COVID-19

Pengungsi Bangladesh: No job in my country

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pengungsi Bangladesh: No job in my country
Pemuda asal Bangladesh berbondong-bondong menyeberang ke Malaysia, tujuannya satu: Mendapat pekerjaan.

KUALA LANGSA, Indonesia — Ia menyilangkan tangannya ke belakang sambil menatap seorang wartawan asing yang sedang mewawancarai rekannya. Tak banyak bicara, pria itu terus menatap, seakan mencoba mendengarkan isi pembicaraan tersebut.  

Perawakannya seperti para pengungsi lainnya, kurus dengan luka ringan di bagian lengan tangan. Kulit tangannya bersisik dan menghitam. Wajar saja, sudah tiga bulan ia terapung-apung di laut. 

Kopiah hitam yang bersarang di kepalanya seolah menandakan bahwa ia seorang Muslim. Ia memakai kaos berwarna abu-abu dengan tulisan, “Well, I see that the world is up and down.” 

Tak banyak yang menyadari bahwa Rinku Islam, seorang warga Bangladesh yang ditampung di tempat pengungsian Kuala Langsa, Aceh, ini sebenarnya bisa berbahasa Inggris. Karena itu ia selalu tertarik menyimak obrolan antara wartawan asing dan kawannya.

Pekan lalu, ribuan warga Myanmar dan Bangladesh terdampar di pantai Lhoksukon, Aceh bagian utara. Kebanyakan dari mereka adalah etnis Rohingya. Tujuan utama mereka bukan Indonesia, melainkan Malysia.

Rinku memang sedikit menonjol di antara para pengungsi lainnya. Bukan karena penampilannya, tapi karena keahlian bahasa asingnya yang dapat dimengerti oleh warga sekitar.

Seorang petugas medis mengakui itu, dan mengatakan pada Rappler bahwa ia satu-satunya pengungsi yang bisa berbahasa Inggris lebih baik dari anggota rombongan lainnya di barak ini. Sesekali petugas meminta pemuda berusiah 21 tahun itu untuk menjelaskan tentang perawatan yang harus mereka jalani di barak pengungsian. 

Dengan bahasa Inggris yang sederhana, ia berbincang dengan Rappler tentang alasan mengapa ia ingin hijrah ke Malaysia.

Menurut Rinku, sesungguhnya ia adalah seorang pelajar di sebuah sekolah intermediate science di Bangladesh. Tapi ia tak punya pilihan selain meninggalkan negeri asalnya. Ia tak memiliki pekerjaan, padahal harus membantu orang tuanya yang miskin. 

No job, no job (Tak ada pekerjaan, tak ada pekerjaan),” tutur Rinku dalam bahasa Inggris pada Rappler di tempat pengungsian, Sabtu, 16 Mei. 

Ketiadaan lapangan kerja ini juga yang membuat teman-teman Rinku lainnya untuk berangkat ke Malaysia bersamanya.

“Bangladesh is very good, but no job, Malaysia good (Bangladesh sangat bagus, tapi tak ada pekerjaan, Malaysia bagus),” katanya. 

‘Kami sangat miskin’

Rinku Islam, 21, tahun, pengungsi asal Bangladesh yang mengaku ingin menyeberang ke Malaysia, karena ingin mendapat pekerjaan. Rinku saat dijumpai di kamp pengungsi Kuala Langsa, Aceh, Sabtu, 16 Mei 2015. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Masih dengan bahasa Inggris yang sederhana, Rinku mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga miskin. “We are very poor, very poor, money (Kami sangat miskin, miskin, butuh uang),” katanya. 

Kemiskinan itulah yang membuatnya nekat menerima tawaran seorang dalal atau penyelundup di Bangladesh untuk menyeberang ke Malaysia dengan membayar sejumlah mahar 

Sojib, 20 tahun, seorang kawan Rinku juga mengatakan hal yang sama. “Job,” katanya saat berbincang dengan Rappler.

Ia menuturkan harus meninggalkan ayahnya di Bangladesh karena ingin sekali mendapatkan pekerjaan di Malaysia. 

Mirip dengan Rinku, Sojib juga tidak berasal dari keluarga berada. Ratusan ribu taka, mata uang Bangladesh, sudah ia setorkan pada dalal yang berjanji membawanya ke Malaysia. Tapi ia berakhir di sini, di Kuala Langsa, bersama 250 pengungsi lainnya.  

Pria pencari kerja dominasi pengungsi asal Bangladesh

Rinku melanjutkan bahwa tipikal pengungsi Bangladesh tidak sama dengan mereka yang berasal dari Myanmar. “Bangladesh no kids. All is men. (Tak ada balita di rombongan Bangladesh, semua laki-laki),” katanya.

Dari pengamatan Rappler di barak pengungsi memang hampir sebagian besar rombongan dari Bangladesh adalah laki-laki. Menurut Rinku, pengungsi dari Bangladesh yang rata-rata adalah pemuda yang mencari pekerjaan. 

Umur para pemuda ini beragam. Dari pemantauan yang dilakukan Rappler, mereka mengaku berumur 15 tahun sampai 21 tahun. 

Rinku membenarkan rentang umur ini. Menurutnya memang yang berangkat para pemuda saja. Mereka adalah pelajar atau pelajar yang sudah  berhenti sekolah untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Ke mana setelah ini mereka akan pergi? Tidak tahu, kata Rinku.

Yang jelas ia dan Sojib ingin sekali pergi ke Malaysia. “Malaysia good, Malaysia good,” katanya mengulang-ulang kalimat tersebut. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!