Bagaimana isu perubahan iklim sampai hubungan dengan Islam di era Presiden Trump?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana isu perubahan iklim sampai hubungan dengan Islam di era Presiden Trump?

AFP

Sejumlah pertanyaan menggantung. Dunia nampak terkejut.

 

JAKARTA, Indonesia – Muram. Khawatir.  Ini nuansa di sebuah grup percakapan via aplikasi komunikasi yang menjadi wadah diskusi terkait perubahan iklim, setelah Donald J. Trump menjadi presiden terpilih Amerika Serikat, dini hari (9/11/2016). Trump, kandidat dari Partai Republik itu, mengantongi 276 suara elektoral, mengalahkan kandidat dari Partai Demokrat yang sampai dini hari tadi mengumpulkan 218 suara elektoral. Kandidat Presiden AS harus menguasai 270 suara elektoral untuk melenggang menjadi pemimpin negara terbesar di dunia itu.  Trump menjadi presiden AS yang ke-45.

Mengapa muram?

Donald Trump memiliki rekam jejak tidak peduli terhadap isu perubahan iklim. Trump pernah mengatakan bahwa jika dia terpilih sebagai Presiden AS, dia akan membatalkan Kesepakatan Paris dan menghentikan rencana AS menggelontorkan jutaan miliar dolar AS untuk membiayai program perubahan iklim yang difasilitasi organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim. Menurut Trump, kebijakan itu akan menghemat duit senilai US$ 100 miliar dolar untuk delapan tahun ke depan.

Berita kemenangan Trump membuat mood di Konperensi Perubahan Iklim (COP-22) di Maroko, yang sudah dimulai pekan ini, menjadi turun. Padahal, COP-22 justru menjadi ajang untuk memulai aksi nyata setiap negara untuk mengimplementasikan Kesepatan Paris. Indonesia sudah mengesahkan Kesepakatan Paris sebagai Undang-Undang.

Pada tahun 2012, Trump pernah berkicau tentang perubahan iklim atau climate change:  

 

Presiden Barack Obama sudah meratifikasi Kesepakatan Paris melalui perintah eksekutif. Trump mungkin saja membatalkan hal itu melalui Senat. Ini yang tengah ditunggu para penggiat perubahan iklim di seluruh dunia, yang sebagian berkumpul di Maroko. AS dan Tiongkok sebagai dua penghasil emisi terbesar adalah kunci tercapainya Kesepakatan Paris.

“Peran AS penting. Kita berharap Presiden Trump tidak membatalkan Kesepakatan Paris,” kata Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pengarah Nasional Perubahan Iklim, kepada Rappler. Sarwono memberikan contoh bagaimana Menteri Luar Negeri Johh Kerry, turun tangan dalam program pengurangan penggunaan hydrofluorocarbon yang biasanya digunakan di lemari pendingin, dan pendingin ruangan. Program ini disebut HFC Phase Out. “HFC Phase Out memiliki efek menurunkan Gas Rumah Kaca yang lebih besar, ketimbang CO2. Program ini dimotori AS,” kata Sarwono.

Saat kampanye di Michigan beberapa hari lalu, Trump kembali mengatakan, “Kita akan mendahulukan Kepentingan AS. Termasuk membatalkan miliaran dolar dana untuk belanja perubahan iklim yang dilakukan PBB, sejumlah angka kenaikan yang dijanjikan Hillary, dana kan menggunakan anggaran itu untuk menyediakan infrastruktur bagi warga AS termasuk air bersih, udara bersih dan keselamatan.”

Dalam pidato kemenangannya sebagai presiden terpilih, Trump berjanji akan mendorong pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dari sekarang. Trump juga berjanji akan membangun infrastruktur jalan, jalan tol, sampai jembatan. Sebagai pengusaha sukses, Trump mengatakan dirinya berpengalaman untuk menjadikan peluang bisnis yang ada di berbagai tempat di dunia, dapat bermanfaat bagi warga AS.

