dan aparat perangkat pemerintah daerah setempat.

Kepolisian juga, lanjut Jayadi, bisa memproses kasus pelarangan ibadah tersebut dengan menggunakan pasal 175 dan 176 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Jadi (pasal) 175 (berisi) merintangi, (pasal) 176 (berisi) membuat kegaduhan. Oleh karena itu, apakah unsur pidana merintangi itu terpenuhi, apakah unsur pidana membuat kegaduhan itu terpenuhi, silakan kepolisian menjelaskannya kepada masyarakat,” dia menambahkan.

Permintaan agar kepolisian menyelidiki kasus pelarangan KKR Bandung merupakan satu dari 6 poin pernyataan sikap Komnas HAM atas kasus yang mencoreng toleransi di Kota Bandung ini. Berikut pernyataan lengkap mereka:

1. Meminta kepada Kepala Kepolisian Resor Kota Bandung untuk memberikan penjelasan tentang kebenaran informasi tersebut

2. Menyesalkan apabila ada tindakan pelarangan tersebut dan menyatakan bahwa hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan menjalankan ibadah yang dijamin Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah RI melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pemerintah Kota Bandung dan aparat kepolisian semestinya tidak membiarkan pelarangan tersebut dan mencegah pihak-pihak tertentu mengganggu kegiatan keagamaan pihak lain

3. Menyatakan bahwa warga negara tidak boleh dibatasi kebebasannya menjalankan ibadah yang dilakukan secara damai. Pembatasan hanya dapat dilakukan oleh negara dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum serta tidak boleh dilakukan secara diskriminatif

4. Meminta kepada aparat kepolisian melakukan penyelidikan dan atau penyidikan terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku pelarangan kegiatan KKR tersebut dengan mengedepankan azas praduga tidak bersalah dan persamaan di muka hukum. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dan atau 176 KUH Pidana.

5. Meminta kepada aparat kepolisian Kota Bandung untuk menjamin terciptanya rasa aman bagi setiap warga masyarakat untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya

6. Mendorong pemerintah Kota Bandung untuk meningkatkan rasa saling menghormati dan menghargai antar umat beragama dengan mengintensifkan dialog dan kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di Kota Bandung.

Jayadi mengatakan pernyataan sikap Komnas HAM itu juga ditembuskan ke pihak kepolisian. Dia berharap hal itu bisa menjadi perhatian semua pihak.

“Harapan Komnas HAM, ini menjadi perhatian tidak hanya kepolisian, tapi kepada semua pihak karena ini bagian dari penjelasan terhadap permasalahan tersebut,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Walikota Bandung, Ridwan Kamil menegaskan, tidak boleh ada kegiatan ibadah yang dibatasi. Dia mengingatkan kembali bahwa Kota Bandung adalah kota yang didirikan dari keberagaman. Karena itu, Ridwan menegaskan, siapapun yang akan merusak keberagaman dan toleransi di wilayahnya harus dilawan.

“Siapa-siapa yang bermaksud merusak keberagaman dan toleransi dan bermaksud menyampaikan perbedaan dengan cara-cara melanggar undang-undang, itu tentunya harus dilawan bersama-sama oleh masyarakat dan sistem kenegaraan di Indonesia, khususnya di Kota Bandung,” katanya pria yang akrab disapa Kang Emil itu.

Ridwan sekaligus menjelaskan, penggunaan Sabuga sebagai tempat ibadah tidak melanggar aturan. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang dipakai dasar hukum para pendemo untuk menghentikan kegiatan KKR, menurut Ridwan, keliru. Aturan itu untuk mengatur rumah ibadah dan bukan tempat ibadah.

“Rumah ibadah itu sifatnya permanen dan fungsinya hanya untuk ibadah, itu maksudnya gereja. Jadi KKR itu boleh dilakukan di Sabuga, di gedung pertemuan dan sebagainya. Jadi argumentasi awal dari demo-demo itu, yang menyatakan gara-gara gedungnya tidak pada tempatnya, itu keliru,” kata Ridwan.

Meski secara teknis kasus pelarangan kegiatan KKR di luar kendali dirinya sebagai walikota, namun secara moral, Ridwan merasa bertanggung jawab. Maka, politisi dari Partai Gerindra itu meminta maaf atas insiden tersebut dan mengusulkan agar kegiatan ibadah menjelang perayaan Natal itu kembali digelar.

“Secara moril saya harus bertanggung jawab. Karena itu, saya meminta maaf dan akal sehat mengatakan ibadah tidak boleh dibatasi, maka kami mengusulkan agar kegiatan ibadah diganti, kemungkinan tanggal 20an (Desember), tempatnya sama di Sabuga. Jadi diulang proses ibadah KKR,” ujarnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!