Indonesia

Jusuf Kalla: Sidang IPT 1965 seperti drama

Natashya Gutierrez, Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jusuf Kalla: Sidang IPT 1965 seperti drama
IPT 1965 diakui 'hanya' sebagai gerakan moral, namun ini adalah langkah pertama untuk menuju pengadilan yang sesungguhnya

JAKARTA, Indonesia — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut sidang Pengadilan Rakyat Internasional, atau International People’s Tribunal (IPT), untuk korban tragedi 1965 di Den Haag-Belanda layaknya drama.

Indonesia, menurut Kalla, bahkan tak perlu meminta maaf pada pihak manapun. 

Like drama (Seperti drama),” kata Kalla saat Rappler mewawancarainya di kantor Wakil Presiden di Jakarta, Jumat, 13 November.

Kalla kemudian menyebut sidang tersebut hanya gerakan moral, tak lebih dari itu.

Menurut pandangannya, sidang tersebut hanya penting untuk orang-orang yang hadir, tapi tidak untuk pemerintah Indonesia. 

Apakah ini berarti pemerintah Indonesia tidak akan minta maaf?

“Kenapa Indonesia harus meminta maaf? Kepada siapa pemerintah harus minta maaf?” katanya.

Sebaliknya, ucap Kalla, tujuh jenderal dan ratusan anggota tentara sudah kehilangan nyawanya pada saat peristiwa 30 September 1965 dan kelanjutannya.

“Untuk apa pemerintah harus minta maaf?” katanya mengulang kembali. 

Sebelumnya Kalla pernah mengatakan tidak seharusnya pemerintah Indonesia meminta maaf, karena jenderal-jenderal angkatan bersenjata lah yang menjadi korban dari tragedi ini.

Komunitas IPT 1965 akan terus jalan

Di lain pihak, Ketua Steering Committee IPT Dolorosa Sinaga mengatakan, sidang IPT 1965 yang sedang berlangsung di Den Haag, Belanda, memang hanya sebuah gerakan moral yang memakai format pengadilan.

“Bukan pengadilan yang membawa pelaku ke penjara,” kata Dolorosa pada Rappler, Jumat.

Menurutnya, tujuannya adalah untuk membawa kasus tragedi 1965 menjadi perhatian dunia.

Selanjutnya, tim IPT 1965 akan membahas apakah pelanggaran HAM berat itu bisa dibuktikan, ada datanya, tertulis, ataupun visual.  

Pengadilan ini, ujar Dolorosa, adalah langkah pertama untuk menuju pengadilan yang sesungguhnya.

“Proses hukum itu nantinya secara legal mungkin akan dilaksanakan. PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) mungkin akan menghasilkan resolusi dan meminta negara yang bersangkutan bertanggung-jawab,” katanya. 

“Ini adalah proses yang panjang, yang tidak akan berhenti di International People’s Tribunal,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!
Face, Happy, Head

author

Natashya Gutierrez

Natashya is President of Rappler. Among the pioneers of Rappler, she is an award-winning multimedia journalist and was also former editor-in-chief of Vice News Asia-Pacific. Gutierrez was named one of the World Economic Forum’s Young Global Leaders for 2023.