Fesyen masa kini, racun lumbung padi

Rika Novayanti

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Fesyen masa kini, racun lumbung padi

EPA

Mengekor fesyen saja tidak cukup. Tahukah kamu, menurut Greenpeace, sebagian produk fesyen ini tak ramah lingkungan. Cek produk apa saja yang mendapat sorotan para aktivis lingkungan.

Coba periksa isi lemarimu, adakah tersimpan produk keluaran GAP atau Nike?

Kalau ada, mungkin secara tidak langsung kamu telah berkontribusi terhadap limbah-limbah di Sungai Citarum. 

Laporan terbaru Greenpeace Indonesia menemukan bahwa PT Gistex — salah satunya menyuplai produk tekstil dengan merek retail GAP — merupakan salah satu perusahaan yang terindikasi membuang limbah ke aliran Sungai Citarum di Desa Lagadar, provinsi Jawa Barat.

Setali tiga uang, GAP juga enggan berkomitmen untuk membersihkan rantai pasokannya dari praktik pencemaran.

GAP bukan satu-satunya perusahaan yang enggan berkomitmen untuk membersihkan mata rantai pasokan mereka dari praktik pencemaran. Siapa sangka kalau baju necis besutan desainer kenamaan macam D&G, Giorgio Armani, dan Versace juga belum memiliki kesadaran untuk membersihkan rantai pasokan mereka.

Lain lagi dengan Nike, komitmennya untuk membersihkan rantai pasokan dari bahan kimia berbahaya, tidak menunjukan kemajuan yang menggembirakan. Oleh karena itu, perusahaan yang pada akhir tahun lalu mendapat keuntungan bersih hingga US$ 698 juta ini mendapat prediket Greenwashers, semacam kebohongan hijau.

Artinya, Nike telah gagal membuktikan ucapannya untuk melaksanakan komitmen yang telah dibuat pada 2011.

Nike dan GAP merupakan dua contoh merek pakaian yang dipecundangi oleh Adidas, Puma, H&M, Uniqlo, Levi’s, Esprit, dan Mango. Ketujuhnya — secara bervariasi mulai dari 2011 hingga 2014 — telah mengambil inisiatif untuk berkomitmen membersihkan rantai pasokannya dari bahan kimia berbahaya. Termasuk juga Burberry yang pada tahun lalu akhirnya mengikuti jejak untuk mengambil komitmen detoks.

(BACA: Masked models highlight Indonesian environmental devastation)

Meski demikian, komitmen ini tak sekonyong-konyong berarti seluruh pakaian keluaran merek-merek tersebut terbebas dari bahan kimia berbahaya. Perubahan tak terjadi cepat karena membutuhkan banyak waktu dan usaha luar biasa untuk mentransformasi kebijakan hingga implemetasi dalam gurita bisnis mereka.

Komitmen yang dikenal dengan Toxic Free Fashion 2020 ini merupakan komitmen untuk menghilangkan penggunaan bahan kimia berbahaya, dan menghentikan pembuangan limbah berbahaya dari seluruh rantai pasokan pada 1 Januari 2020. 

Mengapa penting untuk kita?

Gambar pencemaran di Sungai Citarum, Bandung, Jawa Barat, 6 Juli 2012. Sungai Citarum disebut sebagai salah satu sungai terkotor di dunia karena tercemari oleh limbah industri dan sampah-sampah rumah tangga. Foto oleh Salvozesta/EPA

Karena pakaian-pakaian kerenmu itu bisa jadi yang mencemari air minummu sendiri!

80% sumber air minum di  Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) berasal dari Sungai Citarum. Sementara Citarum menyandang predikat sebagai sungai paling kotor di dunia, salah satunya lantaran pabrik-pabrik tekstil membuang limbahnya ke sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini.

Bagaimana pemerintah bisa membiarkan sungai yang menjadi sumber air baku memasok air paling kotor di dunia?

Lebih dari itu, Sungai Citarum memiliki fungsi penting dalam membangun ekonomi, tak hanya bagi masyarakat di sekitar Citarum yang bertani atau menjadi nelayan, tetapi juga bagi perekonomian nasional.

(BACA: Saatnya menyelamatkan Sungai Citarum)

Daerah aliran sungai Citarum saat ini didominasi oleh industri manufaktur seperti tekstil, kimia, kertas, kulit, logam, farmasi, hingga produk makanan dan minuman. Industri tekstil di sepanjang Citarum telah berkontribusi terhadap 65% industri tekstil nasional, sementara seluruh industri di sepanjang Citarum telah berkontribusi hingga 20% dari Produk Nasional Bruto (PNB) Indonesia.

