Mukjizat Mary Jane

Ade Jun

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mukjizat Mary Jane

GATTA DEWABRATA

Bagi pengedar, penulis dukung sepenuhnya untuk didor. Namun bila menimbang barang bukti dan seluruh petunjuk, MJ bukan pengedar.

Senin, 31 Maret 2015, terik surya dan udara segar Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta, menyambut kedatangan saya dan rombongan dua personel Phillipines’ Drug Enforcement Agency (PDEA), serta beberapa orang perwakilan Kedutaan Besar Phillipines untuk RI. 

Tepat pukul 09.00 WIB, rombongan PDEA tiba di LP Wirogunan guna menginterogasi terpidana Mary Jane (MJ), terkait pengungkapan sindikat dua kg heroin yang mengakibatkan dirinya dijatuhi vonis hukuman mati. Di luar rombongan yang sebutkan di atas, ada pula jaksa peneliti dan pengacara yang selama ini menangani kasus MJ.

Adapun keberadaan saya bersama dua personel BNN lainnya di LP Wirogunan pada pagi itu, tak lebih hanya bertugas mendampingi dua personel PDEA : Valente Fortunato Carino dan Joefrey Bellin. Tidak ikut campur atau terlibat dalam proses upaya hukum lanjutan MJ. 

Dus, ketika 3 hari sebelumnya mendapat perintah atasan untuk tugas pendampingan ini, saya langsung bersedia. Meski sempat terbesit sinis, kok baru sekarang dilakukan giat pengungkapan jaringan Mary Jane? Kemana saja mereka selama 5 tahun ini? Apa ini cuma akal-akalan Kedubes untuk mengulur-ulur eksekusi hukuman mati?

Namun sudahlah, perintah harus dijalankan. Keikhlasan menjalankan tugas diperkuat dengan memori ketika saya didampingi sangat baik oleh pihak PDEA dan Makati Police Department waktu bertugas di Manila pada tahun lalu. Hitung-hitung balas budi lah.

“MJ itu innocent courier, Jun,” ujar Bimo, rekan saya yang ikut tugas pendampingan ini. Analisis itu tersimpul dari berkas yang telah dipelajarinya sebelum kami berangkat ke Yogyakarta. Namun saya langsung merespon dengan skeptis. 

Tak semudah itu menggolongkan seorang terpidana kurir narkotika sebagai innocent courier. Maklum, lebih dari 50% kurir yang pernah kami tangkap mengatakan tidak tahu apa-apa soal narkotika yang ditemukan padanya. Tameng pertama mereka adalah agar digolongkan sebagai korban atau innocent courier. 

Berwajah Indonesia, berbahasa Indonesia

Mary Jane mengenakan kebaya dalam peringatan Hari Kartini di LP Wirogunan, Yogyakarta, 21 April 2015. Foto oleh Bimo Satrio/EPA

Rasa skeptis ini mulai diuji, ketika seorang wanita berparas layaknya orang Indonesia, berkulit sawo matang dengan tinggi tubuh tak lebih dari 150 cm, datang menghampiri kami. Sambil sesekali berlari kecil, wanita bersepatu kets dan kemeja biru ini kemudian men-sun tangan seluruh rombongan satu per satu layaknya anak SMA yang hendak berangkat sekolah. 

“Siapa nih anak?” gumamku pelan. 

“Itu Mary Jane, dul,” ketus Bimo. 

Perkiraan sosok MJ yang berwajah bule, kulit putih lengkap dengan rambut pirang atau merah seperti tokoh di Film Spiderman, pun langsung buyar seketika. Saya amati kembali wajahnya sejurus dia melepaskan jidatnya dari punggung tangan kanan saya.

“Selamat pagi, Pak. Apa kabar?” ujar MJ. 

Belum hilang rasa heran saya kenapa MJ bisa berbahasa Indonesia, sipir wanita LP yang merupakan pendamping MJ, langsung menjelaskan bahwa MJ memang sudah bisa mengucapkan banyak kalimat Bahasa Indonesia secara lancar karena selama kurang lebih 5 tahun ini MJ berbaur dan berteman dengan napi Indonesia.