BACA : Liveblog Pemilu Presiden AS Tahun 2016 

Bagaimana kebijakan luar negeri Presiden Trump

Soal perubahan iklim, hanyalah satu dari kekhawatiran dunia, termasuk Indonesia, pasca terpilihnya Trump sebagai pemimpin AS. Ada lagi isu lain, seperti di bidang perdagangan. Trump secara terbuka menolak Kesepakatan Trans Pacific Partnership yang dipromosikan Presiden Obama. Trump juga meminta perubahan mendasar atas kesepakatan dagang dengan negara tetangga AS, yaitu Meksiko dan Kanada, yang dikemas dalam Kerjasama Peerdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Untuk kawasan ASEAN, Vietnam dan Malaysia menjadi bagiannya dan berharap keuntungan dari mekanisme TPP.

Oktober 2015, saat berkunjung ke AS, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bertemu Presiden Obama dan menyampaikan minat Indonesia bergabung dengan TPP.  Memang tidak bisa segera, karena pengalaman negara lain, butuh waktu sedikitnya dua tahun untuk proses bergabung ke TPP.

Ada yang mengatakan bahwa minat Indonesia bergabung ke TPP untuk menghindari trade diversion. Bagi Jokowi, masuk TPP akan mendorong sektor ekonomi Indonesia bekerja dengan standar tinggi.

Trade diversion dalam konteks perdagangan internasional mengandung arti terjadinya pergeseran aktivitas impor suatu negara dari satu negara ekportir ke negara ekspotir lain yang mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif.

Hal lain yang ditunggu adalah bagaimana Trump menjalankan kebijakan terkait imigrasi. Kebijakan imigrasi menjadi isu kampanye penting bagi Trump. Pendek kata, Trump sebagai presiden ingin membatasi masuknya imigran legal, deportasi lebih banyak imigran legal, memberikan syarat yang lebih sulit bagi imigran untuk masuk ke AS. Lengkapnya bisa di baca di sini

Trump juga secara jelas mengatakan berencana membendung masuknya orang beragama Islam ke AS. Trump mengatakan, hal ini menjadi bagian dari kebijakan luar negerinya, sampai pihaknya mendapatkan solusi atas serangkaian aksi teror yang terjadi di AS. 

Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pernah mengatakan, secara umum ada perbedaan corak kebijakan luar negeri AS di tangan Partai Republik dan Partai Demokrat berdasarkan pengalaman Indonesia. Partai  Republik mengedepankan ekonomi dan bisnis, Partai Demokrat biasanya menyoroti isu HAM dan buruh.

Apakah Trump akan mengikuti pola tradisional yang dijalankan Partai Republik, termasuk dalam kebijakan luar negeri? Ini juga ditunggu dunia. Kali ini Partai Republik tidak hanya menguasai Gedung Putih, juga menguasai sisi parlemen, yaitu di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Sebagaian dari elit Partai Republik tidak memberikan suaranya kepada Trump dalam Pilpres kali ini. Bagaimana pola hubungan antara Presiden Trump dengan partai yang mengusungnya, juga menarik dinanti.

Dari Eropa, misalnya, Menteri Luar Negeri Perancis Jean Marc Ayrault mengatakan, Perancis tetap menjadi sekutu terdekat AS. Terpilihnya Trump mestinya tidak melemahkan hubungan AS dengan Perancis dan Eropa. Menurut Marc Ayrault, pihaknya menunggu bagaimana posisi Trump atas sejumlah isu kunci, termasuk soal komitmen perubahan iklim, kesepakatan nuklir dengan Iran dan kebijakan terkait Suriah.  

“Kami ingin tahu dan memahami apa yang diinginkan presiden terpilih,” kata Ayrault, kepada media. Tentang sosok personal Trump, Ayrault mengatakan,”membuat Anda memikirkannya, mempertanyakannya, dan tentu mengundang reaksi.”

Dunia memang mengharapkan kemenangan Hillary Clinton, sosok yang sangat dikenal dan telah berurusan langsung dengan ratusan negara dalam kapasitasnya sebagai menteri luar negeri Barack Obama, pada periode pertama.

Kemenangan Trump, membuat dunia bingung. Secara geopolitik, muncul ketidakpastian. Apalagi dalam hubungannya dengan Tiongkok. Sikap Trump yang kritis terhadap Tiongkok akan memicu perebutan “pengaruh” yang bisa berlangsung hangat di kawasan Asia.

Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen mengatakan kemenangan Trump memberikan kejutan besar.

