Drone Jokowi untuk Susi Pudjiastuti

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pesawat udara nir awak dibutuhkan untuk pertahanan, deteksi pencurian ikan, deteksi titik api, dan pembalakan liar.

Calon Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo saat debat capres pada 22 Juni 2014. Foto oleh Adi Weda/EPA

Di Beijing, saat acara APEC, Presiden Joko “Jokowi” Widodo membagi cerita soal poros maritim. Mulai dari ide tol laut sampai investasi perikanan. 

Kementrian Kelautan dan Perikanan menjadi penjuru penting dalam merealisasikan visi Presiden. Apa saja yang dilakukan oleh Menteri Susi Pudjiastuti yang memimpin kementerian itu selalu menjadi perhatian.  

Begitu dilantik, Susi Pudjiastuti mengumbar masalah lama yang hingga kini belum terselesaikan: Pencurian ikan. Dengan berbagai modus, ikan yang menjadi kekayaan Indonesia dicolong kapal luar negeri yang berlenggang masuk ke lautan lepas di wilayah Indonesia timur. Kapal Angkatan Laut tak kuasa mengejar.

Kata Susi, saat ini hanya 30 persen kapal milik kepolisian yang dioperasikan dari semua kapal yang dimiliki. Sementara di TNI Angkatan Laut, dari 70 kapal, hanya 12 yang dioperasikan.

“Angkatan Laut mengaku punya 70 kapal, dan yang jalan hanya 12, itu pun operasinya hanya 10 hari dalam sebulan. Polisi punya 460 kapal, cuma jalan 30 persen, itu pun operasinya tidak setiap hari. Jadi solusinya bukan penambahan kapal, tapi biaya operasional,” tutur Susi. Maksudnya, anggaran beli bahan bakar minyak (BBM) ditambah, agar kapal yang ada bisa bergerak lebih optimal.

Ihwal ‘drone’ 

Sebetulnya ada cara lain yang pernah disebut oleh Presiden Joko Widodo untuk mengawasi laut: Pesawat tanpa awak, yang ia sebut dengan istilah drone. Ini adalah teknologi terkini yang sedang menjadi tema hangat, mengenai pesawat yang bisa terbang dengan dikendalikan dari jarak jauh. Pergerakannya mengandalkan sistem komunikasi yang ditanam di dalam pesawat itu dengan satelit, dan dengan ruang pengontrol di darat.

Pesawat itu dilengkapi kamera video dan kamera foto, mungkin juga ditambah dengan sensor laser, yang hasil pemindaiannya terus-menerus dipancarkan ke awak yang bertugas sebagai pengontrol.

Joko Widodo menyinggung pemakaian PUNA demikian kependekan dari pesawat udara nir awak — dalam debat kandidat calon presiden, sewaktu tampil di televisi bersama pesaingnya, Prabowo Subianto, pada 22 Juni 2014. Dalam pandangan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, untuk memperkuat ketahanan negara maritim seperti Indonesia, pemakaian pesawat nir awak, yang oleh Jokowi disebut drone, bisa menjadi strategi untuk melindungi wilayah laut dan udara di Indonesia.

Jokowi menekankan perlunya Indonesia mengandalkan pesawat tanpa awak, demi menjaga kedaulatan, sehingga tidak ada faktor luar yang memengaruhi keamanan Indonesia. Dengan memiliki pesawat tanpa awak, kata Jokowi, kedaulatan Indonesia bakal terjaga. Ia kemudian mencontohkan sistem pertahanan Amerika yang ditempatkan di Nevada tapi mampu memantau situasi hingga di Irak dan Afganistan. “Jika kita punya pesawat tanpa awak itu, kita bisa lihat siapa yang main-main,” ujarnya.

Pesawat tanpa awak juga bisa memantau kegiatan illegal fishingillegal logging, dan kebakaran hutan. Harganya, tutur Jokowi, juga relatif terjangkau. “Semuanya sekitar Rp 1,5 triliun,” katanya. 

Namun Jokowi menginginkan ada transfer teknologi, tak sekedar membeli. Tiga pesawat itu, ujar Jokowi, akan ditempatkan di tiga wilayah sesuai dengan zona waktu, yakni timur, tengah, dan barat, masing-masing satu skuadron.

Setelah Jokowi dinyatakan menang, Tim Transisi Jokowi – Jusuf Kalla mematangkan konsep penggunaan pesawat tanpa awak. Pada 15 Agustus 2014 berlangsung rapat yang dipimpin Jenderal TNI (Purn) Fachrul Rozi, pensiunan Wakil Panglima TNI yang sejak awal memang pendukung Jokowi, dibahas ihwal drone. Rapat itu berlangsung di kantor Transisi Jokowi-JK. Kata Fachrul seusai rapat, Indonesia membutuhkan pesawat nir awak tidak hanya untuk pertahanan, melainkan juga untuk mendeteksi pencurian ikan, titik api, serta pembalakan liar. 

