Harap-harap cemas di akhir KTT Iklim COP 20

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Harap-harap cemas di akhir KTT Iklim COP 20
Debat merumuskan teks akhir dari Pentagonito, Lima, masih berkutat soal komitmen pendanaan untuk adaptasi Perubahan Iklim. Niat baik berhadapan dengan kepentingan nasional.

“How many CoPs will it take for us to really see any tangible results? We have been going from CoP to CoP and every time we are given so many assurances, and expectations are raised, but the gaps are getting wider. “There has been a clear commitment of $100 billion a year but how are we really being offered? Even when they make those pledges, how do we know how much is going to materialize? There is no point of knowing that behind the wall there is a big source of funds available unless we can reach it. We are told it is there in a nice showcase, but we don’t get to meet it. We don’t get to access it. These are difficult issues for us.”

Kalimat di atas milik Ahmed Sareer, negosiator dari Maldives di konferensi perubahan iklim, COP 20, di Lima, Peru. Acara tahunan yang digelar sejak negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Konvensi Kerangka PBB dalam Perubahan Iklim (UNFCCC) di KTT Bumi di Rio de Janeiro, 22 tahun lalu itu, berlangsung di Peru tanggal 1-12 Desember ini.  Saat tulisan ini dibuat, negosiasi final tengah berlangsung, molor beberapa jam dari jadwal awal.  

Kalimat Sareer dikutip dari laporan wartawan Guardian, Suzanne Goldenberg.

Banyak suara-suara pesimis datang dari kalangan penggiat kemasyarakatan dan negara berkembang yang mengikuti negosiasi draf pernyataan Lima. Draf dari COP 20 diharapkan menjadi bahan “siap teken” untuk COP 21 yang kan berlangsung di Paris, tahun depan. Tak heran jika KTT di Lima juga disebut “Climate Talk, From Lima To Paris”. 

Dari kalangan negara maju, pertemuan di Pentagonito, markas kementerian pertahanan Peru ini, dimulai dengan optimisme.  Salah satunya adalah karena bulan lalu, dua penghasil emisi karbon terbesar, AS dan Tiongkok, mengumumkan komitmen memangkas emisi gas karbon rumah kaca. Dua negara besar ini biasanya menjadi penghalang tercapainya kesepakatan.

Optimisme itu meredup. Sampai jam-jam terakhir jadwal negosiasi di Pentagonito, gap antara kelompook negara kaya dengan negara berkembang dan miskin melebar. Keluhan Ahmad Sareer adalah salah satunya. AS yang diwakili Menteri Luar Negeri John Kerry, dalam pernyataannya menekankan perlunya COP 20 berakhir dengan kata sepakat.  

“Tolong kesampingkan perbedaan antara negara maju dan miskin. Jika ada yang tidak sepakat turunkan emisi karbon, apalagi Anda negara maju, maka Anda bagian dari masalah,” kata Kerry. Analis menilai ucapan Kerry tertuju kepada India.

Masalahnya, India dan negara berkembang melihat AS dan negara maju hanya ingin menekan kesepakatan soal penurunan emisi karbon, dan tidak berkomitmen jelas terhadap dana adaptasi perubahan iklim yang diperlukan negara miskin, termasuk negara yang rawan terkepung bencana akibat meningkatnya permukaan air laut dan suhunya.

“Kami kecewa,” kata Prakash Javadekar, negosiator dari India, sebagaimana dikutip Reuters.

“Kami kesal, bahwa sejak 2011, 2012, 2013, selama tiga tahun berturut-turut, negara maju menyediakan dana senilai US$ 10 miliar setiap tahun untuk mendukung upaya mengatasi perubahan iklim, tapi kini mereka mengurangi jumlah itu.”

Bahkan, kata Javadekar, negara di kawasan Amerika Latin memilih secara dramatis meningkatkan produksi minya fosil.  Keputusan yang menempatkan mereka berhadapan dengan negara lain dan grup pro lingkungan hidup.

Dari sisi Indonesia, terkait dengan Green Climate Fund (GCF), tantangannya adalah kesiapan mengakses pendanaan. Ini masalah di kalangan negara berkembang. “Kita perlu meningkatkan kapasitas dan berhasil dalam proses akreditasi,” kata Suzanty Sitorus, sekretaris kelompok kerja pendanaan yang juga juru runding delegasi Indonesia ke COP 20.  

Dana adaptasi, kata Suzanty, juga mengalami krisis karena sumber dana dari pasar karbon menurun drastis. Selengkapnya posisi Indonesia di COP 20, dapat dibaca di sini. 

Sukses atau tidaknya COP 20, akan menentukan apakah dunia akan memasuki 2015 sebagai tahun pembangunan berkelanjutan.  Dalam semua aspek pembangunan, termasuk inovasi dan pengembangan energi terbarukan. Dalam tulisannya dengan judul 2015, The Year of Sustainable Development, yang diterbitkan 9 Desember, Jeffrey D. Sach mengatakan, hasil COP 20 menjadi landasan kuat bagi dimulainya tahun penuh kepedulian terhadap isu lingkungan, isu kesehatan, dan isu kemiskinan.  

“Bakal jadi tahun yang menentukan untuk memastikan dana-dana sosial sampai ke rakyat miskin, termasuk dana global untuk HIV-AIDS,  memastikan anak-anak mendapatkan gizi yang cukup,” tulis Sach, penulis buku The End of Poverty yang juga rektor Earth University dan dianggap ekonom terkemuka dalam pembangunan berkelanjutan.

Saya bertemu dengan Sach di taman di arena COP 20. Tidak berbicara banyak karena dia harus mengisi acara di sana. Tapi pesan yang disampaikannya konsisten. Pembangunan berkelanjutan termasuk komitmen memerangi pemanasan bumi dan adaptasi perubahan iklim tidak cukup yang dibicarakan. Harus dikerjakan. Dibuktikan.

Tahun 2008, Sach menerbitkan buku berjudul Common Wealth, Economics for A Crowded Planet. Buku ini kebetulan saya bawa ke COP 20 untuk bahan bacaan selama perjalanan panjang dari Jakarta ke Lima. Bahkan saat menulis buku itu, Sach sudah mengingatkan, “tantangannya adalah bagaimana membuat dunia sepakat akan perlunya melakukan semua cara untuk adaptasi perubahan iklim, kehancuran biodiversity, pertumbuhan populasi yang cepat dan kemiskinan yang ekstrim.”   

Lebih lanjut, dia mengatakan dalam buku itu, “We don’t need to break the bank, we only need common goodwill.”  Yang diperlukan adalah niat baik.

Ini yang sulit. Karena niat baik saja tidak cukup kuat berhadapan dengan apa yang para pemimpin negara sebut sebagai, “kepentingan nasional”.

Di Banjarnegara, Jawa Tengah, bencana longsor telah memakan korban jiwa 12 orang, dan ratusan orang menghilang. Ini bukti nyata perubahan iklim. Kita menunggu hasil akhir COP 20 dengan harap-harap cemas. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!