Jokowi, yang jadi presiden Anda, bukan yang lain

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi, yang jadi presiden Anda, bukan yang lain

Subekti

Presiden Jokowi menghadapi saat pelik dalam memutuskan akan terus dengan sosok Komjen Budi Gunawan atau memenuhi saran KPK. Apapun keputusannya, dia perlu taat konstitusi. Apa saja 33 poin pengalaman SBY?

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa di sakunya, selalu ada “konstitusi”. Ini bukan kiasan, melainkan faktual. SBY mengaku di saku bajunya dia selalu membawa buku konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945.  “Setiap saat ada pada saya, dan kapanpun bisa saya baca,” kata SBY dalam bukunya Selalu Ada Pilihan: Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang.

SBY membekali dirinya dengan buku konstitusi agar setiap saat harus mengambil keputusan, dia bisa merujuk pada referensi utama penugasan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Di mana saja, kapan saja. SBY paham, salah satu yang bisa membuatnya mental dari kursi kepresidenan adalah jika melanggar konstitusi.

SBY memberikan ilustrasi. Ketika dia mengajukan hanya satu orang calon Panglima TNI atau Kapolri, selalu ada suara di  DPR maupun di masyarakat agar presiden mengajukan setidaknya dua calon. “Bahkan, saya diancam jika nama itu tidak ditambah, maka DPR tidak akan menyetujuinya,” ujar SBY. DPR juga mengancam tidak akan membahas usulan presiden.

SBY bergeming. Dia hanya mengajukan satu calon. Mengapa? Karena UU TNI dan UU Polri secara eksplisit menuliskan, presiden mengajukan satu orang calon Panglima TNI atau satu orang calon Kapolri. Untuk Panglima TNI, harus yang sudah pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan. Di era Presiden Soeharto pernah dipilih dan diangkat Jendral L.B Moerdani, yang saat itu menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Strategis ABRI, berbintang tiga. Feisal Tanjung saat diangkat menjadi Panglima adalah kepala staf umum ABRI juga berbintang tiga. Bukan kepala staf angkatan (KSAD, KSAU, atau KSAL).

Secara UU, presidenlah yang memilih calon Panglima TNI dan Kapolri, dengan menggunakan mekanisme yang ada. DPR tidak memilih, melainkan setuju atau tidak setuju. DPR menyatakan sikapnya setelah melakukan uji fit-and-proper kepada calon. Jika tidak setuju, DPR wajib memberikan alasan. Sebagaimana saya tulis sebelumnya, belum ada preseden DPR menolak calon Kapolri dan Panglima TNI yang diajukan presiden di era SBY.

Jadi, apa yang dilakukan DPR yang hari ini menyetujui pencalonan Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai calon kapolri, sebenarnya tidak berbeda dengan sikap DPR sebelumnya. Keputusan Jokowi untuk hanya mengajukan satu nama calon dari nama-nama yang disodorkan Komisi Kepolisian Nasional juga sesuai UU, persis yang dilakukan Presiden SBY.

Bedanya, SBY tidak pernah mengajukan calon oleh sebagian media dan publik dianggap punya masalah berat: diduga memiliki simpanan rekening bank dalam jumlah yang dianggap tidak wajar kalau merujuk hanya kepada besaran gaji yang diterima seorang jendral polisi bintang tiga. 

Selain itu, keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyematkan status tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi kepada Komjen Budi Gunawan juga dilakukan setelah Jokowi memasukkan namanya ke DPR. Dan dia membiarkannya sampai paripurna DPR hari ini memutuskan Budi Gunawan layak diangkat sebagai kapolri. Bola panas kembali ke tangan Jokowi.

Presiden RI Joko Widodo. Foto oleh EPA

Beda yang lain, di era SBY pejabat publik yang dinyatakan tersangka oleh KPK segera mengundurkan diri. Di publik kesannya sukarela. Tapi, biasanya keputusan diumumkan setelah yang bersangkutan berkomunikasi dengan presiden.

