Legislator tuan rumah yang mengecewakan sahabatnya

Adi Mulia Pradana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Legislator tuan rumah yang mengecewakan sahabatnya
Tingkah laku anggota DPR RI saat penyelenggaran Parlemen Asia Afrika mengecewakan blogger ini. Apa penyebabnya?

Sudah seharusnya, kita menghargai mereka yang datang dari jauh, apalagi sampai meninggalkan berbagai aktivitas yang semestinya dikerjakan di negara asal. 

Demikian kata saya dalam hati saat sekitar pukul 10:30 WIB puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) sudah keluar dari ruang paripurna dalam acara Parlemen Asia-Afrika, pekan lalu.

Ini lebih dari sekadar optimalisasi anggaran negara yang sudah dikeluarkan penyelenggaraan acara ini. Lebih jauh dari itu, saya khawatir, tabiat tak mau sabar mendengar dan menyimak akan membuat bangsa kita diremehkan di luar negeri.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih dalam, saya akan ceritakan semuanya dari awal.

Pada malam sebelumnya

Bagi saya, acara Parlemen Asia-Afrika (PAA), yang menjadi salah satu agenda dalam peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60, ini menarik dan perlu untuk diliput.

Merujuk momen pelantikan anggota DPR masa bakti 2014-2019, terdapat pengamanan yang sangat yang hampir membuat saya tak bisa meliput saking terlalu ketatnya penjagaan. 

Saya kemudian berpikir bahwa hal serupa akan terjadi dalam PAA. Ada delegasi parlemen negara sahabat dan tentu saja Presiden Joko “Jokowi” Widodo beserta para menterinya. Juga jangan lupa, mantan Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY).

Saya pun memilih tidak tidur agar benar-benar dapat datang ke DPR pagi-pagi sekali, Kamis, 22 April, 2015. Saya dan berasumsi bahwa sebelum jam 07:30 pagi pengamanan tidak akan amat terlalu ketat.

Pada kenyataannya

Lalu datanglah hari itu. Acara seremonialnya sebetulnya bukan membosankan sama sekali. Meski tak menyampaikan kalimat yang konfrontatif seperti saat membuka KAA, pidato Jokowi dalam PAA kembali menegaskan yang diucapkannya dalam pembukaan KAA tanpa terkesan mengulang. Tapi kekecewaan mulai datang saat Jokowi selesai berpidato dan meninggalkan PAA.

Wajar jika Jokowi meninggalkan perhelatan, karena dirinya masih harus mengurus KAA (dan tentu saja negara ini), sehingga usai berpidato dirinya langsung meninggalkan kompleks DPR. Tapi seharusnya legislator “separtai” tak perlu ikut-ikutan beranjak pergi.

Apalagi sejak awal dimulai acara (bisa saja saya salah hitung saking ngantuknya), legislator DPR (tanpa menghitung Dewan Perwakilan Daerah atau DPD) yang hadir dibawah 300. Maka selepas Jokowi usai berpidato, semakin terasa kosong ruangan PAA karena hampir semua legislator PDI-Perjuangan beranjak.

Tidak berhenti sampai di situ, kemudian timbul snowball effect karena fraksi lain ikut-ikutan beranjak. Hanya Partai Demokrat yang belum beranjak, bisa jadi karena (terpaksa) harus menunggu SBY berpidato.

Dan benar, seusai SBY berpidato, fraksi Demokrat mulai meninggalkan tempat. Hanya satu orang anggota Demokrat tak beranjak, yaitu Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) Nurhayati Ali Assegaf sendiri yang tentu tak mungkin meninggalkan tempat.

Lima pimpinan DPR pun nyatanya juga tak berusaha lebih lama di ruang utama karena ikut meninggalkan tempat. Saya tahu pimpinan DPR itu “tuan rumah”, bisa jadi harus cek berbagai hal, tapi saya pikir (dan etisnya) kelima pimpinan tetap berada di ruang paripurna sekalipun hanya mendengar pidato-pidato berbagai bahasa dari perwakilan legislator negara sahabat.

Pimpinan DPR seharusnya bisa menunjuk siapapun untuk mengecek persiapan di sesi selanjutnya, tak harus dirinya, demi menghargai kehadiran tamu undangan.

