Kisah Alina yang menyukai pria asing dan menolak nilai tradisional

Amru Sebayang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah Alina yang menyukai pria asing dan menolak nilai tradisional
"Mereka lebih memberi kebebasan kepada perempuan”

JAKARTA, Indonesia – Seperti halnya kelahiran dan kematian, tidak ada yang bisa menentukan siapa pasangan hidup seseorang. Tapi setiap orang bisa saja memiliki tipe pasangan yang ideal.

Bicara soal selera dan tipe ideal, setiap orang pasti punya kriteria masing-masing. Termasuk Alina (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Depok, Jawa Barat.

Kepada teman-temannya, sejak awal Alina sudah gamblang berbagi cerita soal tipe pasangan favoritnya. Alina memiliki kecenderungan menyukai pria asing alias bule.

Berawal dari Jonas Brother

Alina berbeda dengan perempuan kebanyakan. Semasa SMP ia sudah mulai berhubungan dengan orang asing dari berbagai belahan dunia melalui komunitas fans Jonas Brother, sebuah band yang terkenal berkat film Camp Rock.

Dari sana, hobinya untuk mengenal orang-orang asing semakin menebal. Ini juga ditambah dengan semangatnya mempelajari bahasa Inggris. Hingga suatu waktu, secara tidak sadar ia telah menjalin hubungan jarak jauh dengan pria asing layaknya sepasang kekasih. Sayangnya, karena satu dan lain hal, ia kemudian jarang berkomunikasi dengannya lagi.

“Awalnya dulu LDR-an sampai dua tahun, tapi kemudian bosan karena enggak pernah ketemu langsung. Pernah dia janji datang ke sini. Eh tapi, enggak jadi-jadi,” tuturnya.

Menginjak bangku SMA, Alina semakin aktif berjejaring dengan orang-orang asing. Salah satu caranya adalah dengan mengikuti les percakapan bahasa Inggris dengan orang asing yang ditawarkan oleh temannya kala itu.

Ini merupakan cita-cita Alina semenjak SMP. Ia ingin secara intensif melakukan percakapan dengan pria asing untuk menambah kepercayaan dirinya. Dari sini ia cukup pede untuk berkomunikasi dengan siapaun, mulai dari Skype hingga InterPals ia gunakan untuk bertemu orang-orang baru, termasuk untuk bertemu calon kekasih.

Merasa lebih dihormati

Alina sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan pria asing. Yang pertama adalah ketika ia masih duduk di bangku SMP. Tetapi baginya, yang paling berkesan adalah hubungannya dengan seorang pria Finlandia.

Ini terjadi seusai Alina magang di Bintan beberapa tahun lalu. Karena jarak mereka yang jauh, kendala komunikasi di antara mereka menjadi “aneh”. “Karena waktu di sini sama di sana (Finlandia) beda 4-5 jam, kalau gue lagi kelas di jam 12-an dia baru bilang ‘Good morning’. Kalau sudah begitu gue kasih tahu (sedang di kelas) dan kami cari waktu lain (untuk chatting).”

Sayang, hubungan itu harus usai di tengah jalan karena mereka berdua tidak menghendaki hubungan jarak jauh terus menerus. Padahal, menurut Alina, “Kami berdua sudah hafal masing-masing seperti apa.” Meski begitu mereka berdua masih tetap aktif berkomunikasi dan berteman baik hingga sekarang.   

Pengalaman lain yang juga berkesan baginya adalah ketika ia pergi ke Gili Trawangan dengan seorang pria Jerman tahun lalu. Di sana mereka bertemu dengan perempuan-perempuan asing yang cantiknya mendekati sempurna.

Alina pun merasa minder dengan keadaan tersebut hingga pada akhirnya ia bertanya pada sang pria, “Pasti kamu nyesel ya ke Gili sama aku yang gemuk, harusnya kamu sama cewek-cewek latin itu tuh,” tuturnya menirukan kegelisahan waktu itu.

Si pria hanya menggeleng dan berkata, “Just shut up and be confident.” Kalimat itu sontak membuat Alina merasa senang sekaligus bangga kala itu, pria yang dikasihinya ternyata menaruh hormat yang begitu besar pada dirinya. Satu lagi alasan menyukai pria bule.

Pikiran lebih terbuka

Alina adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Kedua kakak laki-lakinya sudah bekerja, namun belum mapan. Sementara itu, sang ibu adalah single mother karena bercerai dengan ayah Alina semenjak ia berusia tujuh tahun.

Di rumah ia harus berperan ganda, ketika kakak-kakaknya pulang kerja dan ibunya belum, ia harus mejadi ibu sekaligus adik bagi kakak-kakaknya. “Pokoknya pekerjaan  yang dilakukan ibu-ibu di rumah. Nah, itu yang juga gue lakuin setiap hari.”

Pulang kuliah ia harus membereskan segala hal di rumah, sementara kedua kakaknya yang lain bisa bersantai-santai. Padahal, ia juga perlu waktu untuk beristirahat dan mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Belum lagi jika ia mengambil kerja part-time atau magang, rasa lelah bisa berlipat-lipat ganda.

Ia sangat membenci perlakukan seperti ini. Menurutnya, tidak adil perempuan harus selalu berada di bawah laki-laki, bahkan untuk urusan seremeh mengurus rumah. Ini pula yang mendorongnya menyukai lelaki asing. “Mereka lebih memberi kebebasan kepada perempuan.”

Mereka (pria asing), bagi Alina, berpikiran terbuka dan tidak pernah membatasi perempuan dalam peran sosial tertentu. Termasuk dalam hal hubungan, laki-laki lokal, bagi Alina, ingin lebih dominan dari sang wanita, dan pada akhirnya justru tidak menghargai sang wanita.

“Kalau sudah berhubungan (dengan lelaki lokal), kebanyakan akan bilang ‘Kamu enggak boleh ini atau itu’. Padahal yang kita lakukan enggak salah.”

Di samping itu, karakter fisik Alina yang tinggi besar juga mempengaruhi dirinya dalam memilih pasangan. “Tubuh gue juga terlalu besar untuk ukuran wanita Asia. Dan ada pengalaman yang kurang enak juga karena itu. Meskipun itu bukan alasan utama juga (menyukai bule) sih.”

Sampai sekarang Alina masih berteman baik dengan pria Jerman yang mengajaknya ke Gili Trawangan. Meski begitu Alina ingin hubungan mereka lebih dari teman. Alina menyimpan mimpi untuk pindah ke Jerman, menikah dan menetap di sana.

-Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!