Jokowi tentang Paniai: ‘Too little, too late’

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Arman Dhani mengajak Presiden Joko Widodo belajar pada presiden terdahulu Abdurahman 'Gus Dur' Wahid. Gus Dur mengajarkan bahwa dengan menjadi presiden, seseorang punya kuasa lebih banyak untuk menegakan keadilan.

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengunjungi Papua saat kampanye pilpres pada Juni 2014. Foto oleh EPA

Sosok Kuranosuke Oishi dalam film mahsyur 47 Ronin produksi 1941 itu memilih bungkam ketika kehormatannya dihina. Bahkan karakter yang diperankan oleh Chojuro Kawarasaki hanya tersenyum saja ketika ia direndahkan dan dianggap sebagai kolaborator kejahatan. Beberapa tindakan besar memang tidak membutuhkan pengakuan, beberapa tindakan benar membutuhkan penjelasan. Tapi lebih dari itu, bersetia pada kemanusiaan dan idealisme adalah tindakan yang paling susah dilakukan.

Gus Dur membebaskan belenggu prasangka terhadap kaum tionghoa dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa.

Sosok Kuranosuke Oishi mengingatkan saya pada Gus Dur, orang yang kerap disalah pahami sikap dan perkataannya. Kita tahu bagaimana mendiang mantan Presiden Abdurahman Wahib begitu teguh menjunjung nilai-nilai kemanusiaan lebih dari para pendahulu maupun penerusnya. Gus Dur, begitu kita memanggil beliau, dalam masa kepemimpinan beliau yang singkat itu, telah banyak memberikan contoh bagaimana akal sehat dan nurani semestinya ditegakkan.

Gus Dur membebaskan belenggu prasangka terhadap kaum Tionghoa dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa. Gus Dur pula yang mengembalikan martabat kemanusiaan bangsa ini dalam acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, 15 Maret 2000. Dalam acara itu Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan akan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.

Perlu nyali dan kebesaran hati untuk meminta maaf, tapi lebih dari itu perlu menjadi manusia untuk bisa memahami masalah kemanusiaan. Inilah yang digunakan Gus Dur dalam usaha mengatasi konflik di Papua. Alih-alih menggunakan pelor dan senapan, Gus Dur mendekati warga Papua dengan pendekatan dialogis dan memahami keluhan mereka sebagai manusia yang sejajar. Mustahil melakukan dialog jika ada satu pihak yang merasa superior dari pihak yang lainnya.

Gus Dur mengajarkan bahwa dengan menjadi presiden, seseorang punya kuasa lebih banyak untuk menegakan keadilan. Gus Dur sebagai presiden dan individu tidak memiliki gengsi untuk mengakui kejahatan HAM memang ada. Ia minta maaf, menuntut yang bersalah, dan mencabut peraturan-peraturan diskriminatif dan opresif.

Ia juga berani melakukan pembubaran lembaga diskriminatif seperti Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, alias Bakorstanas, lembaga yang bekerja memata-matai warga negara Indonesia yang dicurigai “berbau” PKI. Gus Dur pula yang menyerukan dan mendorong agar warga Indoneisa yang eksil karena pembantaian massal tahun 1965 untuk pulang. Gus Dur juga orang yang berani mengizinkan bendera Bintang Kejora di Papua berkibar dengan syarat “Tidak lebih tinggi dari merah putih,” katanya.

Ia juga berani melakukan pembubaran lembaga diskriminatif seperti Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, aliasBakorstanas, lembaga yang bekerja memata-matai warga negara Indonesia yang dicurigai “berbau” PKI.

Maka ketika Joko “Jokowi” Widodo terpilih sebagai presiden, semangat penegakan hak asasi manusia memang sangat kencang terasa. Dalam dokumen pendaftaran pasangan capres dan cawapres yang diunggah Komisi Pemilihan Umum ke situs www.kpu.go.id, terdapat visi misi yang berkomitmen pada penegakan HAM di Indonesia. Bahkan salah beberapa poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. Dijelaskan, kasus HAM masa lalu masih menjadi beban politik bagi bangsa Indonesia.

