Ivan Ergic: Orang “merah” di lapangan hijau

Eddward S. Kennedy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ivan Ergic: Orang “merah” di lapangan hijau

EPA

Ini adalah kisah tentang pesepak bola yang menabur mesiu lewat tulisannya.

Namanya Ivan Ergic. Segenap lagaknya lebih mirip intelektual revolusioner ketimbang pesepak bola: seorang Marxist, pembaca tekun Teori Kritis para pemikir Frankurt School, serta kolumnis tetap di Politika—salah satu surat kabar komunis di Serbia. 

Ergic lahir di Sibenik, salah satu kota di Yugoslavia yang kini telah masuk ke dalam kedaulatan Kroasia, pada 21 Januari 1981. Lantaran huru-hara politik saat itu, keluarganya memutuskan hijrah ke Perth, Australia, ketika Ergic masih sangat belia. Di sana, ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Australia untuk berlatih di Australian Institute of Sport Football Program, sebuah lembaga yang berada di bawah badan sepak bola milik negara. 

Bakat sepak bola Ergic terhitung mumpuni. Pada usianya baru menginjak 18 tahun, Ergic sudah berhasil menembus tim utama Perth Glory, salah satu klub di Liga Australia. Bermain sebanyak 23 kali dengan torehan 10 gol, Ergic, yang berposisi sebagai gelandang tengah, menarik minat Juventus. Setahun kemudian, ia telah resmi berseragam Bianconeri.

Tetapi dengan nama-nama seperti Zinedine Zidane, Edgar Davids, dan Antonio Conte yang mengisi lini tengah Juventus, Ergic jelas bukan siapa-siapa di Delle Alpi. Peluangnya menembus skuat utama nyaris mustahil. Ia pun dipinjamkan ke klub Swiss FC Basel. Pada musim berikutnya, Ergic resmi dijual ke Basel dengan nilai kontrak sebesar 1,6 juta euro.  

Sembilan musim lamanya Ergic memperkuat Basel. Pada 2006, ia dipercaya sebagai kapten baru tim setelah kapten sebelumnya, Pascal Zuberbühler, pindah ke FC Aarau. Selama di Basel, ia tercatat telah bermain sebanyak 202 pertandingan dan mencetak 31 gol. Pada laganya yang ke-150, Ergic sukses membawa Basel juara setelah mengalahkan BSC Young Boy’s, 2-0. 

Terasing karena kapitalisme sepak bola  

Ivan Ergic. Foto oleh Sasa Stankovic/EPA

Tiga musim berikutnya, Ergic akhirnya hijrah ke Liga Turki untuk memperkuat Bursaspor. Kepindahan ini terjadi setelah pelatih Basel yang baru, Thorsten Fink, tidak berminat untuk memperpanjang kontraknya.Di Turki, sikap politik Ergic mulai dikenal banyak orang. 

Dapat dikatakan, di Turki-lah ia mencapai kematangan ideologi.

Dalam wawancaranya dengan Radikal, surat kabar harian berhaluan kiri di Istanbul pada 15 September 2009, Ergic sempat mengemukakan pandangannya terhadap komunisme, Karl Marx, serta kapitalisme yang dianggapnya telah mengotori sepak bola.

“Salah satu inspirasiku adalah Karl Marx. Aku tumbuh di Yugoslavia ketika ayahku masih menjadi anggota Partai Komunis yang ortodoks. Beliau mengajariku cara menjadi manusia seutuhnya. (Sementara) Marx telah mengurai kontradiksi dalam kapitalisme 150 tahun lalu sebelumnya. Uang merusak sepak bola. Aku tak ingin menjadi pesepak bola konvensional. Aku butuh inspirasi yang melampaui sepak bola,” ujarnya ketika itu.

Selain melalui ayahnya dan Marx, gagasan kritisnya ditempa lewat bacaan-bacaan para pemikir Frankurt School seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Frankurt School merupakan lembaga riset yang berpijak dari pikiran-pikiran Marx. Ergic pun juga mendalami kajian eksistensialisme Jean-Paul Sartre.

“Dari sanalah aku dapat menjaga segala prinsipku dari segala tekanan yang ada dalam sepak bola. Marx telah menunjukkan kepada kita kontradiksi kapitalisme yang dapat meniadakan esensi manusia sekaligus menyebabkan alienasi. Aku ingin menghindari hal ini.”

Sejak Desember 2008, Ergic mulai kerap menuliskan pandangan politiknya tersebut dalam sebuah kolom di Harian Politika yang terbit di Serbia. Ia banyak membahas sejumlah topik mengenai chauvinisme pria dalam budaya patriarkis, semangat kompetisi yang tidak sehat dalam sepak bola, kehadiran korporasi di balik segenap institusi olahraga, gaya hidup para atlet profesional yang dikonstruksi media, kepemimpinan klub, hingga aparat pertandingan.