80% sumber air minum di Jabodetabek berasal dari Sungai Citarum. Sementara Citarum menyandang predikat sungai paling kotor di dunia, lantaran pabrik-pabrik tekstil membuang limbahnya ke sini.

Seperti halnya revolusi industri di negara maju, industrialisasi di Indonesia juga menumbuhkan masalah lingkungan yang tidak terkontrol. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat pada 2007 mengeluarkan data sebanyak 359 perusahaan di empat wilayah administrasi sepanjang aliran Citarum Hulu, berkontribusi besar terhadap pembuangan arsen, cadmium, krom, timbal, tembaga, dan seng ke badan sungai. 

Bahkan di beberapa wilayah, krom heksavalen (Cr6+), tembaga (Cu), Zinc (Zn), timbal (Pb), merkuri (Hg), mangan (Mn), dan besi (Fe) ditemukan dalam konsentrasi membahayakan. Kontaminasi logam berat dari industri tekstil ini berasal dari proses pewarnaan dan pencetakan.

Sementara proses penyempurnaan juga membuang senyawa organo metalik seperti anti-jamur, anti-bau, dan pemadam api yang sangat mungkin mengandung timah, antimoni, dan zink.

Apa artinya kontaminasi logam tersebut selain membantu menghasilkan pakaian-pakaian lucu di lemari kita? Konsentrasi tinggi dalam logam berat dapat membunuh organisme yang tidak toleran terhadap logam berat, dalam kasus lain logam berat dengan level rendah dapat mengganggu fisiologi, metabolisme, atau merusak organ.

Logam berat merupakan bahan kimia mematikan, manusia yang terpapar logam berat yang bersifat karsinogenik dalam jangka panjang dapat terkena kanker jaringan. 

Padahal, kita tak hanya meminum air olahan dari Citarum, tetapi juga mengonsumsi sumber-sumber makanan yang bergantung pada air Citarum, salah satunya padi produksi Rancaekek.

Lumbung padi Rancaekek, riwayatmu kini

Seorang petani sedang bekerja di sebuah petak sawah di Karawang, Jawa Barat, 3 Februari 2012. Selain Karawang, Rancaekek juga merupakan lumbung padi. Foto oleh Mast Irham/EPA

Wilayah Kecamatan Rancaekek merupakan salah satu lumbung padi terbesar di Kabupaten Bandung, namun pencemaran menjadi semakin tak terkendali sejak 1978 berhasil mengurangi produktifitas lahan, bahkan tak jarang pemilik mengonversi sawahnya lantaran gagal panen.

Adapun sawah-sawah yang tercemar ini meliputi areal seluas ± 415 Ha yang tersebar di empat wilayah desa, yaitu Desa Linggar (120 Ha), Desa Sukamulya (40 Ha), Desa Jelegong (175 Ha), dan Desa Bojongloa (80 Ha).

Pusat Penelitian Tanah Departemen Pertanian melakukan pengamatan terhadap sifat tanah di kecamatan Rancaekek pada tahun 2000. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan natrium dan daya hantar listrik akibat akumulasi logam berat di areal tersebut.

Satu dekade kemudian, pada 2011, BPLHD Provinsi Jawa Barat juga melakukan uji kualitas tanah di wilayah yang sama. Uji kualitas tanah tersebut menemukan bahwa produktivitas lahan sawah yang tercemar turun menjadi kurang dari 10% jika dibandingkan dengan lahan yang tidak tercemar, atau menjadi 0,5 ton—0,6 ton/ ha dari 5 ton—7 ton/ ha.

Padahal Pemerintah Kabupaten Bandung menargetkan produksi 508.241 ton gabah kering giling (GKG pada tahun ini). Sementara produksi GKG pada januari 2015 mencapai 49.855 ton, yang 40,41%-nya atau sebesar 20.148 ton berasal dari Rancaekek.

Bayangkan kalau 203.296 ton GKG kabupaten Bandung, atau 40% dari total target produksi berasal dari Rancaekek, dan merupakan campuran dari padi yang terkontaminasi logam berat.

Lalu GKG yang terkontaminasi tersebut didistribusikan ke konsumen. Maka konsumen pun secara tak sadar telah mengonsumsi cemaran logam berat yang mengendap di padi.

Kalau begini terus, bukan tidak mungkin tragedi Minimata dapat terjadi di Indonesia. Minimata adalah kota di Jepang. 900 orang meninggal dan 2.265 orang menderita karena terkontaminasi merkuri di Minimata pada 1956. Diperkirakan butuh 50 tahun hingga ikan di Minimata aman untuk dikonsumsi kembali.

