Debat kedua Pilkada Jakarta 2017: Perlu lebih banyak humor

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Petahana diuntungkan dengan pemaparan hasil kerja. Penantang punya peluang dengan sodorkan pendekatan berbeda atas masalah yang ada di ibukota. Bagaimana pengaruh debat terhadap elektabilitas?

DEBAT KANDIDAT. Tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono (kiri)-Sylviana Murni (kedua kiri), Basuki Tjahaja Purnama (ketiga kiri)-Djarot Saiful Hidayat (ketiga kanan), Anies Baswedan (kedua kanan)-Sandiaga Uno (kanan) mengikuti Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat, 27 Januari. Foto oleh Hafidz Mubarak A./ANTARA

JAKARTA, Indonesia –  Debat politik itu gampang. Lebih gampang dari pertemuan dengan pers, bertemu konstituen dalam bentuk town-hall meeting, ataupun wawancara mendalam secara khusus. Ini pengalaman Paul Begala, ahli strategi Partai Demokrat yang juga analis politik di jaringan stasiun televisi CNN. Paul  terlibat dalam persiapan debat presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat dalam 20 tahun terakhir.  

Siapkan diri dengan baik, baca bahan-bahan, sampaikan pokok pikiran dengan tenang, jangan lupa selipkan kalimat yang bernada humor dan memancing tawa.  “Rileks, kandidat,” kata Paul dalam tulisannya tentang 10 hal yang perlu diperhatikan untuk memenangkan debat politik.

Saya cenderung sepakat dengan Paul Begala. Dalam debat pemilihan gubernur DKI Jakarta, misalnya, kita melihat pihak penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta sudah menyiapkan tema untuk setiap debat yang berlangsung selama tiga kali. Debat pertama Pilgub DKI Jakarta berlangsung pada 13 Januari 2017. Temanya tentang masalah ekonomi dan sosial. Kandidat sudah mengantisipasi dan tidak ada sesi pertanyaan tidak terduga sebagaimana yang biasa terjadi dalam jumpa pers.

Ketiga pasangan calon sudah tahu tema ini dan diharapkan menyiapkan diri. Paul Begala menyarankan, siapkan misalnya 20 pertanyaan dan 20 jawaban dengan satu pesan: mengapa Anda harus memilih kami? Ini tujuan penting bagi setiap kandidat.

Dibandingkan dengan performa pada debat pertama, debat kedua yang berlangsung Jumat, 27 Januari, menurut saya berjalan dengan lebih baik, dalam hal kesiapan pasangan calon.  Tema debat adalah tentang reformasi birokrasi, pelayanan publik dan penataan kota. Petahana jelas menyodorkan fakta-fakta apa yang sudah mereka lakukan dan menyampaikan bahwa perjuangan belum selesai, beri kesempatan lima tahun lagi.  Dari segi pengalaman bergelut dalam dunia politik, petahana memiliki keunggulan dibanding penantang, yakni pasangan Agus Yudhoyono-Silvyana Murni dan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. 

Merujuk kepada catatan Paul Begala, ini ibarat senator McCain dalam debat melawan Barack Obama pada pemilihan presiden 2008, pesan yang ingin ditampilkan adalah jangan pilih Obama. Terlalu berisiko, karena pengalaman kurang.

Berhadapan dengan sikap demikian, wajar geek kedua pasangan penantang ingin menyampaikan pesan seperti yang diusung Obama:  kami membawa perubahan. Konsekuensinya adalah, kandidat harus menyodorkan agenda perubahan yang kongkret, tidak cukup bermain dengan kata-kata.

Dalam bagian ke-5 dari debat pilkada kedua, misalnya, pasangan calon diberikan kesempatan memberikan pertanyaan kepada paslon lain. Djarot mewakili paslon nomor dua bertanya kepada paslon 1.  

“Kami melakukan kebijakan untuk merelokasi rumah-rumah di bantaran sungai dalam bentuk rumah susun. Mas Agus, pasangan nomor 1, ada program rumah rakyat dengan cara dibangun di tempatnya dengan tanpa menggusur. Kemudian disampaikan ada 390 hektar lahan pemukiman kumuh  di bantaran sungai yang akan dibangun. Bagaimana membangun tanpa memindahkan dan menertibkan rumah sehingga bisa warga di bantaran sungai mendapatkan rumah rumah layak huni?” tanya Djarot.

Agus menjawab:  “Benar, Pak Djarot, bahwa kami meyakini semua bisa ditata, kita semua bisa menata membangun Jakarta tanpa menggusur semena-mena, itu komitmen kami dan itu yang akan kami perjuangan untuk seluruh warga. On site upgrading, membangun meremajakan kampung di tempat yang sama, akhirnya, tidak mencabut mereka dari habitat aslinya, karena yang terjadi adalah makin meningkatnya kemiskinan di perkotaan.  Caranya dengan mengalokasikan lahan yang ada, karena dengan membangun, mengkonversi dari horizontal housing menjadi vertikal, tentu ada lahan-lahan yang bisa digunakan untuk  hunian yang layak, tidak mengganggu aliran sungai,  karena kami paham lingkungan harus dijaga.  Kami bertemu dengan warga, aktivis, mereka mau bergeser, bukan digusur,” ujar Agus.

