Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

EPA

Kalau pembela HAM Yap Thiam Hien masih hidup, apa yang akan ia lakukan untuk Nenek Asyani yang diduga mencuri kayu bakarnya?

Siapa yang hari ini masih menghujam adagium Fiat Justisia Et Pareat Mundus hingga ke sumsum tulangnya?

Kata-kata itu, di Indonesia, selalu mengingatkan saya kepada figur tegas Yap Thiam Hien. Ia, barangkali sampai hari ini, masih menjadi figur paling keramat dalam sistem peradilan dan hukum di Indonesia.

Omongan ini tentu bukan sekedar asal. Arief Budiman pernah menjuluki Yap sebagai seorang “triple minority” di Indonesia, yaitu Tionghoa, Kristen, dan jujur.

Beberapa minggu terakhir rasa keadilan publik seolah diuji. Kita diajak melihat sebuah panggung besar di mana aparatur hukum kita mengadili seorang nenek yang dituduh mencuri kayu.

Nenek itu bernama Asyani. Ia dituduh mencuri tujuh potong kayu jati dan dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.

Nenek Asyani tidak sendiri sebelumnya juga ada Mbah Harso yang terancam dihukum dua bulan penjara karena melanggar Undang-undang No 5/1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati Ekosistemnya, dan Undang-undang No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ia baru saja menerima vonis bebas dari Pengadilan Negeri Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, Selasa, 17 Maret.

Kakek  yang berprofesi sebagai petani ini dituduh menebang dan mencuri kayu di Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan. Harso kemudian dinyatakan tidak bersalah setelah fakta-fakta persidangan tidak bisa membuktikan dakwaan terhadapnya.

Menjadi menarik dua kasus pencurian kayu ini terjadi di Jawa dan menimpa kelompok rentan usia tua. Sementara pembalakan liar yang masif dengan skala besar di pulau luar Jawa hampir tidak pernah ada gaungnya.

Sebenarnya apa itu keadilan? Kita boleh berbusa-busa berusaha untuk mendefinisikan kata itu dari perspektif filosofis, tapi keadilan tentu bisa dirasakan.

Adilkah sebuah sistem menjerat dan dengan keras menghajar kaum miskin, tapi begitu tumpul dan terkesan tak berdaya terhadap kaum yang mapan? Di sini intervensi dianggap sebagai sikap heroik, padahal ia menjadi bukti bahwa sistem kita tidak bekerja dengan baik. 

Kasus ini menjadi perhatian publik hingga membuat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meminta agar Nenek Asyani diberikan penangguhan penahanan.

Tapi apakah hal ini akan terus menerus dilakukan? Setiap ada ketidakadilan, akan ada figur lain yang mengintervensi agar kasus itu ditangguhkan atau dihentikan. Jika itu terus terjadi, lantas apa guna aparat hukum dan sistem peradilan di negara ini?

Kembali saya mengingat sosok Yap yang tanpa kompromi membela kaum minoritas. Saat menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Dari laman Wikipedianya dituliskan, pada era Sukarno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.

Keadilan yang dicontohkan Yap adalah keadilan dengan dasar kemanusiaan, ketika ia dulu keluar dari Baperki karena organ itu cenderung mendekat ke kelompok kiri, Yap justru menjadi pembela kelompok ini ketika mereka dinistakan.

Beberapa pelajar sedang memegang poster bertuliskan "Mafia Hukum" saat menggelar protes anti mafia di Jakarta, 19 November 2009. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Yap menjadi pembela para tersangka G30S (Gerakan 30 September yang sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia) seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Tentu ini bukan perkara Yap pro Komunis atau bukan, tapi masalah kemanusiaan.

Yap membela melulu karena ia seorang advokat dan seorang advokat secara profesional mesti memberikan keadilan setinggi-tingginya di hadapan hukum.

Kini kita diberikan pilihan-pilihan mudah, Nenek Asyani dan Mbah Harso adalah potret buram betapa peradilan kita sebenarnya butuh pembenahan. Joko Widodo ketika terpilih menjanjikan perbaikan dalam sistem hukum di Indonesia.

Alih-alih menepati janji, ia justru diam saja dan tidak komentar ketika Polycarpus dibebaskan. Padahal poin penuntasan kasus Munir merupakan salah satu janji kampanyenya.

Kini pertanyaannya sederhana apakah pemerintah ini masih berkomitmen pada penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu, ataukah ia keras menghujam kepada yang lemah tapi melempem terhadap yang kuat.

Kita tentu ingat bagaimana putra seorang mantan Menteri yang menabrak beberapa orang dan balita hingga tewas, dihukum sangat ringan dan mengusik rasa keadilan.

Jika dibandingkan cara aparat memperlakukan anak menteri tersebut dengan cara mereka memperlakukan Nenek Asyani dan Mbah Harso, orang paling lemah pikiran pun saya kira bisa menilai mana keadilan dan mana yang bukan.

Kini kredo hukum, “Fiat Justisia Et Pareat Mundus,” barangkali mesti dipikirkan ulang maknanya. Kalimat yang bermakna hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun dunia harus binasa, terlalu komikal untuk diberlakukan di negeri ini. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!