Into The Light hadir untuk penyintas kehilangan bunuh diri

Dzikra Fanada

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Into The Light hadir untuk penyintas kehilangan bunuh diri
Into The Light tidak hanya fokus pada pencegahan bunuh diri, tapi juga bagi mereka yang ditinggalkan

 

JAKARTA, Indonesia — Banyaknya pemberitaan mengenai bunuh diri lewat media daring pada 2013 lalu membuat Benny Prawira mencetuskan ide untuk membentuk sebuah komunitas yang peduli pada pencegahan bunuh diri. 

Perjalanan menuju pembentukan komunitas tidak terjadi langsung, butuh tahapan yang harus dilalui. Awalnya pada 2013, Benny bersama teman-temannya mengadakan seminar untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri yang jatuh pada 10 September. Usai acara, ia didatangi oleh peserta yang ingin bertanya lebih lanjut mengenai pencegahan bunuh diri.

Dari sana, Benny melihat bahwa ada kebutuhan yang coba ia penuhi. Tahun berikutnya, ia meneruskan keseriusannya membentuk Into The Light.

“Waktu 2014 sampai 2015, kami membentuk struktur dan merapikan segala sesuatunya. Pada 2016, kami mulai untuk seleksi orang,” kata Benny kepada Rappler.

“Jika kematian karena bunuh diri telah terjadi, duka yang besar akan dirasakan oleh orang-orang yang kehilangan. Ada trauma yang mereka rasakan. Banyak dari mereka yang merasa sedih, bersalah, marah, dan semua perasaan tercampur menjadi satu.”

Ia sendiri menginginkan anggota komunitas merupakan orang-orang yang memiliki satu pandangan dengan Into The Light. “Kita agak perfectionist kali ya, total anggota yang aktif saat ini ada 26 orang,” ujarnya.

Untuk masuk dalam komunitas ini harus melalui tahap wawancara dan training. Ada 16 pertemuan training, dan calon anggota hanya diperbolehkan untuk empat kali tidak hadir.

Dalam proses training sendiri, ada banyak hal yang komunitas ini berikan. Pada sesi awal, fokus training lebih menuju kepada berpikir kritis, metode penelitian, dan kemampuan menulis. 

Setelah itu, akan ada training untuk mengenali diri dan juga self-care. Lalu masuk pada hal-hal yang lebih serius, seperti masalah keberagaman, komunikasi dengan orang yang berbeda, dan juga mengatasi bias. 

Proses training yang harus dilalui memang terlihat panjang. Namun, dari sini, calon peserta akan mempelajari banyak hal yang bermanfaat. 

“Di 2016, ada profesor dari Singapura yang memberi training ke kita. Kebetulan dia ada di Jakarta, jadi sekalian aja,” kata Benny.

Peduli pada keluarga yang ditinggalkan

Ada lima divisi yang bekerja dalam komunitas ini. Pertama adalah divisi riset. Divisi ini membuat penelitian mengenai bunuh diri. Benny sendiri mengatakan bahwa jarang ada penelitian di Indonesia yang memakai variabel bunuh diri. Namun, hal itu yang malah difokuskan dalam komunitas ini.

Kedua ada divisi human resource, lalu ada fundraising, dan juga divisi media. 

Selain itu, ada pula divisi tugas yang dibagi dalam tiga gugus. Tugas pertama merupakan pencegahan bunuh diri dalam level makro. Misalnya kebijakan, intervensi sosial, dan juga mengenai edukasi.

Kedua mulai masuk dalam crisis intervention. Tahap ini lebih fokus pada proses mendengarkan alasan mereka yang depresi dan menginginkan untuk mengakhiri hidup. Dalam proses ini, banyak emosi yang bergejolak karena setiap individu memiliki sumber depresi yang berbeda-beda. 

Lalu yang terakhir adalah pascakematian. Jika kematian karena bunuh diri telah terjadi, duka yang besar akan dirasakan oleh orang-orang yang kehilangan. Bisa keluarga, teman, atau pun kekasih. Mereka yang telah ditinggalkan ini disebut dengan penyintas kehilangan bunuh diri.  

Orang yang ditinggalkan juga memiliki tekanan yang tidak kalah besar. Ada trauma yang mereka rasakan hingga emosinya sangat tebal. Banyak dari mereka yang merasa sedih, bersalah, marah, dan semua perasaan tercampur menjadi satu. 

“Crisis intervention fokus pada proses mendengarkan alasan mereka yang depresi dan menginginkan untuk mengakhiri hidup. Dalam proses ini, banyak emosi yang bergejolak karena setiap individu memiliki sumber depresi yang berbeda-beda.”

Bahkan menurut riset, duka tersebut sangat kompleks dan lebih kompleks dari pada duka akibat kehilangan lainnya. 

“Sayangnya di Indonesia, jarang ada fokus pada mereka yang kehilangan,” ujar Benny.

Di Indonesia, menurut Benny, belum banyak pihak yang juga mengulurkan tangan bagi mereka yang kehilangan kerabat akibat bunuh diri. Padahal, mereka ini yang juga rentan untuk bunuh diri. Untuk itu, komunitas ini juga hadir untuk penyintas kehilangan bunuh diri. 

Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia

Untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia bulan depan, Benny dan kawan-kawan di komunitas Into The Light berencana untuk membuat acara Light a Candle yang merupakan tradisi global saat 10 September nanti. 

“Tapi masih rencana, kami harus liat kondisi nantinya,” kata Benny.

‘Light a Candle’ sendiri merupakan acara bincang-bincang dengan mereka yang ditinggalkan. Di sana, kawan-kawan dari komunitas juga akan menyampaikan pesan untuk mencegah bunuh diri supaya angka bunuh diri bisa berkurang. 

Namun, Benny mengaku bahwa komunitas ini juga memiliki opsi lain untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri sedunia tahun ini. “Lalu, kami sebenarnya pengin bikin kayak semacam lari,” kata Benny.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang komunitas Into The Light, kunjungi situsnya intothelightid.wordpress.com. Follow mereka di:

—Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!