Ada Menteri Energi dan Sumberdaya Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Olahraga Andi Mallarangeng, sampai Menteri Agama Suryadharma Ali. Pasalnya, belum ada preseden bahwa status tersangka oleh KPK tidak berlanjut ke terdakwa. Semua berujung di status terpidana. Berapa lama prosesnya, bisa berbeda. Untuk kasus yang melibatkan nama Budi Gunawan, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan kasusnya sederhana, jadi bisa cepat.

Politisi, selalu menyiapkan diri untuk membuat keputusan yang tidak populer, sepanjang keputusan itu tidak membuat mereka menjadi tidak populer. Ini juga nuansa yang nampak sejak Jokowi menyodorkan nama Budi Gunawan. Ada upaya untuk membangun kesan bahwa keputusan Jokowi akibat tekanan pihak lain.   

Media menyebut peran Ketua PDI-P Megawati Sukarnoputri, dan belakangan pendiri Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh. Dua sosok yang dianggap berpengaruh atas beberapa pengambilan keputusan Jokowi. Saat jelang pengumuman Jaksa Agung, Surya Paloh bertemu Jokowi. Sejak kemarin sampai hari ini, hal serupa terjadi. Jokowi dikesankan “dalam tekanan”. Kesan ini untuk tetap menjaga popularitasnya.

Sebagaimana saya katakan, saya lebih percaya Budi Gunawan adalah pilihan pribadi Jokowi. Dukungan Mega (dan Surya Paloh) adalah bonus. Anugerah bagi Jokowi, karena dua partai itu menjadi pemain lapangan di DPR untuk memuluskan jalan Budi Gunawan di proses uji di parlemen. Lagipula, sebagaimana diingatkan oleh SBY dalam bukunya, Yang Jadi Presiden Anda, Bukan Yang Lain.

Jadi, Jokowi saya percayai menganggap Budi Gunawan calon terbaik bagi pemerintahannya. Jokowi memutuskan menggunakan hak prerogatif secara mandiri. Masukan bisa datang dari berbagai jurusan, termasuk Kompolnas yang notabene diketuai (ex officio) oleh Menkopulhukam Laksamana (Purn) Tedjo Edhi Purdijanto. Kini, maukah Jokowi menggunakan hak prerogatif dan prinsip, “Yang Jadi Presiden Saya Bukan Yang Lain”? 

Jokowi dalam posisi maju kena mundur kena, mirip judul film Warung Kopi yang diperankan oleh trio pelawak Dono, Kasino, Indro. Ngotot melantik Budi Gunawan yang sudah disetujui DPR, menempatkannya berlawanan dengan keputusan KPK dan sebagian publik, termasuk relawan Jokowi yang hari ini (15/1) sempat unjuk rasa dukungan ke KPK, dan mencoba menemui Jokowi di Istana Presiden, tapi gagal. Tidak melantik Budi berhadapan dengan Megawati dan PDI-P, Surya Paloh dan Nasdem, dan parpol lain kecuali Partai Demokrat yang mendukung pencalonan Budi.

Jika mengikuti logika akal sehat publik dan fatsun ketatanegaraan bahwa sebaiknya tidak mengangkat pejabat publik di bidang penegakan hukum (dan bidang apapun) yang memiliki masalah hukum, maka Jokowi harusnya menyodorkan calon pengganti Budi sesegera mungkin atau melanjutkan kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman yang akan habis Oktober 2015.  

Agak terlambat? Iya. Karena kalau pilihan ini yang diambil, seharusnya Jokowi mengajukan nama baru sebelum komisi III DPR RI melanjutkan proses fit-and-proper test kepada Budi Gunawan. Nasi sudah menjadi bubur. Dimakan pun tidak enak. Pahit.

Jangankan publik, terutama pemilihnya. Jokowi mungkin juga tidak menduga bahwa belum genap 100 hari memerintah, dia dihadapkan pada situasi yang begitu pelik. Lagi-lagi saya merujuk kepada pengalaman Presiden SBY, sebagaimana dimuat dalam bukunya. Kali ini dari bab berjudul, Siaplah Untuk Mengalami Apa Yang Saya Sampaikan, Asalkan Tahu, Beginilah Jadi Presiden. SBY membuat daftar 33 hal yang perlu disadari siapapun yang menjadi presiden. 