Karena fungsinya bukan sekadar pertahanan, pengendalinya pun tidak harus berasal dari TNI Angkatan Udara. “Kalau administrasi dan pembinaan di TNI AU bisa, tapi penggunaannya bisa macam-macm instansi,” terangnya.

Andi Widjajanto, ketika masih menjadi Deputi Ketua Tim Transisi, menambahkan, Indonesia setidaknya butuh 28 unit pesawat nir awak, yang beroperasi 24 jam penuh. Harga satu unitnya menurut Andi bisa berkisar antara US$7-10 juta. Jika diubah menjadi untuk tujuan tempur, harganya bertambah lagi.

Sekitar dua pekan setelah rapat itu, tepatnya pada 31 Agustus 2014, Jokowi mengulangi lagi pentingnya pemakaian drone. Di depan peserta Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di Hotel Empire Palace, Surabaya, Jokowi mengatakan, Indonesia ingin membeli pesawat tanpa awak untuk menjaga keamanan laut Indonesia. Ia menganggarkan sekitar Rp 4,5 triliun.

Drone tersebut untuk mengawasi laut, dan salah satunya mengantisipasi pencurian ikan di wilayah maritim Indonesia.

“Negara kita ada 17 ribu pulau. Pengawasannya seperti apa, kita punya laut besar, ikannya banyak sekali. Kalau mau lihat pesta pencurian ikan, lihat di Ambon. Makanya kita butuh itu [drone],” ujar Jokowi. 

“Data yang saya terima ada Rp 300 triliun per tahun kerugian negara ini. Ikan-ikan kita diambili, gede banget itu, gede sekali,” bebernya.

Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan pengawasan dari negara melalui pengawasan via udara.

“Bisa kita taruh di Surabaya, Sulawesi, agar bisa melihat langsung. Itu juga ndak mahal, kira-kira Rp 4,5 triliun. Daripada dicuri Rp 300 triliun per tahun, pilih mana?” ucap Jokowi.

Jokowi ketika itu menyatakan, jika ada kapal asing ketahuan mencuri ikan, maka harus ditembak. “Tembak langsung aja, biar yang lain kapok. Memang harus seperti itu, kalau kita ndak tegas, ikan kita akan dicuri kapal-kapal asing itu,” cetus dia.

“Kita negara sebesar ini, ada kapal kejar, udah lari dulu. Kalau [drone] ini udah ada, titiknya tahu pencurian, kita perintahkan tembak sampai tenggelam. Misalnya, kalau ndak tegas besok balik lagi [kapal asing] itu,” tandas Jokowi.                                             

Teknologi geospasial 

Pemakaian UAV kini memang semakin luas, termasuk di dunia informasi geospasial. Di sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, seperti ITB, UGM, ITS, pesawat tanpa awak banyak dikembangkan di berbagai program studi. Di UGM, misalnya, mahasiswa Teknik Mesin, Geografi, dan Teknik Geodesi, mengembangkan pemakaian UAV dengan tujuan masing-masing.

Direktur Australian Research Center for Aerospace Automation (ARCCA), Professor Duncan Campbell, mengatakan drone bisa diaplikasikan pada deaerah-daerah yang memiliki tingkat populasi tinggi. Penggunaan drone akan amat membantu keterbatasan kemampuan manusia, dan lebih murah ketimbang menggunakan pesawat berawak.

“Jika kita bisa menggunakan drone di langit dan mendeteksi orang yang berada dalam kesulitan, ini akan jadi langkah maju,” kata Duncan. 

Februari lalu Professor Stuart Phinn dan Dr. Chris Roelfsama dari Universitas Queensland, Australia, berkunjung ke Badan Informasi Geospasial. Kunjungan untuk menjajaki kerjasama dalam hal penelitian penginderaan jauh yang berkaitan dengan penyelenggaraan informasi geospasial tematik (IGT) dan pendidikan di Indonesia. 

Pertemuan tersebut membahas berbagai teknik pemetaan. Pada survei lapangan misalnya dikembangkan berbagai inovasi untuk memudahkan surveyor dalam memperoleh data lapangan termasuk pemanfaatan robot untuk membantu survei pada perairan dangkal dan UAV atau drone untuk memperoleh data dari udara. Kedua cara ini digunakan sekaligus untuk meningkatkan akurasi survei dengan memperbaiki posisi pengambilan data secara berulang dalam segala kondisi. 

GH Anto, Direktur Utama PT Waindo Specterra, salah satu perusahaan survei pemetaan terkemuka dari Jakarta mengatakan, penggunaan teknologi drone sudah menjadi hal umum di bidang survei geospasial. Bahkan menurutnya, para surveyor di Indonesia sudah akrab dengan teknologi ini sejak pertama kali diperkenalkan 20 tahun yang lalu.

Menurut Anto, yang terpenting dalam survei geospasial bukanlah pada wahana yang digunakan tapi lebih pada kualitas kamera. “Apapun wahana yang dipakai, baik drone atau bukan, yang paling penting justru kamera yang memiliki kualitas bagus dalam merekam,” kata Anto.