Memasuki jam 11:30 siang sudah sangat sepi dari anggota DPR. Saya khawatir para legislator negara-negara sahabat yang hadir membatin, “kok ini jadi sepi, pada kemana legislator tuan rumah?”

Saya berusaha dengan rasa bersalah dan malu tetap berusaha menyimak tiap-tiap pidato dari perwakilan negara lain.

Kebetulan beberapa negara menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikan pidato. Mengingat kembali pelajaran Bahasa Arab di sekolah agama saat saya Sekolah Menengah Pertama (SMP), sebisa mungkin saya mencoba pahami tiap-tiap perwakilan parlemen dari negara-negara Arab ini sebetulnya berbicara tentang apa.

Hingga akhirnya acara benar-benar selesai sekitar jam 1 siang dan saya segera bergegas ke ruang komisi untuk meliput setiap ucapan dalam rapat.

Malu dan ironi

Selama ini anggota DPR mengeluhkan sebuah dilema. Di satu sisi mereka dituntut lebih banyak turun ke daerah pemilihan (dapil) sehingga kini ada lima kali masa reses, tidak lagi empat.

Tapi di sisi lain dengan reses makin banyak, waktu untuk “murni” membahas undang-undang juga makin sedikit. Padahal juga tahun ini target program legislasi nasional (prolegnas) sudah amat sedikit yaitu 37 undang-undang.  

Tapi hingga ketikan ini dibuat (Jumat 24 April, hari terakhir persidangan sebelum kembali reses hingga pertengahan Mei 2015), hanya satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang benar-benar diketahui publik sedang dibahas: RUU Larangan Minuman Beralkohol.

Memang benar ada RUU BUMN, RUU Penanggulangan Bencana, RUU JPSK, Revisi UU Migas, dan legislasi lain. Tapi signifikansi pembicaraan tak sekuat dan seintensif (serta sekontroversial) RUU Larangan Minuman Beralkohol.

Bisa jadi RUU Larangan Minuman Beralkohol menjadi pembicaraan intensif karena bersamaan dengan hadirnya peraturan sejenis di tingkat Peraturan Menteri.

Benar tak semua negara Asia Afrika datang ke Jakarta-Bandung dalam perayaan KAA. Benar, lebih sedikit lagi negara yang legislatornya datang ke PAA. Tapi mereka pun juga mengorbankan waktunya untuk tak membahas proses legislasi mereka sendiri demi hadir ke PAA.

DPR kita sering bercuap mengeluhkan keterbatasan waktu membuat UU. Tapi mereka sendiri tak sungguh-sungguh menghargai parlemen negara lain.

Andai hingga jam 1 siang itu para legislator kita tetap sabar (meski mungkin terpaksa) tinggal di tempat duduknya, mungkin para undangan akan jauh lebih respek pada Indonesia.

Saya tak bisa membayangkan saat perwakilan suatu negara maju ke podium pada sekitar jam 11:30, di podium dirinya tetap tetap membaca teks pidato yang disiapkannya tapi sejauh matanya memandang, ruangan sudah sangat kosong.

Mereka mungkin (khawatirnya) merasa tak dihargai sudah jauh-jauh ke Senayan. Ketua DPR berwacana “Parlemen Selatan-Selatan” dengan sentralnya adalah Parlemen Indonesia. Tapi bagaimana niat itu bisa terealisasi jika untuk duduk mendengar rapat saja tak bisa.

Saya bisa saja lebih membahas minimnya pemberitaan parlemen Asia Afrika di situs resmi DPR, tapi apa iya saya perlu membahas itu?

Atau jangan-jangan, karena animo pemberitaan resmi dari DPR kurang optimal memberitakan PAA (dan justru lebih optimal diberitakan WikiDPR), para legislator kurang bersemangat untuk benar-benar secara paripurna menghargai kehadiran legislator negara sahabat?

Padahal saya merasa PAA bisa menjadi tonggak untuk menunjukkan maksimalnya DPR RI berparlemen. Saya ingin DPR terbantu membuat citranya lebih baik lagi melalui dukungan peliputan kami. 

Adi Mulia Pradana adalah kurator berita dan peliput lapangan untuk WikiDPR, sebuah organisasi pemuda pengawas parlemen. Ia bisa disapa di @adimuliapradana. Pandangan yang disampaikan dalam opini ini adalah melalui sudut pandang penulis, dan tidak mewakilkan WikiDPR sebagai organisasi.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!