Pilihan perempuan: Nikah dini atau kembangkan diri

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pilihan perempuan: Nikah dini atau kembangkan diri

EPA

Perempuan layak mendapatkan kebebasan untuk memilih hidupnya. Perempuan berhak mendapatkan hak untuk beroleh pendidikan tinggi dan pekerjaan dan keterampilan tanpa harus diikuti oleh buruan perjodohan.

Sewaktu saya kelas tiga SMA, saya menghadiri sebuah pesta pernikahan di kampung halaman saya, Nias Selatan.

Tentu, menghadiri resepsi demikian adalah sebuah hal wajar, tetapi bayangkan ketika kau mengetahui bahwa pengantin perempuannya adalah seorang anak kelas dua SMP, umurnya kira-kira 13 tahun. Umur di mana payudara seorang gadis pun belum tumbuh sempurna, demikian pula dengan organ reproduksi lainnya. Belum lagi jika berbicara mengenai kedewasaan mentalnya.

Meskipun saya jarang berinteraksi dengan Ita, saya mengenal Ita, ia tetangga saya. Sebelum dijodohkan, saya naik mobil jemputan yang sama dengan dia ketika pergi ke sekolah. Fakta bahwa gadis yang lebih muda dari saya itu membawa kegetiran sengit akan ketidakadilan, yang kemudian terlupakan. Setidaknya untuk saat itu. 

Tak lama setelah Ita menikah, saya pergi ke Bandung untuk kuliah. Saya melanjutkan hidup saya dan melupakannya. Saya lulus dengan nilai baik dan bekerja di salah satu perusahaan swasta. Saya memiliki kemampuan sebagai hasil belajar selama bertahun-tahun. Saya tidak menikah dan saya menikmati hidup dengan mengeksplorasi berbagai pengalaman yang dapat mengembangkan diri saya sebagai perempuan dan sebagai manusia.  

 

Menguji syarat minimum menikah 

Lalu saya mendengar judicial review UU 1974 yang mengatur tentang perkawinan yang diajukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak. 

Kedua pihak tersebut menggugat karena dalam UU tersebut disebutkan bahwa perempuan dapat menikah ketika berumur 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Usia 16 dipandang sebagai usia yang terlalu dini untuk menikah dan dengan demikian berpengaruh pada kesehatan reproduksi dan faktor kesehatan lainnya.

Di mata UU Pernikahan itu jelas pemerintah melegalkan perempuan untuk menikah muda. Meskipun tidak berbicara mengenai resiko kesehatan (biarlah ahli-ahli yang berbicara mengenai itu), saya setuju jika perempuan—seluruh perempuan Indonesia—menikah di usia minimal 18 tahun seperti yang diajukan penggugat, atau bahkan menikah di usia berapapun yang mereka inginkan. 

Perempuan layak mendapatkan kebebasan untuk memilih hidupnya. Perempuan berhak mendapatkan hak untuk beroleh pendidikan tinggi dan pekerjaan dan keterampilan tanpa harus diikuti oleh buruan perjodohan dan tetek-bengek lainnya.

Budaya berbagai suku masyarakat di Indonesia memang sangat kental dengan praktek perjodohan seperti di kampung halaman saya. Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review itu pun tidak semerta-merta akan menggugurkan rangkaian adat dan tradisi ribuan etnis di nusantara ini. 

Perjodohan dan pernikahan muda mungkin akan tetap ada, tapi jika MK mengabulkan gugatan itu, paling tidak perempuan-perempuan di Indonesia beroleh kepastian hukum yang menghindarkan mereka dari pernikahan dini. Mereka memiliki basis hukum dan perlindungan yang sah jika suatu waktu ada yang ingin menolak menikah muda.

MK tidak akan mengembalikan Ita dan ribuan perempuan lainnya yang menikah muda. Tidak pula perempuan-perempuan yang meninggal akibat melahirkan di usia dini. Namun satu hukum ini akan menyelamatkan perempuan-perempuan di generasi mendatang di mulai dari sekarang. Di mulai dari saat MK mengambil keputusan untuk menyetujui gugatan ini.

 

Apa kabar Ita?

Saya teringat Ita. Gadis itu bahkan tidak perlu menunggu berusia 16 tahun untuk menikah. Saya tidak tahu apakah ia mengalami gangguan reproduksi karena menikah muda. Terakhir saya menanyakan kabarnya dengan saudara di kampung beberapa waktu silam, ia kini telah kembali ke rumah orangtuanya. Suaminya pergi ke kota. Kegiatan sehari-harinya pergi ke ladang membantu orangtuanya.

Saya membayangkan jika saja dia tidak dipaksa menikah waktu itu, mungkin dia dapat memperoleh kesempatan seperti yang saya dapatkan. Ia dapat menyelesaikan pendidikan dan beroleh ketrampilan untuk menjamin hidupnya tanpa harus bergantung kepada pria karena pria yang menjadi suaminya pun meninggalkan ia. Ita dapat bekerja dan beroleh kehidupan yang mungkin dulu ia impikan, seperti saya. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!