PH collegiate sports

Hadapi sidang ke-27 Dewan HAM PBB, Indonesia kembali dicecar isu hukuman mati dan Papua

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hadapi sidang ke-27 Dewan HAM PBB, Indonesia kembali dicecar isu hukuman mati dan Papua

UN Photo/Jess Hoffman

Delegasi Dewan HAM menyambut baik dan mengapresiasi berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh Indonesia.

JAKARTA, Indonesia – Delegasi Indonesia menghadapi sidang siklus ketiga Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB di Jenewa pada Rabu, 3 Mei. Ajang tersebut digunakan oleh 193 negara anggota PBB untuk mengoreksi dan meninjau kembali penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Airnya. 

Demi menunjukkan keseriusan pemerintah, rombongan delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh dua Menteri sekaligus yakni Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Melalui keterangan tertulisnya pada Selasa kemarin, Kemlu menyatakan sudah melakukan persiapan yang matang untuk menghadapi ratusan delegasi dari berbagai negara. 

Pada Rabu kemarin, total ada 103 negara yang meninjau perkembangan HAM Indonesia. Sesi bagi Indonesia dimulai pukul 14:00 WIB dan berlangsung hingga tiga jam ke depan. 

Seperti yang sudah diperkirakan oleh delegasi Indonesia, ada dua isu yang diangkat oleh sebagian besar negara peserta di forum tersebut yakni penghapusan hukuman mati dan pelanggaran HAM di Papua. Rappler mencatat hampir separuh dari 103 negara peserta yang meminta agar hukuman mati di Indonesia ditiadakan. Mereka antara lain Panama, Portugal, Moldova, Rumania, Slowakia, Korea Selatan, Inggris, Austria, Belgia, Australia, dan Brazil. 

Khusus untuk dua negara terakhir yang disebut, warganya ikut dieksekusi mati akibat tersandung kasus narkoba. Eksekusi dilakukan di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang sejak awal sudah menabuh genderang perang terhadap narkoba. Maka sejak awal berkuasa, Jokowi menghidupkan kembali hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan tersebut. 

“Brazil menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia yang menghidupkan kembali hukuman mati terhadap kejahatan narkoba dan bahkan berdampak secara langsung terhadap warga negara kami. Untuk itu kami mendorong agar pemerintah kembali memberlakukan moratorium dan pada akhirnya menghapus hukuman tersebut,” ujar Eden Clabuchar Martingo, Wakil Tetap Brazil untuk PBB Jenewa saat menyampaikan rekomendasinya pada Rabu, 3 Mei. 

Lalu, apa respons dari Pemerintah Indonesia? Yasonna kembali merujuk kepada data penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Indonesia. Dia menyebut 12 ribu orang setiap tahunnya meninggal akibat zat psikotropika. Sebanyak 4 juta orang di Indonesia mengalami kecanduan narkoba.

“Jika Anda atau keluarga Anda menjadi korban dari penyalahgunaan narkoba, maka Anda akan mengerti bagaimana bahayanya. Tidak ada masa depan untuk anak-anak dan kaum muda,” ujar Yasonna menjawab pertanyaan dan kekhawatiran negara-negara tersebut. 

Lagipula, kata Yasonna, hukuman mati masih menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Hukuman itu pun tidak bertentangan dengan hukum internasional yang lain. 

Perdebatan pun tidak hanya terjadi di tataran global. Namun, kata menteri dari PDIP itu, diskusi hangat juga terjadi di Tanah Air.

Ke depan, Indonesia berniat membatasi pelaksaan hukuman mati setelah di masa lalu pemerintahan Jokowi sudah mengeksekusi 18 terpidana kasus narkotika. Sebagian besar di antaranya adalah warga asing.

“Jika terpidana itu berbuat baik, maka hukumannya bisa diringankan setelah berada di bui selama 10 tahun. Hukumannya bisa saja berubah menjadi seumur hidup atau maksimal menjadi 20 tahun,” kata dia. 

Tidak efektif

Sementara, di tempat terpisah dilakukan nonton bersama dan diskusi mengenai sidang UPR di Cikini, Jakarta Pusat. Perwakilan Imparsial, Ardi M. Adipura mengatakan sejak awal berbagai pihak sudah mengatakan kepada pemerintah bahwa hukuman mati tidak efektif untuk membuat jera pelaku kejahatan narkoba.

Di saat negara-negara lain bergerak mulai menghapus hukuman mati, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi justru memberlakuannya kembali. 

“Seharusnya pemerintah lebih fokus kepada pendekatan pendidikan dan kesehatan untuk meredam penggunaan narkoba,” kata Ardi. 

