Perempuan jadi pansel KPK, apa yang salah?

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perempuan jadi pansel KPK, apa yang salah?
Blogger ini mempertanyakan penulis lainnya yang mempersoalkan jenis kelamin panitia seleksi KPK. Mengapa mereka dinilai hanya berdasarkan gender?

Menjadi perempuan itu tidak mudah, apalagi menjadi ibu. Setidaknya jadi ibu saya. Barangkali akan sangat mudah menyewa pendamping anak, tapi ibu saya tidak mau. Ia merawat sendiri 5 anaknya sendirian. Ya, kadang bapak bantu-bantu, kalo ibu sakit. Selebihnya ibu saya yang jadi partner.

Oleh karena itu, saya sebisa mungkin coba menghormati perempuan. Bukan karena feminis. Saya benci label itu, bagi saya ia mereduksi banyak hal.

Tapi ya gitu, meski mengaku menghormati perempuan, beberapa kali masih kerap melakukan pelecehan secara tidak sadar. Entah melalui lelucon seksis atau mungkin pemaksaan kehendak, wa ya piye, saya bukan orang suci jeh.

Maka saya selalu kagum pada orang-orang yang bisa menghormati perempuan. It takes courage to respect women.

Oleh karena itu, salah satu hal yang membuat pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sedikit lebih baik adalah keputusannya memilih 8 orang menteri perempuan. Ini hal yang baik, sangat baik, mengingat peradaban patriarkis di Indonesia, memilih perempuan adalah hal yang kerap kali digunjingkan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, misalnya, merupakan salah satu menteri yang kinerjanya paling baik dan paling banyak dipuji oleh banyak masyarakat.

Maka ketika kemudian muncul keputusan memilih 9 orang perempuan sebagai panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya kira keputusan ini mesti diapresiasi positif. (BACA: Jokowi pilih 9 perempuan jadi Pansel KPK)

Meski tentu saja akan ada penolakan dan tanggapan negatif. Salah satunya berasal dari  Abdullah Hehamahua, yang bilang bahwa pansel calon pimpinan KPK yang kesemuanya perempuan adalah hal negatif. Ia menyebut bahwa kiamat semakin dekat. Begini kutipannya dari JPNN:

“Maaf, saya seorang Muslim dan selalu berusaha menjadi Muslim yang baik, sehingga yakin akan pernyataan Nabi Muhammad yang pernah mengatakan: “Barang siapa yang menyerahkan urusahan pemerintahan kepada perempuan, maka tunggulah kehancuran”.

Bagi saya ini menarik. Mengingat, seperti yang saya bilang di awal, menjadi perempuan itu tidak mudah.

Penulis Charles Bukowski dalam Factotum pernah berkata, “A woman is a full time job. You have to choose your profession.”

Alih alih merendahkan, saya membacanya sebagai sesuatu yang menguatkan. Jadi perempuan itu tidak mudah, apalagi di negeri ini.

Perempuan mesti menjaga sikap, kalau tidak, ia sama dengan pelacur. Perempuan harus menjaga diri, kalau tidak ia akan sama dengan pecun. Perempuan wajib menjaga perkataan, kalau tidak ia akan seperti perek. Perempuan sepatutnya menutup tubuh, kalo tidak ia akan jadi murahan.

Mengagumkan bagaimana diksi negatif perempuan beragam, namun tidak sebaliknya.

Maka ketika ada manusia-manusia semacam Abdullah Hehamahua, ya itu adalah kewajaran. Di negara ini perempuan-perempuan yang baik barangkali yang harus lolos menjalani tes keperawanan, untuk membuktikan “kesucian” mereka masih terjaga atau tidak.

Karena, ya bagaimana ya, perawan itu adalah satu satunya standar moral manusia. Keperjakaan jelas tidak.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya mengatakan bahwa uji keperawanan dilakukan kepada calon anggota perempuan untuk mendapatkan kandidat yang sehat secara mental maupun fisik.

Bila alasan kehilangan keperawanan adalah karena hubungan seksual, berarti mental calon prajurit itu tidak baik,” ujar Fuad. Lantas bagaimana dengan para calon prajurit yang tidak perjaka? Bagaimana cara mengukurnya?

Saya juga berusaha mencari komentar Abdullah Hehamahua perihal tes keperawanan yang dilakukan oleh TNI. Barangkali sebagai Muslim yang baik ia akan punya stok hadits atau ayat yang bisa membenarkan.

Karena siapa tahu, ini hanya berandai-andai, barangkali kiamat lebih cepat datang karena perempuan jadi pemimpin, ketimbang karena perempuan direndahkan kehormatannya melalui tes keperawanan.

Tapi apa yang disampaikan oleh Abdullah Hehamahua, barangkali, tidak ada apa apanya dibandingkan dengan komentar Guru Besar Hukum Negara Universitas Merdeka Malang, Bapak Samsul Wahidin yang terhormat, pada artikelnya yang dimuat di Jawapos.

Dalam artikel itu, yang terhormat menuliskan, “Dengan memilih seluruh anggota pansel perempuan, itu sudah merupakan cacat bawaan.” Bagi saya ini menarik, seorang guru besar hukum negara mampu membuat pernyataan sedemikian keras.

Apakah cacat bawaan itu? Apakah cacat jika seorang perempuan yang memiliki kredibilitas dan keilmuan teruji menjadi panitia seleksi? Bagaimana sebenarnya mengukur kredibilitas dan akuntabilitas?

Bapak Samsul yang terhormat menyebutkan bahwa Akuntabilitas yang tercermin dari profil 9 pansel itu secara sosial bisa diterima. Menurutnya itu ada pada lelaki, bukan perempuan.

Lantas bagaimana kita mengukur katakanlah akuntabilitas Destri Damayanti, Ketua Pansel KPK ini? Ibu Destri dikenal sebagai ahli ekonomi dan keuangan ini menjabat Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk.

Sebelum bergabung ke Bank Mandiri, ia adalah Chief Economist Mandiri Sekuritas dan pernah menjadi asisten peneliti di Harvard Institute for International Development pada tahun 1999.

Dalam artikel itu, Bapak Samsul yang terhormat mengatakan bahwa, “Tidak pandang tempat atau asal dari mana pimpinan KPK nanti dipilih. Yang paling mengetahui implementasi hal itu adalah lelaki. Mengartikulasikan hal tersebut bagi seorang perempuan cenderung menjadi fitnah.”

Maka sebenarnya tulisan ini juga tidak ada gunanya, karena sejak awal Bapak Samsul memang telah menihilkan peran perempuan, apapun dan bagaimanapun capaian mereka.

Maka mungkin kita perlu bertanya kepada Bapak Samsul yang terhormat ini. Apakah memang, katakanlah, ibu Betti Alisjahbana yang menjadi perempuan pertama di Asia Pasifik yang menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur IBM pada 2000 tak pantas jadi anggota Pansel, melulu karena ia perempuan.

Atau Bapak Samsul yang terhormat bisa menjelaskan mengapa Ibu Yenti Ganarsih, doktor pertama di Indonesia yang memiliki spesialisasi di bidang pencucian uang ini, tidak layak menjadi anggota Pansel KPK?

Kita perlu belajar karena dalam artikelnya itu Bapak Samsul yang terhormat menulis, “Jadi, bagaimana mungkin mengangkat perempuan sebagai key person dalam membentuk kepemimpinan KPK yang kuat, sedangkan wanita dalam perspektif ini menjadi sumber kerusakan?”

Barangkali sebagai seorang guru besar, beliau punya landasan saintifik yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Saya berharap tulisan Bapak Samsul itu adalah sebuah satir. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!