Mary Jane disayang sipir dan napi LP Wirogunan

Bahkan, lanjut sipir itu, beberapa kali para napi dan sipir LP Wirogunan sempat patungan uang untuk MJ. Hasil patungan itu digunakan untuk membiayai tiket perjalanan dan akomodasi hotel keluarga dan kedua anak MJ agar bisa datang ke Yogyakarta sehingga bisa menjenguk MJ. 

“Saya sudah bertugas belasan tahun di LP ini, baru kali ini menjumpai anak asuh sebaik Mary Jane. Maka gak heran juga, kalau seluruh napi dan sipir di sini sayang sama dia,” imbuh sipir wanita berambut ikal yang telah dipenuhi uban tersebut.

Hmm, menarik nih untuk telusuri cerita anak ini. Bila semula berusaha untuk stay away dalam kasus ini hingga tugas pendampingan selesai, namun sifat kepo ini tak bisa lagi terbendung.  Saat itu juga saya langsung meminta izin kepada Joefrey, petugas PDEA yang menginterogasi MJ, untuk menerjemahkan Bahasa Tagalog yang diucapkan MJ nantinya selama pemeriksaan, ke dalam Bahasa Inggris. 

Sementara itu, Valente yang bertugas membuat sketsa gambar seorang wanita yang diduga menjadi bos MJ yang belakangan diketahui bernama Christine  (Maria Kristina Sergio, dikenal juga sebagai Mary Christine Gulles Pasadilla). Gayung bersambut, petugas Lapas juga mengizinkan saya masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Inilah kisah Mary Jane

Profesi asli Mary Jane adalah tenaga kerja wanita (TKW). Ia sempat beberapa bulan mencari nafkah menjadi pembantu rumah tangga (PRT) hingga ke Uni Emirat Arab guna membiayai kehidupan orang tua dan kedua anaknya.  MJ kembali ke Filipina lantaran dilecehkan secara seksual dari majikannya. 

Sampai akhirnya “malaikat” bernama Christine, datang menawarkan pekerjaan sebagai PRT di Malaysia. Christine sebenarnya bukan orang asing bagi MJ. Rumah mereka berdekatan. Keluarga MJ pun mengenal baik keluarga Christine. 

Sebelumnya, MJ mengenal Christine sebagai salah satu perantau yang berhasil dengan berbisnis alat kosmetik di Malaysia. Maka tak heran, bila MJ langsung mengiyakan ajakan Christine untuk bekerja di Malaysia.

21 April 2010, MJ dan Christine berangkat ke Malaysia. Begitu sampai, MJ dibawa Christine ke sebuah hotel dan tak langsung bekerja dengan alasan calon majikannya masih pergi liburan. Padahal saat itu, MJ hanya membawa 2 pasang pakaian dalam tasnya. 

“Itu kurang. Mari kita cari (beli) baju lagi untukmu,” ajak Christine.

Selama 3 hari berturut-turut, Christine dengan ditemani pacarnya berkulit hitam bernama Prince, terus membelikan MJ pakaian dan beberapa peralatan mandi. Saking banyaknya, tas bawaan MJ dari Filipina pun tak muat lagi. 

“Nanti saya minta pacar saya akan belikan tas baru buat kamu,” janji Christine. 

Kemurahan hati Christine, sempat membuat MJ curiga. Kecurigaan MJ semakin bertambah ketika Christine menyuruh MJ untuk ‘berlibur’ ke Yogyakarta, selama 7 hari, guna menghilangkan stress MJ setelah mendapat pengalaman buruk di UEA. 

Bahkan, tiket pesawat dan akomodasi selama di Indonesia telah disiapkan. Lebih lagi, Christine memberikan uang saku sebanyak US$ 500 kepada MJ untuk biaya hidup selama di sana. 

