Revisi UU MD3 ‘kemunduran demokrasi’

L Cui San

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 menyoroti pemunculan atau penghilangan pasal yang dipandang kontraproduktif dengan upaya Parlemen untuk lebih menyuarakan aspirasi masyarakat.

INDONESIA'S LEGISLATURE. Prabowo Subianto's coalition controls 2/3 of the House of Representatives. File photo by EPA

JAKARTA, Indonesia – Perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi serta DPD, atau dikenal dengan UU MD3, menuai kritik. Kelompok masyarakat madani, pakar hukum, dan warga menyuarakan agar produk hukum tersebut dibatalkan. Pasalnya, undang-undang ini dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi.

Kritik, misalnya, disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3. Koalisi ini menyoroti pemunculan atau penghilangan pasal yang dipandang kontraproduktif dengan upaya parlemen untuk lebih menyuarakan aspirasi masyarakat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 menyoroti pemunculan atau penghilangan pasal yang dipandang kontraproduktif dengan upaya parlemen untuk lebih menyuarakan aspirasi masyarakat. 

Setidaknya, ada lima poin yang menjadi catatan kritis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3.

1. Parlemen menambah tugas MPR terkait penyerapan aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Roy Salam dari Indonesia Budget Center mengatakan, penambahan ini menyebabkan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara semakin meningkat.

2. Penghilangan sejumlah pasal yang memerhatikan keterwakilan perempuan. Pasal itu di antaranya adalah pasal 95 yang mengatur komposisi pimpinan komisi; pasal 101 terkait komposisi pimpinan badan legislasi; pasal 106 tentang komposisi pimpinan badan anggaran; pasal 119 tentang komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP); pasal 125 menyangkut komposisi pimpinan Badan Kehormatan dan; pasal 132 terkait komposisi pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

3. Munculnya hak imunitas anggota dewan, seperti yang tercantum pada Pasal 245. Pasal ini menyatakan bahwa penyidik, baik dari kepolisian dan kejaksaan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Hal ini dinilai berpotensi menjadi celah untuk menghilangkan alat bukti.

Pasal ini juga dinilai menguntungkan para anggota dewan. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip equality before the law. Pasal ini membuat anggota DPR tidak mudah tersentuh hukum.

4. Keberadaan Pasal 224 yang mengancam independensi anggota Parlemen yang kritis dengan kebijakan yang dibuat para wakil rakyat tersebut. Hak imunitas anggota Parlemen tersebut bisa dicabut.

“Anggota dewan yang menentang arus bisa dikeroyok dengan anggota lainnya,” kata Roy.

5. Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dalam alat kelengkapan DPR. Hal ini, kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, menyebabkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi tidak tajam dan tidak mendetil. 

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya badan khusus yang bertugas menelaah hasil audit BPK, yang kemudian dilekatkan menjadi tugas dan wewenang Komisi. 

Kemunduran

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, mengatakan, produk hukum ini sarat dengan pasal yang mengistimewakan anggota dewan. Ia pun menyebut bahwa UU MD3 sebagai langkah mundur.

Ia menyoroti pasal 245 yang mengharuskan aparat penegak hukum memeroleh izin Mahkamah Kehormatan sebelum memeriksa anggota dewan. Padahal, Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah membatalkan Pasal 36 UU Pemda yang menyatakan bahwa aparat penegak hukum harus mengantongi izin presiden sebelum memeriksa kepala daerah yang tersangkut kasus hukum.

Putusan MK pada tahun 2012 menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Hifdzil mengatakan, parlemen seharusnya belajar dari pembatalan pasal tersebut.

“Ini sebuah kemunduran,” kata Hifdzil.

Masyarakat Tolak UU MD3

Tak hanya kelompok masyarakat sipil madani, warga biasa pun menolak UU yang disahkan pada 8 Juli 2014 tersebut. Penolakan ini, misalnya, disuarakan oleh Melany Tedja melalui petisi online di situs Change.org

Melany menentang UU MD3 yang dinilai mencederai prinsip keterwakilan dan demokrasi di Indonesia. UU MD3 seakan dibuat untuk mempermudah langkah anggota dewan untuk mengontrol kekuasaan di DPR.

“Kami menolak jika hanya dilibatkan saat wakil rakyat mau dipilih lewat Pileg 2014, tapi tidak dilibatkan saat ada perubahan dalam prinsip keterwakilan dan demokrasi yang mendasar dan strategis seperti Revisi UU MD3 ini,” katanya.

Sejak 11 Juli silam, petisi ini telah ditandatangani oleh 60.000 orang. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!