Ketika pria cemas dengan penemuan pil KB

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika pria cemas dengan penemuan pil KB
Kontroversi penemuan pil KB bukan hanya jadi perbincangan kalangan umum, tapi juga antar pria. Ada yang setuju, ada yang tak mempermasalahkan.

JAKARTA, Indonesia – “Ada efek sampingnya, enggak?” kata Aksanul Inam, pria berumur 31 tahun yang baru saja menikah ini saat merespons penemuan pil kontrasepsi untuk pria oleh Profesor Bambang Prajogo dari Universitas Airlangga, Kamis, 11 Desember 2014.  

Inam bukannya tak mau memakai pil kontrasepsi. Tapi dia ragu, apakah pil itu aman untuk diminum. “Diuji klinis dulu lah. Masa manusia dijadikan uji coba,” katanya. Ia mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti apakah pil itu bisa mengacaukan hormon atau menimbulkan alergi dalam tubuhnya.  

Ia mengaku juga belum bertanya tentang pil KB pria ini pada istrinya. Tapi, tak menutup kemungkinan, topik itu akan menghangat di akhir pekan nanti. Sebab, beritanya sudah santer di media.

Lain Inam, lain pula Dinarsa Kurniawan, 32 tahun. Teman sebaya Inam ini tak keberatan jika harus mengkonsumsi pil kontrasepsi. “Aku sih mau saja, asal aman. Enggak masalah lah,” katanya.

Menurut Dinar, yang saat ini memiliki dua anak, pemakaian pil kontrasepsi hanya soal kebiasaan saja. “Selama ini kan kontrasepsi kan mayoritas buat perempuan. Jadi tak lazim jika seorang pria memakai kontrasepsi. Kecuali kondom,” kata bapak muda ini.

Pil KB pria ada ‘efek sampingnya’

Profesor Doktor Bambang Prajogo hanya tertawa renyah saat Rappler Indonesia menceritakan kecemasan bapak-bapak muda di atas. “Tidak ada efek sampingnya,” katanya dengan tegas.

Menurut sang profesor, penelitian pil KB ini telah dimulai sejak 1987. Lama penelitian mencapai 30 tahun. Tak sendiri ia melakukan penelitian, juga menggandeng dua rekannya, Doktor Maria Paulina Dyah Pramesti dan Doktor Sri Mustaina.

Menurut Bambang, awalnya penelitian ini terinspirasi dari sebuah suku dari Papua. Lalu ia mulai melakukan pengujian, hingga tiga tahap. Yang melibatkan pria sehat, pria penderita penyakit tertentu, hingga pria dengan penyakit berat. Sekitar 350 pasangan dilibatkan. Hasilnya, akurasi keberhasilan penelitian mencapai 99,27 persen.

Prajogo mengatakan, pil KB yang dibuat dari Gandarusa, tanaman khas dari Papua ini, tak akan mengacaukan hormon karena memang tergolong kontrasepsi non hormonal.

“Cuma… akan ada sedikit perubahan pada Anda,” katanya. “Nafsu makan Anda akan meningkat, dan perut anda menjadi lebih besar atau buncit,” katanya. Tapi itu bukan efek hormonal. Pemakaian Gandarusa hanya akan menambah nafsu makan saja.

Gandarusa tumpulkan ujung sperma

Prajogo melanjutkan, dalam wawancara dengan sebuah media asing di Amerika, dia juga sudah menjelaskan tentang proses kerja Gandarusa yang sama sekali tak berkaitan dengan hormon, sehingga tak memberi efek serius.

Menurutnya, Gandarusa tidak mengubah hormon pria melainkan melakukan perubahan kimia pada ujung sperma. Sehingga sperma tidak dapat menembus dinding luar telur perempuan atau ovum.

‘Cuma… akan ada sedikit perubahan pada Anda.Nafsu makan Anda akan meningkat, dan perut anda menjadi lebih besar atau buncit’

– Profesor Bambang Prajogo

Prajogo menambahkan, bahwa esktrak Gandarusa hanya akan mengganggu enzim yang terletak di kepala sperma. Enzim ini dibutuhkan untuk melubangi dinding telur perempuan.  Sehingga tidak terjadi pembuahan atas sperma  ke ovum.

Nah, khasiat dari Gandarusa juga akan berhenti jika pria tak lagi mengkonsumsinya selama dua bulan. “Nanti bisa subur lagi,” katanya.  

Pil KB dan isu kesetaraan

Sementara itu, isu penggunaan pil KB pun merembet ke masalah kesetaraan antara suami dan istri. Inam dan Dinar masih melanjutkan diskusi soal pentingnya berdiskusi dengan pasangan dalam memutuskan pemakaian pil kontrasepsi ini.

Menurut Inam, keputusan untuk memakai pil KB tersebut terkait dengan program memiliki anak. “Keputusan menunda atau memiliki anak adalah keputusan bersama,” katanya.

Namun, Arie Ratna Agustin, 32 tahun, Ibu muda sebaya lainnya, mengatakan, soal program memiliki anak, kadang pria juga tidak sensitif terhadap aspirasi perempuan. “Kalau laki-laki tak mau dipaksa mengkonsumsi pil KB, maka laki-laki juga tak bisa memaksa perempuan untuk memakai alat kontrasepsi,” katanya.

Bagi Arie, justru dengan hadirnya pil KB pria ini, membuka celah bagi ibu-ibu muda untuk berdiskusi dengan suaminya. “Pernikahan itu kan dinamis. Jika ada masalah baru, maka perjanjian lama jadi tak relevan lagi. Makanya perlu dibuat kesepakatan baru lagi,” kata perempuan yang berprofesi sebagai Sosiolog ini.

Lain lagi pendapat, Ayudita Swesti, 31 tahun, pegawai swasta di Jakarta. Ia tak yakin program pil KB akan berhasil, dan juga tak menyarankan suaminya untuk mengkonsumsi ekstrak Gandarusa ini. “Menurut Saya, kalau bapak-bapak yang minum, bakalan banyak gagalnya. Kenapa? Karena mereka sering lupa. Bisa lupa minum, bisa lupa ditaruh di mana, bisa lupa dibawa ke mana. Bisa lupa apakah sudah diminum atau belum hari itu,” katanya sambil tersenyum. Rumit. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!