Mempertanyakan Islam moderat di Indonesia

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mempertanyakan Islam moderat di Indonesia

EPA

Pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi harus mampu menjaga harmoni dan kerukunan antar umat beragama, satu hal yang gagal dilakukan mantan Presiden SBY

Reza Aslan, seorang intelektual di bidang agama dan khususnya Islam dari Amerika Serikat yang berdarah Iran, sering menggunakan Indonesia sebagai contoh kasus di berbagai kesempatan wawancara. Ketika nilai-nilai di dalam Islam kembali diserang di tengah meningkatnya kekhawatiran dunia Barat akan ancaman aksi terorisme yang dilancarkan oleh sebuah kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), tokoh-tokoh seperti Aslan seringkali menyebut Indonesia untuk mengingatkan dunia Barat bahwa Islam tidak selalu direpresentasikan oleh negara-negara di Timur Tengah. Indonesia, sebagai negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, sebuah fakta yang secara mengejutkan tidak banyak diketahui oleh masyarakat Barat, dianggap sebagai wajah Islam yang moderat.  

“[Di] Indonesia, perempuan sepenuhnya, 100 persen, setara dengan pria,” ujar Reza di dalam sebuah interview di CNN, baru-baru ini. 

Ketika masyarakat Barat membicarakan soal Islam dan mempertanyakan kebenaran apakah sebagai sebuah agama mempromosikan kekerasan, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kelompok teroris berbasis Islam seperti ISIS dan Al Qaeda, mereka akan langsung membayangkan fakta-fakta mengerikan seperti larangan mengendarai mobil bagi perempuan di Arab Saudi atau berbagai aksi penindasan terhadap kelompok minoritas di Pakistan. 

Namun dengan berbagai perkembangan terakhir di dalam negeri, apakah Indonesia masih layak menyebut dirinya sebagai Islam moderat? 

Apabila kita menilik sejarah, sejatinya memang pertumbuhan Islam di Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Persia, dan Asia Selatan. Selama puluhan tahun, wajah Islam yang damai dan ramah tumbuh subur di Indonesia, di bawah naungan dua organisasi Islam paling berpengaruh di negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Kemunculan Islam garis keras di Indonesia ditandai oleh aksi pengeboman di Bali pada tahun 2002 yang merenggut 202 korban jiwa. Para pelaku ditengerai merupakan bagian dari Jemaah Islamiyah, sebuah organisasi garis keras yang memiliki tujuan untuk membuat sebuah negara Islam di kawasan Asia Tenggara. Jaringan yang sama dituduh sebagai dalang di balik aksi pengeboman tahun 2005, juga di Bali. 

Walau pertumbuhan pergerakan Islam garis keras di Indonesia mengalami pasang surut selama beberapa tahun terakhir, namun keberadaannya, seperti yang disebutkan oleh beberapa ahli, sepertinya menguat secara kualitas.  

Para anggota Front Pembela Islam (FPI), misalnya, organisasi Islam garis keras yang paling terkenal di negeri ini, semakin berani melancarkan berbagai aksi mereka dengan mengatasnamakan agama dan kepentingan orang banyak. Yang terakhir, FPI terlibat di dalam sebuah aksi demonstrasi berujung rusuh menentang penetapan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, sebagai Gubernur Jakarta. (BACA: Demo FPI tolak Ahok berujung rusuh, belasan polisi terluka)

Ada dua hal yang patut dicermati dalam membahas persoalan ini. Pertama adalah ketidakberdayaan pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam membatasi ruang gerak berbagai organisasi Islam garis keras di Indonesia. Dalam berbagai kejadian, pemerintah jutsru terkesan membiarkan aliran ini tumbuh berkembang, menjadikan masyarakat dari golongan ekonomi bawah yang kurang berpendidikan sebagai target anggota baru yang empuk. Sementara itu, aparat keamanan seringkali terlihat tidak bergigi ketika harus berhadapan dengan berbagai organisasi garis keras tersebut, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat luas. 

Hal lain yang patut kita sadari, sebuah ironi sebetulnya, adalah bahwa keberadaan Islam garis keras yang semakin menguat di dalam negeri pada dasarnya merupakan hasil dari demokrasi, suatu hal yang dulu diperjuangkan oleh golongan Muslim moderat di negeri ini. Seperti senjata makan tuan, hak kebebasan berekspresi dijadikan sebagai senjata yang ampuh bagi para organisasi garis keras untuk dapat hadir di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang kita telah saksikan di berbagai kesempatan, para pemimpin organisasi garis keras dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa keberadaan mereka diakui oleh Undang-Undang (UU).

Ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam menyikapi permasalahan ini. Untuk mengembalikan dan mempertahankan citra Islam moderat, yang bermuka ramah, di Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, namun bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. 

Pemerintah harus tegas dan tidak boleh pandang bulu dalam menegakkan hukum, sehingga anggapan publik bahwa aparat keamanan justru berada di balik keberadaan banyak organisasi garis keras bisa dimentahkan. Keberadaan UU Ormas, misalnya, bisa dijadikan sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi organisasi yang tidak patuh terhadap peraturan. Tapi tentu penggunaannya tidak bisa dilakukan secara semena-mena, ada berbagai tahapan yang harus dilaksanakan sebelum sebuah organisasi dinyatakan melanggar. 

Pemerintahan Jokowi juga harus secara aktif merangkul berbagai kalangan, terutama organisasi-organisasi Islam besar di tanah air, untuk bersama-sama turut serta membangun dan mempromosikan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, atau agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua umat manusia. Pemahaman ini harus menjadi dasar pengajaran Islam yang terstruktur dan sistematis, di mana generasi muda Muslim menjadi targetnya.   

Di sisi lain, sudah saatnya kalangan Muslim moderat di negeri ini untuk tidak lagi menjadi the silent majority. Kalangan moderat selama ini terkesan berdiam diri, tidak berani untuk menyuarakan pemikiran dan pendapat mereka karena takut menghadapi tekanan yang dilancarkan oleh berbagai kalangan garis keras. Kalangan muda moderat, misalnya, hanya berani untuk bersuara di media sosial, namun ragu-ragu untuk turun ke jalan dan menunjukkan taring mereka.

Dengan semakin kencangnya aksi-aksi berbau kekerasan yang mengatasnamakan agama, sepertinya sudah saatnya kita bergerak dan tunjukkan kalau kita ada. —Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!