Tapi melihat kondisi selama beberapa bulan terakhir, janji itu seperti jauh panggang dari api. Hingga sekian bulan Jokowi menjabat jadi Presiden, tak sekalipun ia mendatangi peserta Kamisan yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat ia bekerja. Ketika terjadi pembantaian lima siswa sekolah di Paniai, Jokowi bertindak sangat lambat, too little too late. Ia baru bicara berminggu-minggu setelah peristiwa berdarah itu.

Sikap Jokowi, seperti biasa hanya normatif sekedar berkata, “Rakyat Papua butuh didengar”. Didengar tanpa ada upaya untuk melakukan rekonsiliasi saya kira hanya basa-basi saja. Gus Dur melakukan ‘upaya mendengar’ dengan membebaskan tahanan politik di Papua, ia melakukan pendekatan yang ekstrim dengan membuka pintu dialog secara sejajar. Dalam pidato Natal itu, Jokowi hanya menyebut Paniai sebanyak dua kali saja, selebihnya ia hanya berharap.

Jokowi pun diam saja ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno berkomentar sumbing tentang penegakan HAM di masa lalu. Padahal jika kita mau ingat dan menagih, Jokowi sendiri berjanji akan merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu dinilai sebagai salah satu sumber pelanggaran HAM. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk menghapus semua bentuk impunitas yang melindungi para jagal dan penjahat kemanusiaan.

Jokowi pernah menulis dalam sebuah siaran pers bahwa ia bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan. Bahwa ia bukan bagian dari kelompok Islam yang sesuka hatinya mengkafirkan saudaranya sendiri. Tapi apakah ia masuk kelompok Muslim yang diam saja jika hal itu terjadi? Seperti yang dilakukan kaum fundamentalis ekstrim kepada kelompok minoritas Ahmadiyah dan Syiah?

Jokowi juga tidak berkomentar dengan penutupan Gereja GKI Yasmin, juga maraknya pembubaran diskusi dan pemutaran film Senyap. Ini tentu bukan pekerjaan presiden, memberi komentar pada tiap peristiwa. Namun jika Anda berjanji untuk melakukan penegakan keadilan dan penghapusan impunitas, hal paling sederhana yang bisa Anda lakukan adalah menjamin distribusi informasi bagaimana peristiwa ’65 terjadi. Jika ini saja tidak mampu Jokowi lakukan, lupakan usaha rekonsiliasi peristiwa ’65 karena hal itu mustahil terjadi.

Agak menyesakkan bagi mereka yang berpikir melihat bahwa negara membiarkan saja pelarangan pemutaran film Senyap, sementara sekelompok intoleran secara terbuka memberikan dukungan pada negara jagal ISIS. Di Malang, Lembaga Sensor Film memberikan rekomendasi pelarangan pemutaran film Senyap, tapi di Semarang tablig akbar pembelaan terhadap ISIS dapat dengan lancar diselenggarakan. Apakah negara ini lebih suka membela jagal dengan melarang Senyap dan mendukung ISIS?

Ketika terjadi pembantaian lima siswa sekolah di Paniai, Jokowi bertindak sangat lambat, too little too late. Ia baru bicara berminggu-minggu setelah peristiwa berdarah itu.

Almarhum Gus Dur pernah menulis artikel indah berjudul Islam dan Hak Asasi Manusia. Ia menawarkan sebuah gagasan progresif bahwa hukum Islam semestinya bergerak seirama dengan semangat zaman. Jika ingin menjadikan islam sebagai agama yang damai, semestinya ia disertai dengan keinginan memperbaiki diri. Hal itu, menurut Gus Dur, dimulai dengan mengakui bahwa di negeri-negeri Muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia.

Jokowi bukan Gus Dur, ia tidak perlu menjadi Gus Dur. Masalah penegakan hukum dan penghapusan impunitas murni masalah bersama. Saya percaya Jokowi bisa memenuhi separuh dari apa yang ia janjikan tentang penegakan HAM di Indonesia.

Ketika ia memilih Menteri Agama Lukman Saifuddin yang memiliki komitmen terhadap kebebasan berkeyakinan, saya yakin Jokowi punya inisiatif baik. Tapi semua akan percuma saja jika menteri yang bertanggung jawab terhadap penegakan HAM menganggap masalah masa lalu hanya menghambat kemajuan.

Revolusi Mental tanpa komitmen pelaksanaan hanya berakhir jadi sekedar slogan, serupa iklan koyo dan sabun mandi. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!