Penelitian telah dilakukan, bahkan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Namun, adakah tindakan mitigasi atas yang sudah terjadi, atau kiranya tindakan pencegahan agar persoalan ini tak terus terjadi? 

Secara umum, model kebijakan pengendalian pencemaran air di Indonesia masih mengandalkan pendekatan atur dan awasi (command and control). Melalui pendekatan ini pemerintah menerapkan baku mutu dan persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha, serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum. 

Kelemahan umum pendekatan ini adalah kurangnya kemampuan untuk mendeteksi pelanggaran serta kemampuan untuk memberi tanggapan cepat dan pasti atas pelanggaran yang ditemukan.

Padahal pendeteksian pelanggaran sebenarnya dapat dilakukan melalui pelaporan mandiri oleh masyarakat, tidak hanya melalui pengawasan pemerintah. Namun, apa yang terjadi ketika masyarakat melapor?

Abah Dayat, dan Fazril, cucunya. Abah Dayat dulu berprofesi sebagai nelayan, kemudian ia kini menjadi pemulung. Foto oleh Greenpeace.

Sebagaimana diceritakan oleh Adi M. Yadi, Ketua Paguyuban Warga Peduli Lingkungan yang bergerak dalam advokasi dan konservasi lingkungan sawah warga yang tercemar limbah, adalah Abah Dayat yang melapor kepada pemerintah desa: 

“Atos sering laporan, cuman di data weh jeng di janji-jani hungkul. Cenahmah aya ganti rugi itu ieu ti perusahaan, tapi abahmah teu narima sapser oge. Meren duitnamah didalahar kunu palinterweh,” kata Abah Dayat dalam bahasa Sunda. (Sudah sering laporan cuma hanya didata saja dan dijanji-janjikan. Katanya ada ganti rugi ini-itu dari perusahaan, tapi Abah tidak pernah menerimanya sepeserpun. Mungkin uangnya dimakan oleh orang-orang pintar.)

Cerita lengkap tentang Abah Dayat baca di kolom Greenpeace.  

Pembuangan air limbah melalui saluran ilegal dengan cara membuang limbah ke lokasi yang tidak ditentukan dalam izin dapat diklasifikasikan dalam kejahatan dumping. Meski demikian, pendekatan atur dan awasi menyulitkan pemerintah daerah setempat dalam hal pembuktian kejahatan ini.

(BACA: Air bersih, riwayatmu kini)

Berdasarkan kenyataan tersebut, Greenpeace berpendapat prinsip “kontrol polusi” yang dijalani pemerintah selama ini telah gagal melindungi lingkungan dan manusia. Batas jumlah unsur pencemar yang dibolehkan keberadaannya tak dapat menjadi jaminan mengingat jumlah racun persisten yang terus terakumulasi di alam.

Lagi pula faktanya, pada saat ini 150.000 lebih bahan kimia yang belum tentu aman telah beredar, dan industri terus menciptakan sekitar 1.500 bahan kimia baru setiap tahunnya. Sementara Indonesia baru mengatur 264 bahan berbahaya dan beracun (B3).

Karena isi lemari kita berhak atas fesyen yang trendi, kekinian, dan tak merusak lingkungan.

Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma dari hanya mengandalkan pengaturan pembuangan akhir menjadi pencegahan, eliminasi, dan substitusi materi racun dari sumber awalnya, atau dengan kata lain, menciptakan produksi bersih.

Apalagi, hingga saat ini pemerintah atau lembaga manapun di Indonesia tidak ada yang memiliki basis data pabrik yang membuang limbah, ke mana, dan apa saja buangannya.

Sebagai contoh, saat ini Republik Rakyat Tiongkok melalui lembaga non-profit The Institute of Public and Environmental Affairs (IPE) telah memiliki basis data polusi untuk memonitor kegiatan perusahaan. Data seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. 

Apakah fesyen dan bahan makanan kita harus terus menerus terkontaminasi?

Tentu tidak. Sebab itu, pemerintah harus berkomitmen mewujudkan nol pembuangan bahan kimia berbahaya dan meracun, serta menetapkan target dan rencana untuk mencapainya. Selain itu, pemerintah harus menunaikan hak publik atas informasi pengelolaan bahan kima berbahaya dan beracun sebagaimana dilakukan oleh IPE.

Karena isi lemari kita berhak atas fesyen yang trendi, kekinian, dan tak merusak lingkungan. —Rappler.com

Rika Novayanti adalah mantan wartawan ekonomi di Bisnis Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan Greenpeace Indonesia. Rika tertarik dengan masalah lingkungan dan perempuan. Follow Twitter-nya di @RikaNova atau kunjungi blognya di www.rikanova.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!