Malam sebelum berangkat ke Indonesia, seorang pria berkulit hitam yang mengaku adik dari Prince, datang ke hotel tempat MJ dan Christine menginap. Pria berperawakan kurus yang kemudian memperkenalkan diri bernama Ike itu, memberikan sebuah tas koper merah kepada MJ sebagai tempat menyimpan seluruh pakaian MJ untuk dibawa ke Indonesia. 

“Kok tas ini berat, padahal isinya kosong,” celetuk MJ. 

“Mungkin karena baru,” timpal Christine. 

Sejurus kemudian, MJ langsung membuka seluruh resleting tas, dan ternyata dia tidak menemukan apapun di tas tersebut. Setelah merasa yakin tas itu kosong, MJ pun memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam tas itu.

Oh iya, Christine juga memberikan nomor handphone seorang temannya yang tinggal di Yogyakarta kepada Marry Jane, untuk dihubungi setibanya di sana. Lantaran MJ tidak bisa berbahasa Inggris dan Indonesia, teman Christine itu yang akan menemani MJ jalan-jalan selama berada di Yogyakarta.

25 April 2010, MJ tiba di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, Indonesia. Begitu sampai di pemeriksaan x-ray, petugas bea cukai meminta untuk mengeluarkan isi tas koper merah yang dibawa MJ. Setelah seluruh baju dikeluarkan, petugas bea cukai juga meminta ijin untuk memotong kulit dinding koper tersebut, dan MJ mempersilahkan. 

MJ kaget melihat petugas bea cukai menemukan bungkusan alumunium foil di dinding tas tersebut, dan menemukan narkotika jenis heroin. Seketika itu pula, MJ tak berhenti menangis hingga dibawa ke kantor polisi guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Setuju Mary Jane salah

Ok, saya coba analisis ya. Perihal innocent courier, saya sepakat itu wewenang hakim untuk melontarkannya. Kacamata penyidik hanya melihat dalam frame barang bukti dan seluruh petunjuk. MJ bisa diancam 3 pasal : Pasal 112 ayat 2, Pasal 113 ayat 2, dan Pasal 114 ayat 2 UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Unsur yang terpenuhi : Membawa atau menguasai, mengimpor, dan menjadi perantara jual beli.

Unsur membawa atau menguasai, terpenuhi, karena dia tertangkap tangan dengan bukti saksi petugas bea cukai. Mengimpor, bisa terpenuhi karena memang dia yang membawa dari Malaysia ke Indonesia, meski harus dibuktikan kesadaran dan niat dia melakukan dari bukti cdr dan sms dari handphone miliknya, serta riwayat perjalanan di pasport. 

Menjadi perantara jual beli, mungkin juga terpenuhi apabila penyidik, jaksa dan hakim bisa membuktikan bahwa uang US$ 500 yang dikantongi MJ merupakan upah dalam proses jual beli yang dimaksud Pasal 114.

Jadi, 100% saya yakin bahwa MJ memang bersalah. Dalil tak tahu menahu soal heroin yang dia bawa, tidak bisa digunakannya untuk berkelit dari jeratan pasal 112 UU Narkotika. ‘Senjata’ para penegak hukum tindak pidana narkotika itu memang ganas membidik para pembawa narkotika, tak peduli dia memang hanya ‘korban’ atau tidak. 

C’mon dude, she’s just a courier

Namun, yang menjadi concern saya adalah perihal penjatuhan hukuman matinya itu! Memang, ancaman terberat dari Pasal 113 dan 114, adalah hukuman mati. Jaksa maupun hakim punya wewenang untuk menjatuhkan ancaman pemidanaan itu dalam penuntutan dan vonis. 

Bagi pengedar, saya dukung sepenuhnya untuk didor. Karena saya menganut tujuan pemidanaan relatif, agar terpidana tersebut tidak mengedarkan lagi narkotika dari dalam lapas. Namun bila menimbang barang bukti dan seluruh petunjuk, MJ bukan pengedar. C’mon dude..she’s just a courier.