Dalam salah satu tulisannya di Politika pada 2 Maret 2009 yang berjudul “Football Dream” as a Product of Class Discrimination’,  Ergic dengan bernas menganalisis bagaimana komersialisasi sepak bola telah menciptakan hegemoni terhadap para pesepak bola. Ia menggabungkan perspektif dari novel klasik “The Red and the Black” karya Stendhal, salah satu penulis Perancis, mengenai masyarakat rendahan dalam kehidupan monarki bersama gagasan “American Dream” yang cenderung kapitalistik.

Sementara di tulisan lainnya yang berjudul “Soccer as a Male Thing”,  Ergic menyoroti dominasi gender laki-laki dalam sepak bola dengan menyinggung istilah-istilah yang melemahkan kaum perempuan. Antara lain ia menulis ucapan “nenekku bisa melakukan lebih baik” yang kerap diucapkan para pelatih untuk memotivasi tiap pemain. Bagi Ergic, kesalahkaprahan istilah tersebut sudah kelewat menjengkelkan.

Ergic memang seorang idealis tulen yang begitu ketat menjaga prinsip hidupnya. Ketika mengetahui Juventus didegradasi pada 2006 akibat skandal Calciopoli, ia bahkan sempat mengalami depresi selama 4 bulan dan dirawat di salah satu klink psikiatri di Basel. Ia mengatakan hukuman terhadap Juventus merupakan konsekuensi terburuk dari sistem kapitalisme sepak bola.

Gantung sepatu kemudian menulis 

Pasca sembuh, Ergic kemudian diundang ke sebuah program acara talk show berjudul Klujc yang tayang di salah satu stasiun televisi Serbia, RTS (Radio-Television Serbia). Ia diminta untuk bercerita mengenai masa penyembuhannya. Ergic lalu menyatakan pensiun dari lapangan hijau pada usianya yang ke-31. Saat ini, ia aktif dalam berbagai kegiatan jurnalistik, termasuk menulis di beberapa kolom surat kabar.  

Ada sebuah sarkasme yang sempat dikatakan Ergic mengenai pesepak bola profesional saat ini. 

“Pesepak bola profesional adalah pekerjaan yang kejam. Nyaris seluruh pelatih memaksa mereka untuk berlaku curang dan agresif kepada musuh. Maka tak heran jika ketika Anda berada di lapangan, Anda serupa bom yang siap meledak.” 

Kata-kata Ergic mengingatkan saya kepada apa yang diucapkan Zlatan Ibrahimovic tentang Jose Mourinho. Kepada Eurosport —yang juga dikutip Mirrorpada 24 Februari 2011, Ibra menyebut dirinya siap mati untuk bekas pelatihnya di Inter Milan tersebut, ketika ditanya siapa yang lebih baik antara Mou dengan Pep Guardiola, yang juga eks pelatihnya di Barcelona.  Dengan tegas Ibra mengatakan:

“Jika Anda tak memiliki seseorang yang dapat memotivasi, Anda tak memiliki keinginan untuk bertarung. Inilah alasan mengapa Anda memiliki pelatih. Aku bahkan siap membunuh untuk Mourinho atas motivasi yang telah ia berikan kepadaku.”

Selain sebagai pelatih cerdas, Mourinho memang juga dikenal memiliki kemampuan memotivasi skuatnya untuk mengeluarkan kemampuan maksimal. Hingga batas tertentu, kita bisa saja menganggap Mou sebagai Ted Kaczynski, si “Unambomber”, dalam dunia sepak bola. 

Perbedaannya tentu saja, jika Kaczynski gemar membuat bom demi mengguncang peradaban industrialisasi yang dianggap kian tak manusiawi, Mourinho justru merakit pemain hingga serupa peledak untuk kian meramaikan jagat kapitalisme sepak bola. 

Di sudut yang terpencil, Ergic, si orang “merah” itu, sejatinya juga tengah menabur mesiu lewat berbagai tulisannya. Barangkali ia memang tahu, sebagaimana yang juga diyakini Subcomandante Marcos: “Kata-kata adalah senjata.” — Rappler.com

Eddward S. Kennedy adalah blogger, penulis lepas, dan pemerhati sepak bola. Kumpilan esainya diterbitkan dalam buku berjudul “Sepak Bola Seribu Tafsir”. Dia aktif menulis di blognya beyondfootballandevil.tumblr.com. Follow Twitter-nya @propaganjen. 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!