Sementara, perwakilan Direktorat Jenderal HAM Kemenkum HAM mengatakan Pemerintah Indonesia jusru bersedia untuk melakukan moratorium terhadap hukuman mati. Tetapi, saat ini hukuman tersebut masih tertulis di dalam KUHP. Bahkan, dijadikan pijakan bagi pelaksaan hukuman di Tanah Air. 

“Di dalam Pasal 10 KUHP tertulis: ‘pidana terdiri atas pidana pokok – pidana mati, penjara, kurungan, dan denda – dan pidana tambahan – pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.’” kata dia menirukan isi aturan itu. 

Dia menegaskan jika sebagian publik ingin menghapus hukuman mati di Indonesia, maka dibutuhkan dorongan dari semua pihak untuk merevisi isi KUHP. 

“Untuk itu kami butuh dorongan dari teman-teman CSO (Civil Society Organization) untuk mengubah hukum yang ada di dalam KUHP itu,” tutur dia. 

Informasi eksklusif?

MERIAM AIR. Demonstran dari Organisasi Pembebasan Papua dan Aliansi Mahasiswa berdemonstrasi pada 1 Desember 2016. Mereka tetap bertahan walau ditembak dengan meriam air. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Sementara, isu Papua masih terfokus kepada adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh personel militer. Bahkan, delegasi Amerika Serikat, Jessica Carl secara spesifik menyatakan kekhawatirannya terhadap adanya pembatasan oleh otoritas keamanan untuk menyampaikan kebebasan berekspresi di Papua dan Papua Barat. 

“Kami menyadari bahwa Pemerintah Indonesia gagal menuntaskan tindak kejahatan yang diduga dilakukan oleh personel kepolisian dan militer. Kami juga merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia segera menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Carl di hadapan delegasi. 

Pernyataan itu dijawab Retno dengan menyampaikan adanya perubahan yang besar di bawah pemerintahan Jokowi terhadap Papua. 

Ada tiga kemajuan yang disampaikan mantan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda itu terkait isu Papua. Pertama, pemerintah menyederhanakan dan memberikan akses yang luas kepada jurnalis yang ingin meliput ke Papua. 

“Hasilnya, kunjungan jurnalis ke Papua meningkat hingga 41 persen di tahun 2015. Hal ini berbeda jika dibandingkan tahun 2014 lalu,” katanya. 

Di tahun 2017, Retno mengklaim sudah mengabulkan akses bagi 8 jurnalis ke Papua. Kemajuan kedua, Papua dan Papua Barat diberikan status otonomi dan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan provinsi lain yakni mencapai Rp 69,71 triliun. 

Ketiga, tiga kasus pelanggaran HAM di Wasior, Wamena dan Paniai tengah diproses dan dilengkapi berkasnya oleh Komnas HAM. Berkas itu kemudian diperiksa di Kejaksaan Agung untuk kemudian dibawa ke Pengadilan HAM di Makassar.

Tetapi, menurut lembaga KontraS tidak pernah ada informasi sebelumnya yang menyebut pemerintah tengah mengurus ketiga kasus HAM itu. Apalagi akan dibawa ke Pengadilan HAM adhoc di Makassar. 

“Informasi ini bahkan tidak pernah didengar oleh para korban. Bagaimana informasi sepenting ini menjadi eksklusif dan disampaikan di Jenewa, jauh dari sumber persoalan di Papua?” tanya Koordinator KontraS, Yati Andriyani melalui keterangan tertulis Rabu kemarin.

Disambut baik 

LAPORAN HAM. Delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly membacakan laporan HAM di hadapan sidang Dewan HAM di Jenewa pada Rabu, 3 Mei. Foto: Kementerian Luar Negeri

Kendati dicecar oleh 103 negara, namun sebagian besar dari mereka juga menyambut baik laporan HAM delegasi Indonesia. Satu hal yang mendapat apresiasi yakni ratifikasi terhadap berbagai konvensi internasional terkait HAM.

Bagi Retno dan Yasonna yang memimpin delegasi Indonesia, hal tersebut merupakan tanda adanya kemajuan yang dilihat dunia internasional dalam perlindungan HAM di Tanah Air. Laporan yang disampaikan delegasi Indonesia berisi dari capaian 150 rekomendasi yang diterima dalam sidang siklus kedua di Dewan HAM PBB pada tahun 2012 lalu. Laporan itu terbagi menjadi 13 kluster.

Sejak awal, Pemerintah Indonesia sudah berharap melalui sidang UPR itu tidak ada aksi saling mengadili dan pointing finger. Direktur HAM Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar mengatakan alih-alih untuk mengadili satu negara, forum tersebut harus dimanfaatkan untuk menjadi dialog dan saling berbagi pelajaran.

Pada hari ini, Indonesia akan memutuskan rekomendasi dari negara mana saja yang diterima. Jika satu rekomendasi diterima, maka konsekuensinya harus dilakukan dalam lima tahun ke depan oleh pemerintah.– dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!