Mengantongi uang US$ 500 dan tidak menemukan bukti transfer uang melalui ATM, buku tabungan atau sejenisnya, terlalu kecil lah uang itu untuk sekelas pengedar heroin 2 kg. Kecuali dari IT investigation handphone milik MJ, sms dan call data recorder (cdr) ditemukan petunjuk yang mengarah ke pengedar narkotika. Jangan lupa pula, riwayat perjalanan di paspor, bisa dijadikan pertimbangan sebelum memutuskan seorang tersangka merupakan kurir narkotika atau tidak.

Memang analisis ini terlalu prematur, karena hanya dari sisi subjektif keterangan tersangka. Lagipula, karena saya bukan penyidik langsung, terlalu lancang apabila saya menilai bahwa MJ adalah korban dalam kasus ini.

Jaksa pun yakin MJ innocent courier

Dus, saya coba cover both side ke salah seorang jaksa wanita yang masuk dalam tim jaksa penuntut MJ, yang kebetulan juga hadir ketika itu. Tak sempat menjelaskan materiil kasus secara rinci, jaksa itu hanya mengaku bahwa tim jaksa sebenarnya juga telah yakin kalau MJ adalah innocent courier

Namun, menimbang barang bukti heroin dengan berat 2 kg yang sangat disorot media dan tim komisi kejaksaan, jaksa akhirnya memilih tuntutan seumur hidup. 

“Hakim yang naikin jadi hukuman mati,” lanjut jaksa itu. Namun, sayang jaksa tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang alasan vonis hakim tersebut.

Kesalahan terjemahan yang fatal

Kemudian saya coba gali dari pengacara dan beberapa orang dari pihak kedubes Filipina yang menyaksikan langsung proses persidangan sebelum vonis. MJ dilaporkan mengatakan bahwa dirinya tidak menyesal dan sadar telah menjadi bagian dalam jaringan peredaran gelap narkotika internasional. 

Selidik punya selidik, ternyata telah terjadi kesalahan penerjemah dalam menerjemahkan pertanyaan hakim “Apakah saudari menyesal dan sadar atas seluruh perbuatan?” Sayang, majelis hakim ketika itu tidak mengonfirmasi ulang jawaban MJ, dan memilih untuk menaikkan hukuman karena rekaman jawaban MJ sudah dicatat oleh panitera sehingga agak berat bagi hakim untuk tidak menaikkan hukuman pasca pernyataan MJ tersebut. 

Saya melemparkan kesalahan awal dari pihak kedubes, yang tidak mau menyediakan lawyer dan penerjemah berkompeten untuk mendampingi MJ sejak masih dalam proses penyidikan hingga penjatuhan vonis. Dan itu sudah saya sampaikan kepada mereka langsung kepada mereka. 

“Kasus ini (MJ) jadi pelajaran kita semua,” kata saya ke Roberto G. Manalo, Deputy Chief of Mission Embassy of the Republic of the Phillipines, usai kami meninggalkan LP Wirogunan.

Lagipula, berapa mahal sih memang sewa penerjemah di Yogyakarta. Sekedar pembanding, BNN selalu mengalokasikan biaya jasa penerjemah untuk tersangka WN asing paling mahal Rp 2 juta, mulai dari proses BAP hingga 2 kali acara di persidangan. 

Terlalu mahal kah, duit Rp 2 juta bagi Kedubes Filipina, tim Polda DIY, dan tim Kejaksaan Negeri DIY, bila dibanderol pada harga nyawa MJ..?  MERKI..!!

Singgung sedikit perihal vonis, sebenarnya saya tak berhak menilai bahwa itu cacat. Ilmu dan pengalaman majelis hakim tentu jauh di atas kemampuan saya yang masih bau kencur. 

