Philippine economy

‘Catatan pinggir nesia’

Andhyta Firselly Utami

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Catatan pinggir nesia’
Membaca puisi ini, kita diajak untuk kembali merenungkan apa sesungguhnya arti dari 'cinta tanah air'.
Andhyta Firselly Utami adalah seorang aktivis muda yang menjadi salah satu inisiator Parlemen Muda Indonesia.
Saat ini, Afu, panggilan akrabnya, menjadi peneliti dan pekerja lingkungan hidup untuk salah satu lembaga think tank untuk isu-isu terkait lingkungan hidup, World Resource Institute.

Melalui puisi berjudul Catatan Pinggir Nesia yang ditulisnya ini, Afu mengajak kita untuk kembali merenungkan apa sesungguhnya arti dari “cinta tanah air”.

Puisi ini ia bacakan dalam sebuah acara open mic malam puisi Unmasked 2: Roots, yang diadakan di Paviliun 28, Jakarta Selatan, Minggu, 16 Agustus. 

Catatan Pinggir Nesia

Namaku Nesia.

Seperti kebanyakan orang yang dilahirkan setelah tahun 1990, aku punya nama belakang yang tidak ada hubungannya dengan nama kedua orangtuaku. Tapi itu untuk cerita nanti.

Seperti kebanyakan orang yang kukenal juga, kolom “kebangsaan” di pasporku tertulis “INDONESIA” dengan huruf kapital, seolah takut bahwa ketumpahdarahanku akan berkurang jika ditulis dengan huruf cetak biasa. Mungkin ukuran font-nya pun sudah diperhitungkan sesuai dengan harapan pemerintah tentang rasa cintaku untuk negara: tidak terlalu kecil, karena pemuda harus pula cukup cinta negara untuk membayar pajak; tapi tidak terlalu besar, agar masih cukup rasional untuk tidak serta-merta mengkudeta penguasa seperti saat Reformasi 1998.

Seperti sekitar 9% penduduk negara ini, aku berusia 22 tahun. Selama itu juga, selku mengganda, hatiku dilanda cinta dan lalu patah beberapa kali, otakku berlipat lebih banyak, sepenuhnya di sini. Negeri yang dielu-elukan dunia karena logam dan minyak yang dikandung tanahnya, senyuman dan anggukan masyarakatnya yang tanpa batas, serta keragaman tarian, kain, dan kepercayaannya ini. Negeri yang tanpa lelah terus bangkit dari keterpurukan yang sesungguhnya diciptakan oleh bangsanya sendiri juga.

Tapi aku tak pernah benar-benar merasa di rumah.

Bangsaku, orang-orang yang kata sejarah berbagi masa lalu, seperti asing, lebih asing dari tontonan berbahasa Inggris yang awalnya aku dapatkan secara diam-diam dengan mengunduh dari aplikasi Torrent.

Bangsaku, orang-orang yang kata pelajaran PPKn dulu harus kudahulukan dari masyarakat yang puluhan kali lebih miskin di belahan benua lain, semata karena mereka proksimitas lokasi kelahiran kami.

Bangsaku, orang-orang yang menurut propaganda Orde Baru adalah saudara beda ibu, yang entah kenapa juga terentitelkan pada hak untuk berbagi derita dan bahagia dari satu rezim brengsek ke rezim lain yang agak lebih tidak brengsek.

Bangsaku.

Menurut mereka, aku tidak cinta Indonesia karena aku lebih fasih berbahasa negara yang 15.000 km jauhnya dibandingkan dengan bahasa yang ibu-bapakku gunakan di rumah.

Menurut mereka, aku tidak cinta Indonesia karena aku bekerja di lembaga penelitian yang didanai oleh Amerika, Inggris, dan Norwegia, meskipun setiap detik, setiap jam, setiap hari yang kuhabiskan di kantor kudedikasikan untuk membantu negara yang mengucilkanku mencapai tujuan-tujuan nasionalnya.

Nawacita, kata presiden yang baru.

Menurut mereka, aku tidak cinta Indonesia jika aku tidak bekerja di Indonesia, atau “berani” terbang dan tinggal di Papua selama dua tahun, karena itulah syarat untuk menjadi ‘pemuda Indonesia yang mencintai tanah airnya’.

I mean, hasn’t civilization spent centuries to understand what love is, and still failed? —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!