Jawaban Agus menawarkan pendekatan berbeda dengan yang dilakukan petahana. Menata dan mengelola kota tanpa menggusur. Tapi Ahok juga menambahkan argumentasi.  

Dia menggunakan istilah relokasi ke rumah susun dan menggratiskan angkutan umum untuk mengatasi soal biaya transportasi ke tempat kerja yang menjauh dari lokasi semula. Karena ada Peraturan Pemerintah  No 38 Tahun 2011, bangunan yang berdiri di atas sempadan sungai itu harus ditertibkan, supaya fungsi sempadan sungai bisa kembali semula. Agus menjawab kembali dengan penekanan pada sisi kemanusiaan dalam menata kota termasuk dalam proses penggusuran.

Siapa yang lebih bisa meyakinkan calon pemilih dengan argumentasi di atas?  Agus berupaya meyakinkan dia bisa menerapkan solusi baru bersama warga. Ada unsur mengajak dialog.  Ahok menjadikan alasan regulasi ketika melakukan apa yang dia sebut relokasi.   

Penggiat masalah perkotaan Elisa Sutanudjaja menilai yang sangat kurang dalam perencanaan dan penataan kota di Jakarta adalah pelibatan masyakat. “Sebagian besar masalah [di Jakarta] adalah karena perencanaan tata ruang,” kata Elisa kepada Rappler pada Kamis, 26 Januari.  

Pada babak kedua debat ini, ada pertanyaan soal reformasi birokrasi. Tina Talisa yang memandu acara bersama Eko Prasodjo bertanya kepada paslon nomor dua. 

“Pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki program penyempurnaan indikator kinerja untuk lelang jabatan, rotasi, mutasi dan demosi. Khusus mengenai tunjangan, petahana melakukan reformasi birokrasi, dengan menaikkan tunjangan pegawai sipil di Jakarta, yang menurut data 2016 ada  lurah yang mendapat tunjangan Rp 34 juta per bulan, camat Rp 44 juta, kepala dinas hampir Rp 76 juta,  kepala badan hampir Rp  79 juta. Total belanja pegawai di Jakarta  tahun Rp 17,3 triliun  atau setara 25,9 persen total APBD.”

Di sisi lain, kata Tina, Ombudsman Republik Indonesia melakukan survei kepatuhan pemerintah terhadap standar pelayanan  publik.  Pada 2015,  hasilnya Jakarta ada di  peringkat 16, dengan nilai  61, 2 di antara 33 provinsi yang disurvei.  Bagaimana  paslon nomor 2  menjelaskan pengaruh kenaikan tunjangan tehadap peningkatan kinerja, kualitas pelayanan publik dan penurunan tingkat korupsi?

Jawaban Djarot menurut saya kurang memuaskan. “Tugas utama dari birokrasi melayani setiap warga Jakarta mulai dalam kandungan, lahir, sampai meninggal dunia,  Jakarta memiliki 135.222 pegawai negeri sipil dan Non PNS, ada  5.046 jabatan. Kami akan memastikan mereka bekerja maksimal  untuk  warga, melayani warga Jakarta dengan hati.  Untuk itu diperlukan ukuran jelas, salah satunya  indikator kinerja, bagaimana dia melaksanakan tugas dan kewajiban. Ukuran dilakukan tiap bulan karena terkait dengan tunjangan kinerja daerah. Akan ada kompetisi di antara mereka untuk mencapai tunjangan daerah maksimal.  Sehingga mereka tidak lagi melakukan korupsi, sehingga pelayanan yang diperoleh publik lebih baik,” Djarot.  

Masalahnya, Djarot tidak menjawab mengapa dengan tunjangan demikian besar, Pemprov DKI Jakarta hanya ada di peringkat 16?

Bagaimana meyakinkan pemilih?

NOBAR. Warga menonton debat calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta yang disiarkan langsung stasiun televisi di salah satu warung di Senayan, Jakarta, Jumat, 13 Januari. Foto oleh Rivan Awal Lingga/ANTARA

Pada segmen tiga, paslon menjawab pertanyaan yang sudah disiapkan panelis berkaitan dengan pelayanan publik. Tina Talisa menyinggung program kerja paslon nomor 3 terkait kemacetan di Jakarta yang menimbulkan kerugian ekonomi Rp 150 triliun setiap tahun.  Pertumbuhan ruas jalan tak sebanding dengan penambahan mobil. Bagaimana strategi paslon 3 menangani masalah kemacetan?

Calon gubernur Anies Baswedan menjawab.“Problem kemacetan di Jakarta, karena di kota ini mayoritas menggunakan kendaraan pribadi. Solusi kemacetan adalah memfasilitasi kendaraan publik massal, arahnya kepada penggunaan seperti busway, bus mini, mikrolet sampai dengan angkot. Yang kita akan bangun adalah sistem transportasi yang terintegrasi,” kata Anies. 