Lagian, sah-sah saja sih, bila majelis hakim tidak percaya cerita MJ di atas, secara bea cukai maupun Polda Jogja yang menangani penangkapan MJ tidak melakukan pengembangan (seperti controlled delivery) untuk mengungkap jaringan sindikat heroin ini, baik bos atau penadahnya. Alhasil, MJ adalah aktor tunggal. Tidak ada keterangan saksi lain bisa menguatkan fakta bahwa dirinya adalah korban.

Hanya saja, kasus ini makin mencelikkan mata saya, bahwa para pengisi acara pidana di republik ini lebih mendewakan seremoni ketimbang kebenaran materiil. Yang penting P21, tuntut, vonis. Gaji lancar, kasus selesai, karir aman. Oke sip.

Fiat Justitia Ruat Coelum

Tulisan ini sebenarnya akan saya keluarkan, apabila eksekusi hukuman mati MJ telah terealisasi. Bukannya takut dilegitimasi sebagai orang yang menentang ketegasan pak presiden dalam memberantas narkotika. 

Melainkan hanya mengajak para pemerhati hukum, baik cakap atau tidak, untuk menyadari bahwa kualitas penegak hukum pidana dalam menghargai nyawa seorang tersangka, sangat memprihatinkan. 

Sehingga, bila pada eksekusi mati edisi sebelumnya, saya pantengin siaran seluruh tv nasional untuk menyaksikan beritanya, namun pada edisi kali ini saya memilih tidur. Padahal dalam edisi ini terbilang ‘menarik’ karena ada Sylvestre Obiekwe Nwaolise alias Mustofa, yang kebetulan salah satu tersangka yang pernah saya tangani. Tapi, membayangkan gesture tubuh gemetar MJ dengan muka tertunduk ketika suara senapan meletus, ah mending gentor dah gue.

Lagipula, sehari sebelum jadwal eksekusi MJ, waktu ibadah minggu saya sudah minta ke Papa Je, agar kehendak DIA lah yang terjadi untuk MJ. Yah kalau gue masih percaya pada-NYA, gue juga harus pasrah dong kan atas semua keputusan yang Dia buat.  

Namun ternyata, lagu Mukjizat Itu Nyata-nya Nikita seolah berkumandang ketika saya bangun tidur pada sekitar pukul 05.30 WIB, Rabu, 29 April. Seketika bulu kuduk ini merinding sewaktu membaca berita online melalui ponsel : Eksekusi Mary Jane Ditunda. Dan ‘Puji Tuhan’ adalah kata pertama yang langsung terucap.

Fiat Justitia Ruat Coelum yang berarti hukum harus ditegakkan, walaupun langit akan runtuh, terucap pertama kali oleh salah seorang Gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Piso mengucapkan ‘kalimat mantera’ para penggiat hukum itu, justru untuk mengkristalkan putusannya yang memancung salah satu serdadu yang diduga membunuh dua serdadu lainnya. 

Meski dua serdadu yang diduga telah mati tersebut menunjukkan diri pada hari pemancungan, Piso tetap bergeming pada putusannya. Bahkan, dua serdadu yang telah ‘bangkit’ dari kematiannya tersebut dan algojo yang sempat menolak untuk melakukan eksekusi pun turut dipancung.

Nah, bagi yang berharap Pak Jokowi merapal mantera Fiat Justitia Ruat Coelum untuk kasus MJ, yah monggo…. Tapi yah, Gusti mboten sare.. Karena pada babak pertama, ternyata yang punya langit yang menang cuy. Yah kita lihat saja nanti ilmu siapa yang menang pada babak-babak selanjutnya.

Nah, ketimbang pusing nunggu hasilnya, saya mah mending ngelatih bakat terpendam saya (hueeks) dengan bernyanyi : “di saat ku tak berdaya, kuasa Mu yang sempurna…ketika ku percaya, mukjizat itu nyata” — Rappler.com

Ade Jun adalah mantan wartawan, yang sekarang bekerja sebagai aparat di bidang penegakan hukum narkotika. 

   

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!