Para surveyor di Indonesia, kata Anto, dalam lima tahun belakangan sudah lebih berkembang dan intens menggunakan teknologi drone. Pasalnya, sistem pengendali utama dalam teknologi itu kini dapat dijangkau dengan harga yang lebih murah. “Dulu harganya bisa sampai Rp 200 juta sekarang hanya dengan Rp 10 juta hingga Rp 20 juta sudah bisa pakai karena sudah open source,” jelas Anto.

Kendala regulasi 

Penguasaan teknologi drone yang semakin masif justru seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya Indonesia belum memiliki regulasi yang menjamin penggunaan drone untuk berbagai kalangan. Kata Anto, belum adanya regulasi justru akan sangat membahayakan bila teknologi ini sampai disalahgunakan. 

Ia mengingatkan pada pemerintahan yang baru nanti untuk membuat aturan yang jelas bila serius ingin mengaplikasikan teknologi ini dalam bidang apa pun. “Bayangkan saja kalau tiba-tiba kamera di dalamnya diganti bom. Untung saja para teroris belum mengenal teknologi ini,” ungkap Anto.

Di negara lain, pemakaian teknologi ini sudah dibatasi dengan adanya peraturan yang dibuat pemerintah. Misalnya, pihak otoritas di luar negeri biasanya membatasi ketinggian pesawat yang akan terbang dengan wajib harus bisa dilihat dengan mata.

“Ketinggiannya juga tidak boleh lebih dari 200 meter. Mereka sudah mencium potensi bahayanya makanya dibentengi dulu,” kata Anto.

Semakin masifnya penggunaan drone di Tanah Air akan memunculkan bisnis baru apalagi bila pemerintahan Joko Widodo benar-benar akan melakukan rencananya soal drone. Anto mengatakan, saat ini sudah ada beberapa investor yang tertarik mengembangkan bisnisnya pada produksi drone di Indonesia.

Namun keinginan investor itu masih terkendala oleh regulasi yang belum jelas sehingga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) belum memberikan lampu hijau untuk mereka.

“Saya baru saja ikut pertemuan dengan mereka [BKPM] dan investor yang mau bikin pabrik drone. Hasilnya belum dapat izin karena pemerintah belum menyadari akan bahaya, harus ada aturannya dulu,” tegas Anto.

Soal kemampuan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan drone, Anto tak bisa meremehkan kemampuan para ahli di Indonesia. Seperti yang ia ungkapkan bahwa teknologi ini sudah familiar jadi tidak perlu waktu lama untuk mempelajarinya.                                              

Bila Indonesia akan menggunakan drone untuk menghalau kapal liar pencuri ikan di perairan Indonesia timur, terus pesawat jenis apa yang akan digunakan? Harap dimaklumi juga, yang namanya drone itu jenisnya juga beragam. Ada yang kelas mini, seperti yang digunakan untuk mengambil gambar seukuran lapangan bola, namun ada juga yang sekelas buatan BPPT seperti sriti (terbang dua jam, jarak maksimum 75 km); alap-alap (terbang lima jam, jarak maksimum 140 kilometer), atau wulung (bisa membawa muatan hingga 25 kg, ketahanan terbang empat jam dan ketinggian terbang 12.000 kaki). Namun ada pula yang sekelas RQ-4 Global Hawk.

Pesawat buatan Northrop Grumman ini mampu terbang dari Amerika hingga Australia, dan sudah mendapat sertifikasi dari otoritas penerbangan federal Amerika, FAA, untuk mendarat di lapangan sipil. Ada juga yang super canggih buatan Industri Pertahanan Israel (IAI), Super Heron. Mesinnya berkekuatan 200 tenaga kuda, mampu terbang 45 jam non-stop, kecepatan maksimum 280 kilometer/jam.

Indonesia juga sudah memutuskan membeli Heron, untuk ditempatkan di Pangkalan Udara Supadio, Pontianak. Dalam berita pada April 2012 terungkap, drone yang dibeli sebanyak 12 unit drone: 8 jenis wulung, 4 jenis heron. Pesawat tanpa awak itu akan digunakan untuk patroli perbatasan, terutama di laut lepas seperti Laut Cina Selatan, serta perbatasan Indonesia-Malaysia.

Bila kawasan barat sudah dijaga, walau dengan jumlah minim, sebaliknya laut di wilayah Indonesia timur, yang dikenal kaya ikan, malah belum dipantau oleh pesawat tanpa awak. Di sinilah sebagian besar maling-maling ikan berkeliaran, yang oleh Pak Jokowi disebut setahun nilai yang dicuri Rp 300 triliun.

Sekarang tinggal bagaimana Pak Jokowi akan membantu Bu Susi dengan drone-nya, untuk menghalau kapal-kapal pencoleng ikan. Inilah saatnya memberi —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!