Saya memuat beberapa yang agak pas dengan situasi yang dialami Jokowi saat ini dan ke depan, yaitu isu terkait:

  • Kehormatan Presiden
  • Kehidupan baru yang sangat berbeda dan bulan madu yang cepat berakhir
  • Keseharian presiden dan ketika waktu menjadi sangat mahal
  • Tiada hari tanpa kritik dan kecaman
  • Hujan fitnah yang sambung-menyambung
  • Musuh menjadi semakin banyak
  • Kemarahan para calon yang tidak jadi
  • Tidak selalu mudah berterima kasih
  • Kecurigaan yang tiada henti
  • Mundur, diturunkan rakyat atau di-“impeached”?
  • Jika segalanya dianggap jelek atau gagal
  • Mestinya presiden bisa melakukan, mengapa “tidak tegas”?
  • Harga yang harus dibayar pemenang pemilihan presiden
  • Jika semua dianggap janji kampanye
  • Penyusunan kabinet: media punya ulah, presiden kena getah
  • Presiden dipilih rakyat lebih dari 60 persen, mengapa “takut” kepada DPR dan koalisi?  — ini kasus SBY, Jokowi menang dengan margin 8 persenan melawan Prabowo Subianto
  • Keputusan dan pilihan kebijakan tidak selalu mudah
  • Kata-kata bisa sangat kasar dan kejam
  • Pers, bisa sangat kritis, dan minir, tetapi juga ada baiknya
  • Yang disampaikan presiden sering digoreng dan ditanggapi secara keliru
  • Keluarga dan teman pun ikut jadi korban
  • Lain di luar negeri, lain di dalam negeri
  • Seorang presiden sering merasa sendiri
  • Sangat berbeda memimpin di era demokrasi dengan era otoritarian
  • Resep untuk bertahan harus tenang dan sabar

Ini perasaan Pak SBY. Kita bisa sepakat, bisa tidak. Bagaimanapun dia berhasil melewati 10 tahun menjadi presiden, dengan segala pencapaian dan kelemahan. Menurut saya ada baiknya juga Pak SBY sempat menulis banyak hal pengalaman selama menjadi presiden.  Semacam memori jabatan. Dia tak mendapatkannya ketika pertama kali menduduki jabatan itu, karena hubungan dengan presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, memburuk. Hubungan itu belum cair sampai kini.

Dari buku seperti ini, kita bisa belajar bagaimana pergulatan pengambilan keputusan yang harus dilakukan presiden.

Saya termasuk yang tidak menduga bahwa Jokowi dihadapkan pada situasi ini begitu cepat, yang kalau dia salah mengambil keputusan akan menggerogoti popularitasnya. Jokowi mengatakan dia tidak peduli soal popularitas saat ambil keputusan. Itu dia sampaikan saat menaikkan harga bahan bakar minyak. Bisa jadi, apalagi dia masih punya waktu empat tahun lebih untuk memperbaiki kinerja dan citra.  Harga BBM pun sudah disesuaikan dengan harga keekonomian pasar dan kurs rupiah terhadap dolar AS. Untuk sementara ini turun.  

Tapi, keputusan soal kapolri mungkin tidak bisa dianggap enteng. Ini barometer keseriusan Jokowi atas komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Dunia juga melihat, dan ini bisa menjadi skandal. Noda hitam.

KPK bukannya malaikat. Salah satu ketuanya, Antasari Azhar kini mendekam di penjara. Ketua saat ini, Samad, pernah di”sidang” soal pelanggaran etika di muka publik, disiarkan dua stasiun televisi berita. Live. Tapi, persepsi publik lebih percayai KPK ketimbang DPR yang mendukung Budi Gunawan. KPK juga lebih dipercaya ketimbang institusi polisi. Jika Jokowi menempatkan dirinya bersama DPR dan Polisi, maka dia berisiko berhadapan dengan publik pemilihnya.

Jokowi bisa saja tak peduli, dan memilih membangun reputasi lewat kinerja pembangunan ekonomi. Dengan konsep bervisi maritim dan sebagainya. Inisiasi sejumlah proyek infrastruktur. Mega proyek. Selain bermanfaat, banyak jebakan pula dalam ratusan triliun pekerjaan. KPK yang tidak dihiraukan kali ini, tentu tidak akan tinggal diam. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!