Kolom agama di KTP, pentingkah?

ATA

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kolom agama di KTP, pentingkah?
Pencantuman kolom agama di KTP dinilai akan menjadi sumber diskriminasi bagi minoritas. Tapi menghapusnya juga diprediksi akan memicu protes.

JAKARTA, Indonesia — “Ah, Islam KTP lo!”

Kalimat tersebut sering dilontarkan oleh mereka yang dalam candaannya merujuk kepada seorang lainnya yang menganut agama Islam tapi tidak mempraktekkan apa yang diwajibkan oleh agama tersebut. “Islam KTP” seolah mengamini bahwa agama yang tercantum di kartu identitas tidak merepresentasikan sesuatu yang substansial dari pribadi orang itu sendiri.

Belakangan ini, desakan publik untuk mengosongkan kolom agama di KTP semakin menguat. Ada yang mendukung, tentu ada yang menolak.

Kontroversi terkait penyantuman agama di KTP awalnya muncul sejak disahkannya Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Aminduk) pada November tahun lalu. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. 

Seperti diketahui, keenam agama yang diakui pemerintah Indonesia adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal tersebut dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap penganut agama dan/atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui di atas. 

Dalam Pasal 65 Ayat 5 UU Aminduk disebutkan bahwa “bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Penolakan atas kolom agama di KTP disuarakan oleh aktifis kebebasan beragama yang tergabung dalam Setara Institute. Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naispospos, menyatakan keherannya mengapa kolom agama tetap dipertahankan di KTP.

“Kolom agama di KTP muncul tahun 1967. Sejak merdeka sampai 1967, nggak ada kolom agama di KTP,” ujar Bonar usai bertemu Menteri Agama di kantornya, Selasa (10/11), seperti yang dilaporkan Liputan6.com.

“Tapi setelah ada kebijakan Orde Baru, itu harus ada kolom agama. Tujuannya untuk pastikan semua beragama dan untuk meredam komunis saat itu,” imbuhnya. 

Ia mengungkapnya bila pencantuman kolom agama saat ini sudah tidak relevan dan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.

Kembalikan pilihan pada individu

Menteri Agama Lukman Saifuddin sebelumnya pada Jumat (7/11), bersikukuh bahwa kolom agama di KTP tetap harus dipertahankan.

“Identitas agama yang dianut setiap warga Indonesia penting karena bagaimanapun juga agama adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam realitas kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pemerintahan,” kata Lukman.

Permasalahannya sekarang, menurut Lukman, adalah bagaimana pemerintah mengakomodir warga negara yang menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui.

“Ini sedang dipersiapkan oleh Kementerian Agama melalui penyiapan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama,” jelas politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Ia menegaskan bahwa Kementerian Agama tidak akan menghapus kolom agama, tapi mengembalikan kewenangan bagi masing-masing individu untuk mengisi kolom tersebut.

“Dari Kementerian Agama, kolom agama tetap dipertahankan. Bagaimana mengisinya, berpulang kepada warga negara,” ujarnya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Senin (10/11), mengatakan bahwa kolom agama di KTP diperlukan untuk pengurusan administrasi negara.

Namun, pihaknya memperbolehkan pengosongan kolom agama kepada warga negara yang kepercayaannya belum diakomodasi oleh negara atau belum teregulasi menurut UUD 1945. 

“Saya mendapat laporan ada warga di daerah menolak membuat KTP karena harus ditulis Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, atau Konghucu,” kata Tjahjo. 

“Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak punya dalam artian penganut kepercayaan? Bagaimana mereka mau dapat KTP kalau tidak bisa menuliskan keyakinan mereka?” lanjutnya.

Salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi meminta agar pemerintah tidak melakukan penghapusan kolom agama di KTP, karena ditakutkan akan terjadi protes besar-besaran oleh masyarakat.

“Negara jangan menghilangkan agama dalam KTP itu, karena itu rawan. Nanti akan terjadi banyak masalah,” tutur Hasyim, Senin (10/11), seperti yang dilansir Detik.com.

Ia menawarkan solusi agar warga diberi izin untuk tidak mencantumkan agama atau kepercayaannya jika mengajukan secara resmi.

“Kalau memang ada orang-orang yang ingin tidak menggunakan kolom agama, biar minta secara resmi supaya tidak dicantumkan agamanya. Jangan negara yang menghilangkan identitas agama,” tambahnya. 

Diskriminasi minoritas 

Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang mengatakan bahwa pencantuman kolom agama di KTP memicu persoalan di masyarakat, utamanya yang dirasakan oleh kelompok minoritas penganut penghayat.

“Banyak terjadi masalah dalam kehidupan keagamaan di masyrakat justru karena adanya identitas agama,” kata Direktur eLSA, Ted Kholiludin.

Menurut Tedi, eLSA menemukan beberapa permasalahan terkait dengan pendidikan, pencatatan perkawinan, pembuatan akta kelahiran, pembuatan tempat ibadah, dan pemakaman. Dengan adanya identitas agama di KTP, lanjut Tedi, hak-hak sebagai warga negara kerap terabaikan.

Sedangkan menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, lebih baik kolom agama dihapus dari kartu identitas. Ia berpendapat bahwa yang perlu ditulis pada KTP hanya nama, alamat, dan nomor jaminan kesehatan saja. 

“Jangan memperdebatkan soal agama,” kata Haris kepada Tempo.co. “Jadi, kita harusnya bicara fungsi kartu.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!