Mantan menteri pendidikan dasar ini mengibaratkan jalur transportasi bagaikan pembuluh darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Saat ini, kata Anies, angkutan publik yang ada belum bisa menjangkau ke pengguna.  Menurut catatan paslon nomor 3, di Jakarta  ada 13 juta motor, 14 juta mobil, untuk 10,2 juta penduduk. “Yang akan kami lakukan adalah  membuat jalur MRT, LRT dan BRT sebagai tulang punggung.  Bus yang lebih kecil, mikrolet, angkot bergerak di kampung. Warga bisa gunakan kendaraan umum dekat rumahnya. Hari ini tidak ada kendaraan yang sampai ke masing-masing rumah warga,” kata Anies.  

Dia menjanjikan tarif angkutan Rp 5.000 rupiah untuk semuanya, dari tempat asal terusan sampai ke tempat tujuan. Dengan jenis transportasi yang ada saat ini, Anies menawarkan integrasi dan kemudahan pembayaran dengan satu tarif jauh-dekat. 

Konsep paslon 3 menarik, terutama soal satu tarif. Soal jenis transportasi yang akan digunakan bukan hal baru. Bagaimana implementasinya, termasuk apakah angkot dan mikrolet yang selama ini sudah ada akan digunakan? Bagaimana dengan kondisi bus kota dan mikrolet yang jauh dari memadai? Bagaimana mengintegrasikan moda transportasi yang punya kelompok dan pemilik yang berbeda-beda itu untuk bersedia menerima konsep satu tarif, ini belum dipaparkan. Menurut saya tidak mudah realisasikan janji itu. 

Sebagaimana disampaikan oleh Paul Begala, menyampaikan ide dan program kerja adalah satu cara untuk meyakinkan pemilih. Bagaimana presentasinya juga memegang peran penting. Kandidat yang nampak rileks, cepat menangkap isi pertanyaan dan menjawab sesuai dengan pertanyaan itu akan nampak lebih meyakinkan bagi pemilih. Djarot yang tampil lebih kalem, mengimbangi Ahok yang bersemangat. Anies dan Sandi Uno, berupaya lebih menunjukkan kekompakan, termasuk sesekali berdiri berdampingan menjawab pertanyaan. Ahok dan Djarot melakukannya di ujung debat.

Menjawab dengan singkat dan padat penting, dan ini bisa dilakukan dengan mengurangi pembukaan yang normatif.  Kita melihat malam ini Sylviana Murni dan Ahok sempat kehabisan waktu dan ditegur moderator.

Momen Sylviana kehabisan waktu hingga tak sempat menyampaikan pertanyaan sebenarnya menimbulkan tawa dalam debat kedua ini.  Anies, yang harus menjawab pertanyaan Sylvi, menangkap apa yang ditanyakan.

Ahok sempat bercanda seolah ingin memisahkan keduanya sambil tertawa.  Momen yang cair seperti ini jarang kita lihat dalam debat Pilgub ini.  Suasananya tegang, mirip dengan suasana kompetisi pendukung di media sosial. 

Pengaruh debat terhadap elektabilitas pasangan calon Pilkada Jakarta

Jumat siang, 27 Januari beberapa jam sebelum debat kedua, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei tingkat elektabilitas para pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilgub DKI Jakarta. Survei dilakukan pada 14 Januari-22 Januari 2017, dan mengukur elektabilitas paslon pasca debat politik yang pertama.

SMRC membuat simulasi tiga pasangan calon gubernur dengan pertanyaan siapa yang akan dipilih bila pilgub DKI Jakarta 2017 dilakukan pada masa survei. Hasilnya, elektabilitas Agus-Silvy tercatat sebesar 22,5 persen, elektabilitas Ahok-Djarot  sebesar 34,8 persen, dan elektabilitas Anies-Sandi sebesar 26,4 persen. Sisanya, 16,4 persen menjawab tidak tahu atau rahasia.  

Menurut Deni Irvani, Direktur SMRC, “Dibanding Desember 2016, dukungan Ahok-Djarot dalam survei pasca debat ini naik sekitar 6 persen, Agus-Sylvi turun 8,3 persen, Anies-naik 2 persen.” SMRC mengaku membiayai sendiri survei ini.

Pada bulan Desember 2016, SMRC mengatakan survei dengan hasil elektabilitas Agus-Silvy 30,8 persen, Ahok-Djarot 28,8 persen, dan Anies-Sandi  24,4 persen. Hasil lengkap survei SMRC bisa dibaca di sini

Masih ada satu kali debat lagi sebelum Pilgub pada 15 Februari 2017.  Masih ada kesempatan bagi paslon memperbaiki penampilan dan kinerja dalam debat, seraya terus meyakinkan pemilih dengan mendatangi secara langsung. Saya berharap akan lebih banyak momen menarik yang muncul dalam debat terakhir nanti dan lebih banyak humor yang muncul dari paslon. Dan yang tak kalah penting, mbok ya buat pertanyaan jangan panjang-panjang. Sayang durasinya. – Rappler.com

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!