9 tahun lumpur Lapindo, kapan ganti rugi dilunasi?

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

9 tahun lumpur Lapindo, kapan ganti rugi dilunasi?
Sembilan tahun sudah berlalu sejak bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 2006. Warga Porong, Sidoarjo, yang menjadi korban lumpur terus menerima janji ganti rugi, tapi realisasinya masih tak jelas.

  

Siang itu, Rabu 27 Mei 2015, Hadi Priyanto sedang tidur-tiduran di bawah pohon pada salah satu titik tanggul, lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Susilo, salah seorang rekannya, membangunkan dia. “Ada tamu itu!” kata Susilo.  

Hadi terbangun, gelagapan. Dia mengucek-ucek mata dan wajahnya, membersihkannya dari debu-debu yang menempel akibat lumpur mengering. Musim panas memang membuat kawasan tersebut aman dari banjir. Tapi, setiap hari debu beterbangan. Bau khas dari lumpur dan kandungan minyak di dalamnya semakin menyengat.

“Tamu” yang dimaksud Susilo adalah warga luar kota yang datang untuk melihat kawasan lumpur Lapindo. Mereka ingin melihat langsung perkampungan, sawah, dan 3 kecamatan seluas 174 hektare yang bisa tenggelam dalam lumpur. Tak hanya rumah warga yang ditelan lumpur, tapi juga pabrik, masjid, sekolah, kuburan, kebun, hingga jalan tol. 

Memasuki tahun ke-9 sejak bencana itu terjadi pada 29 Mei 2006, hampir tak ada yang tersisa di Porong. Kawasan tersebut kini rata dan menjelma menjadi padang lumpur mega luas. Sejauh mata memandang hanya ada lumpur-lumpur kering dengan beberapa bagian retak-retak karena panas. 

Patung-patung di tanggul 21 lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Foto oleh Agung Putu Iskandar/Rappler

“Ayo, Pak. Keliling ke pusat semburan. Rp 30 ribu saja. Lumayan jauh kalau jalan kaki, 3 km dari sini. Ini sudah harga pas,” kata Hadi kepada salah seorang anggota yang datang. Sesaat kemudian keduanya berboncengan meluncur menuju titik semburan. 

Hadi adalah salah satu dari 8.146 jiwa yang menjadi korban lumpur Lapindo 9 tahun silam. Saat itu, dia tinggal di Desa Jatirejo yang hanya 100 meter dari pusat semburan. Saat pelan-pelan lumpur mulai menenggelamkan kampung, dia ikut terlunta-lunta menjadi pengungsi. Kehidupannya terenggut lumpur. Dia kehilangan pekerjaan, rumah, dan masa depan. 

“Jangankan pekerjaan. Pabrik beton tempat saya bekerja ikut tenggelam,” kata lelaki 35 tahun tersebut. 

Hingga hampir satu dekade berlalu, ganti rugi tanah Hadi yang masuk peta terdampak belum lunas. PT Minarak Lapindo Jaya, sebagai pembayar ganti rugi, baru memberinya 20 persen. Padahal, ganti rugi itu hanya untuk tanah yang dia tinggali. Belum termasuk kerugian lain, kerugian non material seperti pekerjaan yang hilang, masa depan dirinya dan anak-anaknya yang suram.

“Setelah lumpur, kami mengungsi. Kemudian mengontrak berpindah-pindah. Anak-anak lama-lama malas sekolah karena tertekan sebagai anak pindahan korban lumpur,”  tutur Mustofa, rekan Hadi. 

Mustofa, tukang ojek yang juga korban lumpur, sedang mempersiapkan acara peringatan 9 tahun lumpur Lapindo. Fot oleh Agung Putu Iskandar/Rappler

Mustofa, Hadi, dan Susilo adalah segelintir orang yang masih bertahan di kawasan lumpur Lapindo. Setelah pekerjaan hilang, yang bisa mereka lakukan hanya menjadi tukang ojek lumpur Lapindo. Beberapa yang lain harus rela menjadi kuli bangunan. 

 “Sudah untung kami tidak gila. Dulu banyak yang gila. Mereka sekarang sudah tidak ada. Entah sudah mati atau dipulangkan ke kampung orang tuanya,” kata Mustofa.

Mustofa kehilangan anak pertama saat masih dalam kandungan istrinya. Istrinya mengalami keguguran ketika tinggal di pengungsian. Kini, satu-satunya anak Mustofa adalah anak kedua. Usianya 7 tahun. “Dia bahkan tidak menangi (mengalami) semburan lumpur. Sembilan tahun waktu yang lama,” katanya. Mustofa mengontrak rumah di kawasan Gempol, sekitar 10 km dari Porong.  

Tahun ini, pemerintah berjanji melunasi ganti rugi kewajiban PT Lapindo Brantas Inc dengan dana talangan dari APBN. Jumlahnya mencapai Rp 827,1 miliar. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan pencairan dilakukan sebelum Lebaran.

Hadi sudah mendengar kabar itu. Namun, dia tidak terlihat antusias. “Dulu, pemerintah juga mengatakan, April akan dilunasi. Tapi ternyata tidak terwujud. Sekarang katanya sebelum Lebaran. Saya enggak tahu yang ini benar atau cuma ngomong seperti yang sudah-sudah,” katanya. 

Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Emir Firdaus memahami mengapa warga ragu dengan pemerintah. Menurut dia, ada beberapa poin dalam Keputusan Presiden (kepres) RI nomor 11 tahun 2015 tentang Tim Percepatan Penyelesaian Pembayaran dan Jual Beli Tanah dan Bangunan Korban Lumpur yang malah menghambat percepatan pencairan.

Korban lumpur yang menjadi tukang ojek mengantarkan tamu untuk melihat pusat semburan. Kondisi lumpur membuat mereka harus turun dari motor dan berjalan kaki. Foto oleh Agung Putu Iskandar/Rappler

Di antaranya, kata dia, pemerintah pusat meminta bunga untuk dana talangan yang mereka kucurkan. Selain itu, dalam keppres tersebut Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga meminta jaminan dari PT Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya berupa aset-aset kedua perusahaan tersebut. Tujuannya, jika mereka gagal mengembalikan dana talangan, aset tersebut bisa disita pemerintah. 

Untuk mewujudkan itu, keppres memerintahkan tim percepatan berunding dengan Lapindo Brantas Inc atau PT Minarak Lapindo Jaya dan meneken perjanjian. 

Menurut Emir, itu kabar buruk bagi warga. Sebab, dua perusahaan milik Aburizal Bakrie itu bakal sulit untuk bersepakat dengan pemerintah. Proses pencairan bakal lebih lama lagi. 

“Ini buang-buang waktu. Harusnya dicairkan dulu saja. Urusan negosiasi dengan Lapindo bisa jalan setelahnya. Pembayarannya harus dibuat gampang agar segera cair. Warga sudah menderita terlalu lama,” kata Emir. 

Semakin lama pencairan, semakin lama bagi Hadi, Mustofa, Susilo, dan ribuan warga lainnya untuk membangun kembali kehidupannya. Janji-janji pencairan ibarat lumpur Lapindo saat hujan. Belepotan tidak karuan. Bagi mereka, warga tak ubahnya cuma angka-angka statistik yang bisu dan tidak bernyawa. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!