Di Jerman, orang-orang masih sulit membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh seorang presiden yang membawa aura kemarahan ke kantor presiden, dan bagaimana sosok yang penuh kemarahan itu menjadi orang paling berkuasa di dunia.

Itu suara mayoritas. Ada yang langsung memberikan ucapan selamat. Mulai dari Presiden Rusia Vladimir Putin, sampai Pauline Hanson, anggota parlemen Australia yang juga ketua Partai One Nation. Pauline Hanson selama ini dikenal sebagai sosok tidak bersahabat atas keberadaan pendatang, termasuk warga muslim di Negeri Kanguru itu.

Bagaimana reaksi Indonesia?

Hubungan AS di era Presiden Trump  dengan negara berpenduduk Islam dan warga muslim dunia kini juga menjadi tanda tanya. Termasuk dengan Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia.  Sebagian dari alasan kemenangan Trump adalah karena supremasi warga kulit putih AS, terutama kaum lelaki.

Bagi Indonesia yang tengah mengalami masa yang rentan pasca demo 4 November 2016, terpilihnya Trump yang punya rekam jejak tak bersahabat terhadap kaum muslim, bisa menambah amunisi bagi pihak yang melihat situasi ini sebagai pintu masuk untuk memprovokasi kekacauan.

Komitmen semua pihak, dari pemimpin negara, pemimpin antar agama, aparat keamanan dan warga untuk waspada dan mengupayakan damai sangat diperlukan.

Bagi Asia termasuk Indonesia, Hillary terbukti memberikan perhatian lebih kepada Asia. Dalam buku memoarnya, Hard Choices, Hillary menceritakan mengenai Asia, The Pivot.  Setelah dilantik dengan menteri luar negeri, Hillary merencanakan kunjungan ke luar negeri yang pertama pada Februari 2009.  “Sejumlah penasihat menyarankan agar saya berkunjung ke China untuk memperbaiki hubungan yang terganggu di era administrasi Bush, lalu ke Eropa. Ada yang menyarankan saya ke Afghanistan di mana tentara AS berperang dalam situasi yang sulit,” kenang Hillary.  

Ada masukan lain termasuk kunjungan ke Timur Tengah. Hillary akhirnya memenuhi saran deputinya, Jim Steinberg, yang menyarankan dia berkunjung ke Asia, di mana sejarah abad ke-21 akan banyak terjadi di kawasan ini. “Jadi, saya membuat preseden sebagai menlu yang melakukan kunjungan pertama ke Asia.  Dimulai dari Jepang, ke Indonesia, Korea Selatan, dan terakhir ke China,” ujar Hillary. Dia ingin mengirimkan pesan ke Asia dan dunia bahwa AS kembali ke kawasan ini.

Urusan Trump di Indonesia sejauh ini adalah kerjasama bisnis dengan pengusaha Hary Tanoesoedibyo. Trump berencana membangun hotel di Bogor dan Bali.

Besar kemungkinan, Trump akan disibukkan dengan urusan dalam negerinya setelah dilantik. Selama 18 bulan kampanye pilpres, masyarakat AS seolah terbelah dunia. Mirip Pilpres di Indonesia 2014. Suasana “permusuhan” sebagian besar juga dipicu oleh konten dan cara komunikasi Trump. Meskipun berkali-kali mengatakan bahwa dirinya seorang diri bisa membereskan semua masalah di AS, dalam pidato kemenangannya, Trump mengajak warga AS, termasuk yang tidak memilihnya, untuk bersatu bersama menjadi warga AS yang bersatu.

“Saya akan menjadi presiden untuk semua warga Amerika,” kata Trump. Dia juga mengatakan, ”Saya mengajak kalian semua dan berharap mendapatkan arahan dalam membangun AS,” kata dia.

Kepada dunia yang begitu was-was, Trump mengatakan, “Saya ingin mengatakan kepada warga dunia, bahwa, meskipun kami akan menempatkan Kepentingan AS sebagai prioritas nomor satu, kami akan berhubungan  secara adil dengan semua pihak. Kami akan mencari titik temu, kesamaan, bukan berbuat kasar.”

Presiden Jokowi mengatakan, pihaknya yakin tidak ada perubahan dalam hubungan Indonesia dengan AS.  “Saya kira tidak ada perubahan,” kata Jokowi.  Bagaimana menurut Anda? – Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!